BUK!
Aku menajamkan penglihatan, menembus kegelapan kamar Kak Sina. Tak perlu waktu lama, mataku telah mampu beradaptasi. Dan aku melihat seseorang di dalam sana.Berdiri membelakangi dengan kepala menoleh padaku. Mata yang biasa mendominasi kini tampak gugup, seperti maling yang ketangkap basah. Ya, orang itu adalah Ummi Rahma, wanita itu baru saja menjatuhkan sesuatu saking terkejutnya melihatku."Ummi?" tanyaku dengan nada curiga.Perlahan tubuh besarnya berbalik. Tatapannya berubah mendominasi seperti biasa."Ya. Kenapa kau kemari?" selidiknya sebelum aku yang bertanya."Maysa liat lampu kamar Kak Sina mati.""Ummi pun masuk untuk menyalakan lampunya. Kau boleh keluar sekarang," pungkasnya.Aku melirik ke arah tempat tidur. Di mana Kak Sina terbaring. Sepertinya putri sulung pemilik pesantren ini sudah terlelap, hingga tak menyadari lampu yang mati.Tapi, kalau memang Ummi Rahma masuk untuk menyalakan lampu, harusnya dari pertama masuk tangannya akan mencari saklar yang terpasang tepat di sisi pintu. Bukannya malah masuk dan melakukan sesuatu di meja dalam keadaan gelap.Ku beranikan diri melirik ke bawah, mencari benda yang jatuh dan membuat Ummi Rahma gugup. Tapi sayangnya, aku tak menemukan apapun."Apalagi yang kau tunggu? Cepat keluar sekarang, jangan membuat Sina terbangun," desisnya.Aku hanya bisa mengangguk, lalu berbalik dan melangkah keluar. Tak jauh dari kamar itu, aku berhenti. Kulihat kembali kamar Kak Sina yang kini terlihat terang dari lobang ventilasi di atas pintu. Entahlah... Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi yang jelas, hatiku merasa ada yang janggal dengan keberadaan Ummi Rahma di kamar itu tadi.**Selepas subuh, aku melangkah ke dapur seperti biasa. Membantu Bibi Halimah menyiapkan sarapan. Namun mata ini seketika membesar. Seorang gadis telah berada di sana. Mencuci sayuran dengan cekatan. Gadis yang telah merebut Bang Hafiz dariku.Menyadari kedatanganku, gadis berwajah lembut itu mengembangkan senyumnya."Assalamualaikum, selamat pagi, Kak...." sapanya ramah."Wa'alaikumsalam..." jawabku tak bisa mengabaikan sapaan ramah itu, walau hati sebenarnya enggan."Non Maysa sudah datang? Sehat Non?" tanya Bibi Halimah perhatian seperti biasa."Alhamdulillah Bi, udah...""Tapi tak usah dipaksakan, Bibi insyaallah sangat terbantu dengan Non Nabila," ujar Bibi Halimah.Aku melirik gadis berkerudung pink muda itu, rasanya dari kemarin-kemarin ia acap kali memakai kerudung berwarna merah muda. Dan satu lagi yang sedikit meresahkan ku, gadis ini pandai mengambil hati."Buat Bang Hafiz dan Nina biar Maysa yang siapkan," tegasku sembari memakai celemek."Iya, tentu saja," jawab Bibi Halimah cepat. Seolah takut aku tersinggung.Lalu ia menghampiri Nabila yang baru akan memotong sayuran yang dicucinya. "Non Nabila kerjakan yang lain saja, ya... Biar ini dilanjutkan Non Maysa.""Iya Bi, nggak apa-apa," kudengar gadis itu menjawab.Wanita paruh baya yang telah ku anggap bibiku sendiri itu buru-buru mengambil bahan masakan itu untukku. Tapi suasana ini sungguh membuatku tak nyaman. Aku seolah menjadi madu yang jahat dan egois di sini. Bahkan Bibi Halimah yang selalu bersikap apa adanya denganku, kini terlihat seperti menjaga sikapnya.Ku potong-potong sayuran itu dengan perasaan kacau.Setelah selesai di dapur, aku langsung ke kamar untuk membangunkan Nina dan memanggil Bang Hafiz yang sedang berzikir untuk sarapan. Sayup ku dengar Bibi Halimah melarang Nabila untuk menjemur pakaian yang baru selesai diproses oleh mesin cuci. Gadis itu rajin. Paket lengkap untuk menjadi istri idaman.Akankah nanti Bang Hafiz mencintainya?**"Ini siapa yang masakkan?" tanya Ummi Rahma sembari menambah tumisan kacang panjang yang baru dihabiskan nya."Nabila Ummi," jawab gadis itu dengan raut khawatir. Sepertinya ia takut akan mendapatkan protes."Pandai kau memasak. Ini enak sekali," puji Ummi Rahma. "Hafiz, coba kau cicipi ini," wanita paruh baya itu menyodorkan piring tumisan itu ke hadapan putranya.Aku menatap suamiku itu dengan nafas tertahan. Berharap ia menolak untuk memakannya.Tapi harapanku kandas. Ia mengambil piring itu.Aku hanya bisa melengos kecewa. Harusnya aku sadar, Bang Hafiz tak akan pernah berubah. Penolakan nya terhadap perintah Ummi Rahma tadi malam membuat ku mengharap lebih."Nasi goreng Hafiz hasil masakanmu juga?""Bukan Ummi, itu masakan Kak Maysa.""Kenapa tidak kau saja yang menggorengnya?""Tadinya Nabila hendak menggoreng, tapi Kak Maysa kemudian melanjutkan."Tubuhku menegang mendengar jawaban nya. Memang ia mengatakan yang sebenarnya, dan tak ada nada menyalahkan dalam bicaranya, tapi kenapa aku jadi terlihat buruk lagi? Hanya karena aku ingin sarapan suami dan anak ku adalah hasil masakanku sendiri?"Maysarah! Harusnya kamu memberikan kesempatan untuk Nabila berbakti pada Hafiz. Kau bukan satu-satunya istri Hafiz sekarang!" tegur Ummi Rahma tajam."Sudah sudah... Lanjutkan sarapan, tak baik berdebat di hadapan rezeki Allah," Suara bijak Abi Marzuki menengahi.**Aku duduk terpekur di halaman belakang. Menatap kosong ke arah taman bunga hasil karya tanamku. Yang bersisian dengan kebun tomat milik Abi yang dikelola Pak Hasan, suami Bibi Halimah.Setelah mempersiapkan Nina sekolah, aku tak lagi semangat melakukan apapun. Sedangkan Nina telah di antarkan Bang Hafiz ke sekolah nya.Putri kecilku itu teringin sekolah seperti Upin dan Ipin yang biasa di ditontonnya. Sehingga dengan dukungan Abi, aku menyekolahkan Nina di Raudhatul Athfal, atau biasa disebut RA, setingkat dengan TK. Padahal Ummi Rahma memaksa untuk Nina belajar di rumah saja."Lagi apa?" Sebuah suara renyah mengejutkan lamunanku.Aku menoleh. Bang Bara berdiri di hadapan ku dengan senyuman khasnya, senyuman lebar yang memperlihatkan gigi putihnya."Lagi ngelihat bintang." jawabku asal."Bintang? Mana ada bintang udah mau siang begini?" Laki-laki itu benar-benar menengadah ke langit mencari bintang."Ada.""Mana?""Di mata Abang. Mata Abang kan pasti berbintang-bintang kalau liat Maysa," jawabku santai. Tak ada maksud menggoda atau apa. Bersamanya aku bisa meracau sesuka hati. Dia seperti seorang kakak laki-laki yang tak pernah ku punya."Ah bener..." raut wajah Bang Bara berubah serius. Dan malah terlihat sedikit muram. "Memangnya terlihat jelas ya?" tanya laki-laki itu kemudian."Jelas dong, mata Abang besar gitu..."Bang Bara terdiam sesaat, lalu senyuman khas itu kembali mengembang di bibirnya. "Mata Abang sipit, kali..." bantahnya.Aku tersenyum. Mencoba melepaskan kecemasan-kecemasan tentang posisiku di rumah ini."Apa sikap Hafiz semakin menyakitimu?" tanya laki-laki itu sembari menatap jauh ke tembok pagar yang melingkari rumah ini dengan kekokohannya. "Bilang aja, biar nanti Abang marahin dia," sambungnya dengan tangan menepuk dada.Setahuku, Bang Bara dengan Bang Hafidz sudah seperti saudara kandung. Menurut cerita Bibi Halimah, beliau telah bekerja dan tinggal bersama keluarga Haji Marzuki sejak 15 tahun yang lalu. Jadi mereka telah bertemu sejak baru beranjak remaja."Sedang apa?" Sebuah suara bariton menyela dari pintu keluar dapur.Bersambung....Bab 5"Sedang apa?" Sebuah suara bariton menyela dari pintu keluar dapur.Aku dan Bang Bara sontak menoleh.Laki-laki berperawakan Timur tengah yang selalu mampu menggetarkan hatiku, menatap kami tajam."Kami sedang mengobrol," jawab Bang Bara santai. Tak merasa canggung atau takut Bang Hafiz salah paham. Begitu pun dengan aku. Karena ia memang tak pernah cemburu atau berfikir yang tidak-tidak tentang kedekatan kami. Kadang aku pernah ingin ia merasa cemburu. Tapi mengingat cinta yang tak pernah hadir di antara kami, rasanya itu tak akan mungkin."Hanya berdua?" tanya Bang Hafiz lagi, tatapan serta raut wajahnya tajam dan menyelidik. Ini tak pernah terjadi. Kenapa tiba-tiba ia curiga?Bang Bara sendiri tampak tercenung. "Eng ... Enggak... Di situ ada Ayah," tunjuknya ke arah barisan pohon tomat milik Abi."Pak Hasan?" selidik Bang Hafiz lagi sembari melayangkan tatapan ke kebun tomat."Iya, lagi motongin tunas yang mesti dibuang. Tadinya aku di sana juga. Tapi demi melihat mendung di
Bab 6Rambut Bang Hafiz kering. Yang berarti ia tak keramas pagi ini.Jadi kenapa Nabila keramas sepagi ini? Gadis itu juga seperti tak mengeringkan rambutnya. Apa ia sengaja?"Kenapa?" tanya Bang Hafiz yang menyadari perhatianku pada rambutnya."Nggak kenapa-kenapa...." Kepalaku kembali tertunduk, lalu melangkah melewatinya. **Sore harinya."Assalamualaikum..." Dari ruang tengah, aku mendengar suara salam Bang Hafidz yang baru pulang dari mengurus Pesantren sekaligus memberi pengajian untuk santri yang sudah menjadi pengajar di pondok ini.Lalu terdengar suara Ummi Rahma menjawab salamnya.Aku beranjak untuk menyambutnya seperti biasa, namun langkahku terhenti saat Ummi Rahma mengatakan sesuatu."Hafiz, Ummi lihat istrimu ini selalu pakai gamis yang itu-itu saja. Kenapa tak kau carikan gamis baru untuknya?" "Iya, Ummi... Nanti Hafiz bawa mereka belanja.""Mereka?""Iya, Maysa dan Nabila.""Tidak, bukan dua-duanya yang Ummi maksud, tapi Nabila. Dia yang tak punya banyak pakaian.
"Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriak Ummi Rahma dengan mata melotot.Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa yang aku lakukan hingga bisa dituduh mencoreng nama baik keluarga? "Sedang diberi teguran begini masih bisa kau melakukan maksiat?!" tambah wanita itu semakin menggebu-gebu."Ummi!" sentak Abi.Namun seperti biasa, suara Abi tak pernah masuk ke telinga istrinya.Kepala Bang Bara terangkat. Pria itu cepat-cepat duduk tegak begitu menyadari kehadiran keluarga majikannya. "Lihat itu, Hafiz! Sudah Ummi bilang, istrimu ini ada main dengan Bara!""Astaghfirullah Ummi," lirihku. Tak menyangka, fitnah seperti itu keluar dari mulut wanita yang pernah ku hormati sebagai mertua dan istri dari seorang pendiri pondok besar.Bang Bara yang duduk tegak di kursinya jelas jadi bingung. Baru saja membuka mata telah ditodong yang tidak-tidak."I-ini ada apa, ya?" "Tidak ada apa-apa. Ini hanya salah faham," jawab Abi cepat.
Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Dia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik dia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan dilakukannya?"Aku akan meminumnya.""Nggak! Maysa sumpah Bang, Maysa liat Ummi sama Nabila bisik-bisik di dapur membahas teh ini. Bahkan, Maysa dengar Ummi nyuruh Nabila cepat-cepat ngasih teh ini biar cepat ngefek!" sanggahku bersikeras.Bang Hafiz kembali terdiam. Tapi aku masih tak mengerti apa yang dipikirkan laki-laki berekspresi datar dan dingin ini."Aku akan minum setengah untuk membuktikan. Setengahnya harus kamu yang minum.""Lah, kok Maysa harus ikutan?" protesku."Karena aku tak mau mati sendirian.""Lho, kan Maysa nggak bilang ini racun. Maysa curiganya ini obat tidur atau ... obat perangsang..." jawabku, sedikit jengah menyebut obat yang berk
"Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi."Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara."Kenapa sedih?""Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin.""Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?""Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang.""Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum."Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya."Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..." Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk."Ma
Ruangan itu adalah tempat khusus untuk hobinya Ummi Rahma, yaitu menenun kain,Jadi buat apa si ustadz menuju ke sana? Membuatku penasaran saja.Tanpa pikir panjang, kaki ini melangkah pelan untuk mengikutinya.Namun baru selangkah terangkat, aku langsung berhenti. Ini bukan urusanku. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain. Perlahan aku berbalik, menuju ke dapur untuk membantu pekerjaan Bibi Halimah seperti biasanya. Tapi hati ini tak bisa dipaksa untuk tak peduli. Bagaimana kalau laki-laki itu berniat jahat? Bukankah kemungkaran harus di tegah? Gelagatnya tadi memang mencurigakan. Ia tampak panik saat menabrak ku. Aku kembali berbalik arah. Laki-laki itu telah masuk dan kemudian menutup pintunya. Nah lho! Kenapa harus tutup pintu segala? Apa tak ada Ummi di dalam? Setelah beberapa saat, aku menghampiri pintu itu dan mengintip melalui lubang kunci. Aku menahan nafas, saat teringat sudah dua kali mengendap-endap dan mengintip seperti ini. Rasanya sama sekali tak nyaman, karena
Sayup-sayup suara deburan ombak menyusup ke telingaku. Membuat otak ini aktif kembali untuk menganalisa suara kencang itu. Perlahan kelopak mata terbuka setelah lelap yang teramat nyenyak menenggelamkan kesadaran.Namun mata ini seketika menyipit kembali saat cahaya senja yang merah menerpa netra. Ini sudah sore?Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan mata dengan cahaya yang masuk melalui kaca depan mobil. Benar, ini sudah sore. Aku tertidur sampai sore begini? Bagaimana dengan berkas hasil pemeriksaan RS-nya?"Oh, sudah bangun?" Suara Bang Hafiz menyapa dari samping kananku. Kepala ini menoleh cepat. Mataku bertabrakan dengan netra coklat terangnya. Netra yang seindah cahaya senja itu menatap hangat."Ya," jawabku. "Kenapa Abang nggak bangunin Maysa? Kita kan mau ngambil hasil pemeriksaan medis di Rumah Sakit?""Karena kamu tidur terlalu nyenyak. Hasil pemeriksaan itu tidak penting, kamu kan sehat sekarang," jawabnya santai.Entah darimana munculnya emosi. Yang pasti, hat
Begitu masuk ke dalam kamar, aku langsung menuju jendela. Sehelai kerudung berwarna hijau pastel, sengaja ku lampirkan di celah jendela sebagai kode untuk Bang Bara beraksi.Sepuluh menit berlalu. Nina akhirnya tertidur. Aku mulai resah. Bagaimana kalau Bang Bara masih di kamar pribadinya Ummi?Ummi Rahma melirikku sekilas. "Nina sudah pulas. Selimuti dia dan keluar. Masih banyak pekerjaan dapur yang harus dikerjakan. Nabila saja yang baru beradaptasi sudah pintar berinisiatif membuatkan sambal untuk suaminya. Kamu sudah siang begini baru selesai mengurus anak, itupun harus Ummi bantu!" omelnya dengan wajah mengkerut.Aku cuma mengangguk. Ummi tak tau saja kalau sambal yang dibawa menantu kesayangannya itu hasil buatan menantu yang mau diusir.Namun saat ini aku tak berniat menjelaskan. Rasa panik karena takut Bang Bara akan ketahuan benar-benar membuatku tegang.Ayo berfikir Maysa! Pokoknya harus bisa memastikan dulu kalau Bang Bara tak lagi di sana sebelum Ummi kembali ke kamarnya