Share

Bab 2. Terpaksa Menikah

Bab 2. Terpaksa Menikah

Suhu dingin di ruang keluarga kediaman Ismoyo mendadak berubah. Sebenarnya hanya Yuan yang merasakan perubahan suhu. Dia mendadak gerah karena ulah Rian.

Yuan tidak menyangka Rian bukannya memberikan penolakan kepada Sinta, tetapi justru mengiyakan permintaan gadis kecil itu. Yuan menarik paksa ujung bibirnya agar tampak tersenyum. Dia kini memegang lengan atas Sinta dan mulai menatap lembut putri kecilnya itu.

"Sinta, bunda sama Ayah Rian itu bersaudara. Jadi, kami nggak bisa menikah."

Kalimat tersebut sukses membuat hati Rian seakan diremas. Lelaki tersebut tersenyum kecut, kemudian bahunya merosot. Secara tidak langsung Yuan telah menolak lamaran yang baru saja dia ucapkan melalui permintaan Sinta.

Hal yang sama pun kini dialami oleh Sinta. Dia merasa begitu kecewa karena keinginannya tidak dituruti oleh sang ibu. Akhirnya Sinta berlari ke kamar dan langsung menyelimuti tubuhnya dengan selimut.

Yuan menyusul Sinta dan berusaha membujuk gadis kecilnya itu. Akan tetapi, Sinta terus membelakangi sang ibu. Dia terus menangis dalam diam.

"Maafin bunda, Sinta. Bunda masih belum bisa membuka hati untuk pria lain. Bunda sangat mencintai ayahmu." Yuan mengucapkan kalimat itu semua dalam hati dengan isak tangis yang tertahan.

Keesokan harinya, Yuan yang hendak membangunkan Sinta pun terkejut. Gadis kecilnya itu tampak lesu dengan keringat membasahi dahi. Dia terus merintih seperti sedang menahan sakit.

"Astaga, Sinta! Kamu kenapa, Nak?" Yuan terus menepuk pelan pipi Sinta, tetapi gadis kecil itu tak kunjung membuka mata.

Yuan langsung membuka laci nakas dan mengeluarkan termometer dari sana. Perempuan itu langsung meletakkan benda tersebut pada ketiak Sinta. Setelah menunggu selama beberapa waktu, termometer itu berbunyi tanda sudah selesai memeriksa suhu tubuh Sinta.

Layar kecil pada alat itu menunjukkan angka 40,5 sehingga membuat Yuan terbelalak. Dia langsung keluar dari kamar, kemudian mencari Rian. Entah mengapa lelaki itu adalah orang pertama yang muncul dalam pikirannya.

"Mas Rian! Mas Rian! Buka pintunya!" teriak Yuan panik sembari menggedor pintu kamar Rian.

Tak lama berselang pintu kamar Rian terbuka. Lelaki itu mengucek mata dan menguap sekali. Namun, dalam hitungan detik Rian langsung terlihat waspada.

"Tolong aku, Mas! Tolong! Sinta sepertinya sakit! Suhu tubuhnya tinggi dan tidak mau membuka mata!" seru Yuan di antara isak tangis.

"Apa? Ayo kita lihat dulu!" seru Rian.

Keduanya pun menuruni anak tangga secepat mungkin tanpa memperhatikan langkah. Bagi mereka yang terpenting bisa segera memberikan pertolongan untuk Sinta. Begitu sampai di kamar Yuan, Sinta sudah mulai kejang.

Gadis kecil itu terbelalak dan tubuhnya sudah terlihat kaku. Gigi Sinta beradu satu sama lain sehingga rahangnya tampak keras. Rian pun segera memiringkan tubuh Sinta agar tidak tersedak air liur.

Yuan hanya bisa menangis dan terduduk lesu di atas lantai. Dia seakan kehilangan kekuatan melihat Sinta dalam kondisi seperti itu. Mendengar kekacauan dari kamar Yuan, Drini, Anton, dan Rian pun bergegas menghampiri mereka.

"Sabar, Mbak. Setelah kejang Sinta berhenti, kita bawa dia ke rumah sakit." Riana memeluk kakak iparnya itu dan terus mengusap punggungnya.

"Sinta, dengar ayah! Sinta, kamu dengar ayah, kan?" Rian berusaha menyadarkan sang keponakan dengan terus memanggil namanya.

Tak lama kemudian kejang Sinta berhenti. Gadis kecil itu langsung menangis histeris. Rian langsung terduduk lesu dan bersandar pada dasbor ranjang sambil memeluk Sinta.

Yuan pun segera memeluk tubuh sang putri. Tangis keduanya terdengar pilu dan beradu menjadi satu. Rian akhirnya memutuskan untuk menyiapkan mobil.

Sinta harus diperiksa lagi untuk memastikan sebab gadis kecil itu kejang. Setelah mobil siap, Rian menggendong Sinta dan membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di sana, gadis kecil itu langsung di tangani oleh dokter terbaik di rumah sakit milik kakeknya tersebut.

"Bagaimana, Dok?" tanya Rian ketika seorang dokter keluar dari IGD.

"Sinta mengalami infeksi saluran pencernaan."

Yuan yang tidak terima dengan diagnosa dokter pun beranjak dari kursi. Dia merasa sudah memberikan makanan sehat dan bersih, tetapi kenapa bisa putri kesayangannya itu masih bermasalah pencernaannya? Protes Yuan pun dijawab oleh sang dokter, sehingga membuatnya tertampar seketika.

"Penyebab infeksi bukan hanya soal apa yang dimakan, atau virus dan bakteri yang masuk ke dalam pencernaan. Faktor stres juga bisa mempengaruhi kesehatan seseorang." Dokter tersebut tersenyum tipis sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Nanti saya akan memeriksa kondisi mental Sinta dengan bantuan psikiater. Jika memang dia memendam stres, maka kita harus mencari jalan keluar untuk kekhawatiran yang dialami oleh Sinta."

"Baik, Dok. Lakukan semua yang terbaik untuk Sinta!" seru Rian mantap.

Kini rasa bersalah bergelayut di hati Yuan. Memang akhir-akhir ini, dia mendengar sang putri terus merengek mengenai keinginan untuk menjadikan Rian ayahnya. Yuan pun kembali ke bangku dan menenggelamkan wajah pada kedua telapak tangan.

"Kita akan mengetahui hasilnya nanti. Setelah itu, kita cari jalan keluarnya sama-sama." Rian berusaha menenangkan Yuan.

Lelaki tersebut hendak menepuk punggung Yuan. Namun, Yuan langsung menepis lengan Rian. Rian pun hanya bisa tersenyum kecut, lalu menyugar rambutnya.

Yuan mengacuhkan Rian. Dia beranjak dari kursi, kemudian masuk ke ruang IGD. Sinta kini sudah sepenuhnya sadar.

Akan tetapi, gadis kecil itu terus menangis sesenggukan. Suara tangis Sinta begitu menyayat hati. Yuan menarik kursi, lalu duduk di atasnya.

"Sinta, mana yang sakit? Perut? Atau bagian mana? Kenapa Sinta nggak ngomong sama bunda kalau merasa ada yang sakit?" Yuan meraih jemari sang putri, lantas mengecup punggung tangannya penuh kasih.

"Di sini, Bunda. Rasanya sakit sekali! Sinta selalu diejek teman-teman lain karena tidak memiliki ayah!" seru Sinta dengan terbata-bata.

Yuan terdiam seketika. Dari apa yang diucapkan Sinta, dia paham betul kalau gadis kecil itu menyimpan tekanan selama ini. Pasti harinya menjadi sangat berat di sekolah.

"Bunda, menikah dengan Ayah Rian, ya? Sinta nggak mau ayah yang lain. Sinta maunya bunda menikah sama Ayah Rian!" Tangisan Sinta pun meledak.

Gadis kecil itu sudah tidak bisa lagi membendung emosinya. Akhirnya Yuan harus menekan egonya. Dia memeluk tubuh Sinta dan ikut meneteskan air mata.

"Iya, bunda akan menikah dengan Ayah Andri. Bunda akan melakukan apa pun asalkan Sinta sembuh dan hidup bahagia!" seru Yuan dengan suara bergetar di antara isak tangis.

Sejak saat itu, kondisi Sinta berangsur membaik. Dia diperbolehkan pulang setelah dirawat selama tiga hari. Sepulang dari rumah sakit, Yuan dan Rian pun mempersiapkan berkas untuk mendaftarkan pernikahan.

Semua persiapan pernikahan dilakukan serba mendadak. Tidak ada pesta layaknya pernikahan pertama Yuan. Sialnya, untuk kedua kalinya Yuan menikah dengan dua orang berbeda, tetapi dengan situasi yang sama yaitu karena terpaksa.

Setelah resepsi pernikahan sederhana selesai, Yuan langsung masuk ke kamar dan menyusul Sinta. Dia membaringkan tubuh di atas ranjang, lalu tersenyum kepada Sinta.

"Bunda, terima kasih, sudah wujudkan keinginan Sinta! Sekarang Sinta nggak akan sedih lagi! Sinta benar-benar mau Ayah Rian menjadi ayahku. Terima kasih, Bunda!" seru Sinta seraya memeluk erat tubuh ibunya.

Yuan hanya bisa memaksakan senyum. Dia tidak mungkin kembali menghancurkan kebahagiaan Sinta. Lagi-lagi dia harus mengorbankan hatinya sendiri demi sang putri.

"Sinta, sekarang tidur, yuk! Bunda capek karena seharian ini harus menemui banyak tamu."

Sinta mengangguk patuh, kemudian mulai memejamkan mata. Yuan mulai menyanyikan beberapa lagu lullaby untuk mengantarkan Sinta ke alam mimpi. Setelah mulai terdengar dengkuran halus, Yuan pun ikut memejamkan mata.

Ketika hampir saja terlelap, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Suasana kamar yang gelap tentu saja membuat Yuan kesulitan melihat siapa yang sekarang berdiri di ambang pintu.

Saat lampu tiba-tiba menyala, Yuan membuang napas kasar. Ternyata orang yang ada di depan pintu adalah Rian. Lelaki tersebut tersenyum lembut kemudian berjalan mendekati Yuan.

"Ngapain kamu ke sini, Mas?" tanya Yuan dengan tatapan tajam yang dia arahkan kepada Rian.

"Tentu saja untuk istirahat." Rian terus mendekat dan kini duduk di samping Sinta.

"Jangan harap!" Yuan kini melempar bantal ke arah Rian sehingga lelaki tersebut tersenyum getir.

"Mas Rian tidur di sana!" seru Yuan seraya menunjuk sofa yang ada di dekat jendela.

Rasa kecewa kini memenuhi hati lelaki tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka Yuan setega itu terhadapnya. Akan tetapi, Rian harus bersabar.

Rian yakin suatu saat nanti Yuan akan membukakan pintu hati untuknya. Malam itu pun Rian berakhir dengan tidur meringkuk di atas sofa. Sementara itu Yuan sering kali terjaga takut Rian melakukan hal yang merugikan dirinya.

Keesokan harinya Yuan terbangun karena merasa dadanya begitu berat. Rasanya seperti ada benda berat yang tengah menimpa tubuhnya. Saat membuka mata, dia terbelalak karena Rian sudah tidur di samping sambil memeluk tubuhnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status