Share

Bab 3 Siapa Keluarga Luca?

Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh tamu dari pihak Luca pun selesai. Berto menginstruksikan ku untuk mengikutinya. Tetapi aku langsung berhenti ketika menyadari Luca tidak ikut. 

"Di mana Luca?" tanyaku pada Berto yang ikut berhenti di depanku. 

Pria itu menoleh. "Tuan sedang ada urusan. Beliau meminta saya untuk mengantar Anda lebih dulu," jawab Berto dengan gelagat hormatnya. 

"Urusan apa?" Aku bertanya karena penasaran. Toh sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. 

Tetapi Berto justru memberikan respon lain. Ia menundukkan kepala seolah enggan untuk menjawab. Aku pun hanya bisa menghela napas melihat reaksinya.

Apakah mungkin saat ini Luca sedang bersama ayahku? Pasalnya aku tidak melihat ayahku lagi. Ataukah Luca sedang menagih hutang pada orang lain? 

Aku mendesah. Berharap perkiraanku yang terakhir tidaklah benar. Aku hanya tidak ingin pria itu lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya dibandingkan menghabiskan waktu denganku di saat kami baru saja menikah. 

Akhirnya aku pun mengikuti Berto. Kami masuk ke dalam lift menuju lantai basement. Sesampainya di lantai basement, Berto kembali mengawalku menuju salah satu mobil yang terparkir di sana. 

Langkahku melambat saat kami semakin dekat dengan salah satu mobil sedan berwarna hitam. Mataku memperhatikan seseorang yang keluar dari dalam mobil lalu menundukkan kepala ke arahku. Aku mendengar Berto memberikan perintah pada pria itu untuk mengantarku ke mansion. 

Apakah mulai sekarang aku akan tinggal di mansion? Seketika aku merasa penasaran dengan luas mansion itu. Apakah sebesar villa milik Tuan Massimo atau tidak? Bersama siapa Luca tinggal di mansion selama ini? Apakah keluarganya juga tinggal di mansion tersebut?

Pikiranku pun kembali dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai keluarga Luca. Pria itu belum memperkenalkanku pada keluarganya. Mataku bahkan tidak bisa menebak siapa keluarga Luca di antara para tamu. 

Aku pun segera masuk ke dalam mobil saat Berto membukakan pintu. Lalu disusul oleh pria yang kuyakin adalah seorang supir tersebut. Perlahan pria itu mulai melajukan mobilnya, membawaku pergi dari gedung hotel. 

Mataku terjatuh pada pemandangan jalanan yang terlihat begitu ramai. Terkurung selama dua minggu di dalam hotel membuatku merasa seperti sangat lama tidak menyaksikan suasana jalanan kota. 

Aku bersandar untuk merilekskan posisi duduk. Benakku kembali bertanya-tanya, merasa penasaran pada apa yang akan terjadi padaku saat di mansion nanti. Apakah aku akan tetap terkurung di tempat itu ataukah mendapatkan kebebasan melakukan apa yang kumau. 

Aku pun bertanya-tanya bagaimana reaksi keluarga Luca jika melihatku nanti? Aku hanyalah gadis biasa dan dari keluarga yang amat sangat biasa. Bahkan Pablo memiliki hutang pada pria yang sekarang menjadi menantunya. 

Dua puluh menit telah berlalu. Mobil yang kutumpangi mulai memasuki pelataran rumah yang sangat luas dengan taman mini di sekitar air mancur. 

Mobil itu berhenti tepat di depan teras rumah. Saat sopir itu turun dari dalam mobil, ia membukakan pintu untukku. Aku terdiam sejenak seraya menatap ragu ke arah luar. 

"Silakan keluar, Nyonya. Kita sudah sampai," ucap sang sopir memberitahu. 

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Satu kaki melangkah keluar diikuti oleh kaki lain. Kini aku sudah berdiri di samping mobil tersebut. 

"Selamat datang, Nyonya." 

Pandanganku langsung tertuju ke arah pria yang sudah berusia lanjut tersebut yang berdiri tak jauh dari arah pintu seolah menyambut kedatanganku. Mataku mulai mengabsen satu demi satu wajah asing yang berada di sana. Terdapat beberapa pelayan wanita serta pengawal yang memakai pakaian berseragam tengah berjejer di samping pria tua tersebut.  

Kenapa hanya mereka yang menyambutku? Apakah keluarga Luca tidak berkenan untuk melihat anggota keluarga barunya yang hanya dari kalangan orang tak punya? Sungguh, rasa percaya diriku saat ini seperti jatuh ke dalam jurang. 

Kakiku bergetar saat menaiki satu demi satu anak tangga untuk sampai di hadapan para pelayan. Untung saja gaun itu menutupi seluruh kakiku sehingga tidak disaksikan oleh mereka betapa gugupnya aku saat ini. 

"Nama saya Agatone Cerruti, Anda bisa memanggil saya Agatone. Saya adalah kepala pelayan di sini. Jika Anda membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk mengatakannya padaku," ucap pria tua itu sembari menundukkan kepala ke arahku. 

"Oke," balasku dengan singkat. 

"Saya akan mengantar Anda menuju kamar utama. Mari ikuti saya," ucap pria yang sekarang dikenal dengan nama Agatone tersebut. 

Seiring langkahku memasuki mansion berlantai marmer yang mengkilap, aku tidak berhenti menjatuhkan pandangan ke sekeliling ruangan. Bagunan itu begitu megah dengan dominasi warna emas, hitam dan putih. 

Agatone mengantarku masuk ke dalam lift. Ia menekan tombol lantai lima, lantai tertinggi di mansion tersebut. Sejujurnya aku tidak ingin menaiki lift. Tetapi sepertinya Agatone yang akan kelelahan nantinya jika aku meminta hanya menaiki tangga. 

Pintu lift terbuka. Kami mulai berjalan di sepanjang lorong hingga akhirnya menemukan sebuah pintu berukuran tinggi sekitar dua meter. Agatone membukanya, membuatku langsung menatap ke dalam ruangan tersebut. 

"Ini kamar utama milik Tuan Luca, Nyonya," ucap Agatone saat kami sudah berada di dalam kamar tersebut. 

Luas, bersih, rapi dan mewah. Sungguh sempurna. Bahkan luasnya lima kali lipat dari ruangan kamarku di villa. Aku sampai mengejapkan mata beberapa kali seolah tidak percaya dengan tempat yang dipijak sekarang. 

"Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan?" 

Pertanyaan Agatone menyadarkanku dari rasa takjub. Aku tertawa kaku lalu menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. 

"Baiklah. Anda bisa memanggil saya atau melakukan panggilan telepon. Nomor saya sudah tertera di sana," jelas Agatone seraya menunjuk ke arah telepon rumah yang ada di dalam kamar. 

"Ya, terima kasih," balasku sembari tersenyum tipis. 

"Kalau begitu saya pamit pergi." Agatone menundukkan kepala. "Permisi," ucapnya lalu berbalik arah membelakangi ku. 

"Tunggu." Mulutku berucap begitu saja menghentikan langkahnya membuat Agatone menoleh ke arahku. "Apa kau tahu … nomor ponsel Luca?" Aku bertanya dengan penuh rasa ragu. 

"Tentu, Nyonya. Apakah Anda ingin menghubungi Tuan Luca?" 

"Memangnya apa yang biasa dilakukannya di jam-jam sekarang? Berto menyuruhku untuk pulang lebih dulu dan mengatakan kalau Luca sedang ada urusan." 

Agatone tersenyum tipis seperti memaklumi tingkahku. "Tuan pasti ada pekerjaan." 

"Bekerja di hari pernikahannya? Astaga! Apakah tidak ada hari cuti? Memangnya apa yang dilakukannya? Sepertinya memang benar kalau orang kaya pasti tidak ada waktu untuk bernapas sejenak tanpa memikirkan pekerjaan. Aku tidak menyangka kalau aku akan melihatnya sendiri dan—" 

Aku langsung menutup mulutku dengan satu tangan. Lalu tersenyum malu pada Agatone yang tampak tenang mendengarkan ocehanku. 

"Maaf, mulutku memang senang bicara ngelantur," ucapku memberikan alasan sembari merutuki diri sendiri karena tidak bisa mengontrol kebiasaan ku yang senang bicara panjang lebar tak berujung. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status