Share

Bab 4

BUK!

Aku menajamkan penglihatan, menembus kegelapan kamar Kak Sina. Tak perlu waktu lama, mataku telah mampu beradaptasi. Dan aku melihat seseorang di dalam sana.

Berdiri membelakangi dengan kepala menoleh padaku. Mata yang biasa mendominasi kini tampak gugup, seperti maling yang ketangkap basah. Ya, orang itu adalah Ummi Rahma, wanita itu baru saja menjatuhkan sesuatu saking terkejutnya melihatku.

"Ummi?" tanyaku dengan nada curiga.

Perlahan tubuh besarnya berbalik. Tatapannya berubah mendominasi seperti biasa.

"Ya. Kenapa kau kemari?" selidiknya sebelum aku yang bertanya.

"Maysa liat lampu kamar Kak Sina mati."

"Ummi pun masuk untuk menyalakan lampunya. Kau boleh keluar sekarang," pungkasnya.

Aku melirik ke arah tempat tidur. Di mana Kak Sina terbaring. Sepertinya putri sulung pemilik pesantren ini sudah terlelap, hingga tak menyadari lampu yang mati.

Tapi, kalau memang Ummi Rahma masuk untuk menyalakan lampu, harusnya dari pertama masuk tangannya akan mencari saklar yang terpasang tepat di sisi pintu. Bukannya malah masuk dan melakukan sesuatu di meja dalam keadaan gelap.

Ku beranikan diri melirik ke bawah, mencari benda yang jatuh dan membuat Ummi Rahma gugup. Tapi sayangnya, aku tak menemukan apapun.

"Apalagi yang kau tunggu? Cepat keluar sekarang, jangan membuat Sina terbangun," desisnya.

Aku hanya bisa mengangguk, lalu berbalik dan melangkah keluar. Tak jauh dari kamar itu, aku berhenti. Kulihat kembali kamar Kak Sina yang kini terlihat terang dari lobang ventilasi di atas pintu. Entahlah... Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi yang jelas, hatiku merasa ada yang janggal dengan keberadaan Ummi Rahma di kamar itu tadi.

**

Selepas subuh, aku melangkah ke dapur seperti biasa. Membantu Bibi Halimah menyiapkan sarapan. Namun mata ini seketika membesar. Seorang gadis telah berada di sana. Mencuci sayuran dengan cekatan. Gadis yang telah merebut Bang Hafiz dariku.

Menyadari kedatanganku, gadis berwajah lembut itu mengembangkan senyumnya.

"Assalamualaikum, selamat pagi, Kak...." sapanya ramah.

"Wa'alaikumsalam..." jawabku tak bisa mengabaikan sapaan ramah itu, walau hati sebenarnya enggan.

"Non Maysa sudah datang? Sehat Non?" tanya Bibi Halimah perhatian seperti biasa.

"Alhamdulillah Bi, udah..."

"Tapi tak usah dipaksakan, Bibi insyaallah sangat terbantu dengan Non Nabila," ujar Bibi Halimah.

Aku melirik gadis berkerudung pink muda itu, rasanya dari kemarin-kemarin ia acap kali memakai kerudung berwarna merah muda. Dan satu lagi yang sedikit meresahkan ku, gadis ini pandai mengambil hati.

"Buat Bang Hafiz dan Nina biar Maysa yang siapkan," tegasku sembari memakai celemek.

"Iya, tentu saja," jawab Bibi Halimah cepat. Seolah takut aku tersinggung.

Lalu ia menghampiri Nabila yang baru akan memotong sayuran yang dicucinya. "Non Nabila kerjakan yang lain saja, ya... Biar ini dilanjutkan Non Maysa."

"Iya Bi, nggak apa-apa," kudengar gadis itu menjawab.

Wanita paruh baya yang telah ku anggap bibiku sendiri itu buru-buru mengambil bahan masakan itu untukku. Tapi suasana ini sungguh membuatku tak nyaman. Aku seolah menjadi madu yang jahat dan egois di sini. Bahkan Bibi Halimah yang selalu bersikap apa adanya denganku, kini terlihat seperti menjaga sikapnya.

Ku potong-potong sayuran itu dengan perasaan kacau.

Setelah selesai di dapur, aku langsung ke kamar untuk membangunkan Nina dan memanggil Bang Hafiz yang sedang berzikir untuk sarapan. Sayup ku dengar Bibi Halimah melarang Nabila untuk menjemur pakaian yang baru selesai diproses oleh mesin cuci. Gadis itu rajin. Paket lengkap untuk menjadi istri idaman.

Akankah nanti Bang Hafiz mencintainya?

**

"Ini siapa yang masakkan?" tanya Ummi Rahma sembari menambah tumisan kacang panjang yang baru dihabiskan nya.

"Nabila Ummi," jawab gadis itu dengan raut khawatir. Sepertinya ia takut akan mendapatkan protes.

"Pandai kau memasak. Ini enak sekali," puji Ummi Rahma. "Hafiz, coba kau cicipi ini," wanita paruh baya itu menyodorkan piring tumisan itu ke hadapan putranya.

Aku menatap suamiku itu dengan nafas tertahan. Berharap ia menolak untuk memakannya.

Tapi harapanku kandas. Ia mengambil piring itu.

Aku hanya bisa melengos kecewa. Harusnya aku sadar, Bang Hafiz tak akan pernah berubah. Penolakan nya terhadap perintah Ummi Rahma tadi malam membuat ku mengharap lebih.

"Nasi goreng Hafiz hasil masakanmu juga?"

"Bukan Ummi, itu masakan Kak Maysa."

"Kenapa tidak kau saja yang menggorengnya?"

"Tadinya Nabila hendak menggoreng, tapi Kak Maysa kemudian melanjutkan."

Tubuhku menegang mendengar jawaban nya. Memang ia mengatakan yang sebenarnya, dan tak ada nada menyalahkan dalam bicaranya, tapi kenapa aku jadi terlihat buruk lagi? Hanya karena aku ingin sarapan suami dan anak ku adalah hasil masakanku sendiri?

"Maysarah! Harusnya kamu memberikan kesempatan untuk Nabila berbakti pada Hafiz. Kau bukan satu-satunya istri Hafiz sekarang!" tegur Ummi Rahma tajam.

"Sudah sudah... Lanjutkan sarapan, tak baik berdebat di hadapan rezeki Allah," Suara bijak Abi Marzuki menengahi.

**

Aku duduk terpekur di halaman belakang. Menatap kosong ke arah taman bunga hasil karya tanamku. Yang bersisian dengan kebun tomat milik Abi yang dikelola Pak Hasan, suami Bibi Halimah.

Setelah mempersiapkan Nina sekolah, aku tak lagi semangat melakukan apapun. Sedangkan Nina telah di antarkan Bang Hafiz ke sekolah nya.

Putri kecilku itu teringin sekolah seperti Upin dan Ipin yang biasa di ditontonnya. Sehingga dengan dukungan Abi, aku menyekolahkan Nina di Raudhatul Athfal, atau biasa disebut RA, setingkat dengan TK. Padahal Ummi Rahma memaksa untuk Nina belajar di rumah saja.

"Lagi apa?" Sebuah suara renyah mengejutkan lamunanku.

Aku menoleh. Bang Bara berdiri di hadapan ku dengan senyuman khasnya, senyuman lebar yang memperlihatkan gigi putihnya.

"Lagi ngelihat bintang." jawabku asal.

"Bintang? Mana ada bintang udah mau siang begini?" Laki-laki itu benar-benar menengadah ke langit mencari bintang.

"Ada."

"Mana?"

"Di mata Abang. Mata Abang kan pasti berbintang-bintang kalau liat Maysa," jawabku santai. Tak ada maksud menggoda atau apa. Bersamanya aku bisa meracau sesuka hati. Dia seperti seorang kakak laki-laki yang tak pernah ku punya.

"Ah bener..." raut wajah Bang Bara berubah serius. Dan malah terlihat sedikit muram. "Memangnya terlihat jelas ya?" tanya laki-laki itu kemudian.

"Jelas dong, mata Abang besar gitu..."

Bang Bara terdiam sesaat, lalu senyuman khas itu kembali mengembang di bibirnya. "Mata Abang sipit, kali..." bantahnya.

Aku tersenyum. Mencoba melepaskan kecemasan-kecemasan tentang posisiku di rumah ini.

"Apa sikap Hafiz semakin menyakitimu?" tanya laki-laki itu sembari menatap jauh ke tembok pagar yang melingkari rumah ini dengan kekokohannya. "Bilang aja, biar nanti Abang marahin dia," sambungnya dengan tangan menepuk dada.

Setahuku, Bang Bara dengan Bang Hafidz sudah seperti saudara kandung. Menurut cerita Bibi Halimah, beliau telah bekerja dan tinggal bersama keluarga Haji Marzuki sejak 15 tahun yang lalu. Jadi mereka telah bertemu sejak baru beranjak remaja.

"Sedang apa?" Sebuah suara bariton menyela dari pintu keluar dapur.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status