Beberapa hari kemudian.
Hari ini adalah hari pertama Wendy masuk ke kampus yang sama dengan Reynold. Ia berdandan sangat natural seperti mahasiswi normal pada umumnya dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan wajahnya yang tidak boros membuat sosoknya bisa berbaur dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya.
Selain itu, ia juga berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan umum, menggendong tas yang berisi buku-buku mata kuliah hari ini, tersenyum ramah pada pak satpam yang berjaga di pos satpam universitas, pokonya ia benar-benar sudah seperti mahasiswi ramah normal yang datang ke kampus untuk menuntut ilmu.
Beberapa hari sebelum memulai misinya di kampus ini, Wendy mendapatkan beberapa rincian mengenai identitas yang akan ia gunakan dalam misi ini dari Chris. Ia akan menggunakan identitas Bella Valentine untuk menutupi identitas alinya. Chris benar-benar menuliskan semua rinciannya dengan sangat detail, termasuk dengan kepribadian, dandanan, serta gaya berpakaian yang harus Wendy gunakan saat menjadi seorang Bella Valentine. Pria itu sangat detail, ia bahkan mengirimkan banyak sekali pakaian yang harus Wendy pakai saat ia menyamar sebagai Bella sehingga dengan begitu sosok Bella bisa sesuai dengan apa yang dipikirkannya.
Meski memang tampak berpenampilan normal, tetapi sebenarnya Wendy menyelipkan senjatanya di balik pakaian yang dikenakannya untuk berjaga jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Setelah melewati gerbang kampus, pertama-tama ia mencari papan petunjuk yang akan mengarahkannya pada gedung fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, tempat di mana program studi kriminologi tempatnya belajar berada.
“Hm, Aku hanya harus mengambil arah kiri, bukan?” gumam Wendy sembari memandangi papan petunjuk di hadapannya yang mengarah ke sebelah kirinya.
Wendy pun mengikuti petunjuk itu dan akhirnya ia sampai di depan sebuah tugu nama fakultas yang ia cari. Tanpa diduga ternyata arah dari papan petunjuk itu bukanlah mengarah pada sebuah gedung, melainkan sebuah area fakultas itu, yang di atasnya terdapat beberapa gedung yang begitu sangat megah dan luas.
Ia hanya menghela napas karena mengetahui bahwa dengan begitu ia harus mencari tempat belajar jurusannya di area yang begitu luas ini. “Kalau begini Aku harus bertanya ke sana-ke mari untuk menemukan ruangan E405,” gumamnya dengan perasaan malas karena dengan begitu ia harus berinteraksi dengan manusia-manusia di sekitarnya.
Ia lalu memeriksa jam tangannya dan tampaklah waktu sudah menunjukkan pukul 8.55 yang mana itu artinya 5 menit lagi perkuliahan akan segera dimulai.
“Ck, sial! Sepertinya Aku akan terlambat!” rutuknya sembari celingukan mencari orang yang memungkinkan untuk dia tanyai sembari berjalan ke arah sebuah gedung yang tampak paling besar di antara yang lainnya.
Tak sengaja, sembari berjalan menuju ke sebuah gedung yang berada di hadapannya itu, ia melihat seorang pria berjalan dengan santainya melewatinya menuju ke dalam gedung itu. Mengetahui hal itu, dengan sigap Wendy langsung menghentikannya untuk sekedar menanyakan kebingungannya saat ini.
“Um, anu … maaf, Tuan!” Wendy sedikit menaikkan intonasi suaranya untuk menarik perhatian pria itu sembari berjalan semakin mempercepat langkahnya.
Sontak pria itu menghentikan langkahnya dan menoleh pada sumber suara yang terdengar seperti memanggilnya.
“Hm?” Pria itu memasang wajah heran sembari celingukan ke kanan dan kirinya seolah ia sedang mencari sesuatu.
“Em, Tuan?” Wendy yang melihat reaksi itu tampak heran karena bukannya menengok ke arahnya, pandangan pria jangkung itu malah lurus melewatinya.
“Ah! Itu dia!” ucap pria itu yang setelah mendengar suara Wendy langsung menundukkan pandangannya sehingga ia bisa melihat sosok mungil seorang wanita yang berdiri tepat di hadapannya.
Melihat gestur itu sebenarnya membuat Wendy sedikit kesal. Namun karena sedang menyamar menjadi seorang mahasiswi yang ramah dan menyenangkan, ia harus menjaga sikap, sehingga hal yang bisa dilakukan hanyalah memaksakan diri untuk tetap tersenyum pada pria itu.
“Well, ada apa gadis kecil?” tanya pria itu sembari tersenyum dengan sangat ramah pada Wendy.
“Tahan Wendy, tahan!” ucap Wendy di dalam hatinya, berusaha untuk tetap sabar setelah mendengar panggilan yang paling tidak ia sukai untuk dirinya itu.
Wendy membalas senyum ramah itu dengan terpaksa, tapi tetap tampak natural pada pria itu. “Tuan, Saya hanya ingin bertanya tempat, apakah Anda tahu di mana gedung E?” tanya Wendy.
Pria itu tersenyum lebar, lalu membalikkan tubuhnya sehingga menghadap pada gedung yang Wendy hendak menuju tadi. “Kau sudah menuju ke arah yang benar, itu dia gedungnya!” ucapnya sembari menunjuk gedung di hadapannya.
“Oh, baiklah, terima kasih, Tuan! Saya benar-benar sangat terbantu, maklum Saya mahasiswi baru jadi betul-betul tidak tahu lingkungan fakultas yang begitu luas ini,” ucap Wendy dengan sedikit berbasa-basi agar terkesan seperti mahasiswi ramah yang menyenangkan.
“Hoo, mahasiswi baru ya … Semester 1?” Pria itu bergumam, tampak sedang mengira-ngira sembari mempelajari sosok Wendy dengan pandangan yang begitu tajam.
“Saya - “ Saat Wendy hendak menyangkal tebakannya, pria itu berkata kembali sehingga Wendy perkataan Wendy terpotong.
“Oh, tidak, tidak, lebih tepatnya mahasiswi baru semester 5!” ucap pria itu dengan mantap.
Wendy tertegun mendengar tebakan akhir yang sangat meyakinkan itu. Ia terkejut karena bagaimana bisa pria itu menebak dengan sangat tepat mengenai hal yang sebenarnya jarang terjadi, yaitu menjadi seorang mahasiswi baru di semester 5, semester pertengahan yang hanya tinggal separuh perjalanan lagi sebagai seorang mahasiswa.
“Well, ruangan mana yang Kau tuju?” tanya pria itu yang berhasil membuyarkan ketertegunan Wendy.
“Um, ruangan E405,” jawab Wendy.
“Baiklah, tujuan Kita sama, jadi ayo kita ke ruangan itu bersama-sama saja!” seru pria itu dengan sangat bersemangat.
Wendy tersenyum lebar mendengar ajakan itu. Hal itu karena dengan begitu ia tidak harus berkeliaran seorang diri di dalam gedung besar itu seperti anak hilang. “Terima kasih, Tuan,” kata Wendy sembari mengangguk dengan sangat semangat.
Ia dan pria ramah itu pun melanjutkan langkah mereka ke dalam gedung itu untuk menuju ke ruangan yang mereka tuju. Sepanjang perjalanan itu mereka berbincang panjang lebar, atau lebih tepatnya pria itu yang lebih banyak berbicara sedangkan Wendy kebanyakan diam mendengarkan ocehan yang seperti tiada ujungnya itu. Sekali lagi, meski begitu ia tetap berusaha untuk terlihat sangat antusias mendengarkannya agar citranya sebagai mahasiswi ramah itu terjaga.
“O … Orang ini sebelas dua belas dengan Chris dalam hal kecerewetannya!” batin Wendy yang tak menyangka bahwa saat ini berhadapan dengan orang cerewet macam Chris, atasannya yang begitu sanat menyebalkan itu.
Mereka pun kini berada di dalam lift. Seperti orang kebanyakan, setelah masuk ke dalam ruangan sempit dan pengap itu, keduanya terdiam dengan pandangan mereka lurus ke depan memandang pintu lift yang tertutup rapat.
Wendy yang berdiri di samping agak belakang pria itu sesekali mencuri pandang padanya. Selama itu ia baru terpikir mengenai ada urusan apa pria itu ke ruangan yang sama dengannya itu. Melihat penampilan pria di hadapannya yang tampak rapi dan masih muda dengan pembawaannya yang santai itu membuat Wendy sekilas terpikir bahwa dia adalah mahasiswa yang akan mengikuti perkuliahan yang sama dengannya. Namun, ia masih ragu karena ada hal mengganjal dari pria itu yang membuatnya masih belum yakin bahwa dia adalah seorang mahasiswa juga. Oleh karena itu, meski memang terdengar aneh, itulah mengapa sedari tadi ia memanggil pria itu dengan sebutan ‘Tuan,’ karena menurutnya hal itu terdengar netral sehingga tidak membuat lawan bicaranya tersinggung.
TING!
Setelah pintu lift terbuka, mereka langsung keluar dan berjalan menelusuri koridor sejenak hingga akhirnya mereka sampai di depan pintu ruangan E405, ruangan yang mereka tuju.
Pria jangkung itu berdiri tepat di depan pintu, lalu menoleh pada Wendy dengan sangat antusias. “Siapa namamu?” tanya pria itu tiba-tiba.
“Nama Saya Bella Valentine, Tuan,” jawab Bella sembari memasang senyum terbaiknya pada pria itu.
“Nama yang bagus …” Pria itu menyodorkan tangannya, mengajak wanita itu berjabat tangan. “Perkenalkan, namaku Martin Gourname!” ucapnya.
“Ma … Martin Gourname!” Sontak setelah mendengar nama yang sangat tidak asing itu membuat Wendy terkejut. Hal itu membuatnya sejenak termangu, hingga akhirnya ia bisa mengendalikan dirinya dan menerima jabat tangan itu.
“Ja … Jangan dia …” pikir Wendy yang menebak siapakah sebenarnya pria itu.
KRIET!
Martin mendorong pintu ruangan di hadapannya dengan sedikit tenaga, sehingga tampaklah bagian dalam ruangan itu.
Pria itu melangkahkan kakinya ke dalam ruangan dengan begitu santainya. “Selamat datang di kelas Saya!” ucapnya sembari menoleh pada Wendy yang tampak memasang tampang bodoh di daun pintu memandangi Martin yang tampak ceria di dalam ruangan itu.
“DI … DIA DOSEN PEMBIMBING AKADEMIKKU!” teriak Wendy dalam hati setelah apa yang dipikirkannya itu terbukti.
Tentu ia tahu nama itu karena sebelumnya Chris pernah menyinggung nama orang itu padanya. Ia berkata bahwa dosen pembimbing akademik Wendy hanyalah seorang bujangan lapuk di umurnya yang sudah menginjak 34 tahun, tapi Chris tidak memberikan foto pria itu karena dia bilang pria itu benar-benar tidak penting sehingga tak perlu susah-susah untuk mengingat sosoknya.
“Dia tampak jauh lebih muda dari usianya, kukira pria yang dimaksud Chris itu akan tampak seperti bapak-bapak dengan perut buncit, berkumis, berambut klimis, dan galak,” pikir Wendy, memuji bagaimana dosennya itu bisa tampak seperti sebaya dengannya.
Wendy mengintip ke dalam kelas dan tampaklah semua mahasiswa yang sudah berada di dalam sana menengok pada dirinya karena rasa penasaran yang begitu sangat melihat dosennya tampak sangat heboh saat memasuki ruangan.
Martin yang masih belum beranjak dari depan kelas memerintahkan gadis yang tampak malu-malu itu untuk masuk ke dalam agar perkuliahan bisa segera dimulai. “Masuklah, tak usah malu!” serunya.
Wendy yang sengaja memasang tampang malu-malu itu pun masuk ke dalam ruangan dan dengan segera duduk di kursi kosong yang berada di barisan paling depan, yang memang selalu dikosongkan karena mahasiswa-mahasiswa itu takut untuk duduk terlalu dekat dengan dosen yang satu ini. Lebih tepatnya mereka takut ditanya mengenai hal-hal yang berkenaan dengan materi perkuliahan.
Menyadari hal itu, Wendy pun celingukan memperhatikan sekitarnya. “Kenapa sepanjang barisan paling depan ini kosong semua?” pikir Wendy yang merasa heran dengan hal aneh itu.
“Pak, Anda terlambat lebih dari 10 menit, bukannya seharusnya Anda tidak boleh masuk, dan kelas ditiadakan?” ucap seorang mahasiswi yang duduk di barisan kedua dari depan dengan begitu berani.
Martin tertawa mendengar protes itu sembari memerhatikan jam di tangannya. “Wah, betul, ternyata saya terlambat,” komentarnya setelah ia memastikannya.
PROK
PROK
PROK
Tiba-tiba pria itu bertepuk tangan sembari memasang senyum ramah khasnya.
“Bagus sekali Viona Jackline, keberanian Anda patut diapresiasi …” komentar dosen itu. “Well, jika Anda tidak berkata, mungkin di antara teman-temanmu ini tak ada yang berani memprotes,”
“Kalian semua sudah 2 tahun menjadi anak bimbingan akademik Saya, tapi hanya Anda yang tidak sungkan padaku, bagus, bagus, Saya sangat suka seperti itu,” sambungnya.
Ia kemudian berjalan mondar-mandir di depan kelas sembari memandangi semua mahasiswanya. “Well, mengenai hal itu, memang peraturan itu sudah Saya tetapkan semenjak pertama kali Kita semua bertemu di semester 1 di mata kuliah Pengantar Kriminologi, kemudian di semester 3 di mata kuliah Psikologi Kriminologi, ‘Kalian boleh mengusir Saya jika Saya terlambat masuk lebih dari 10 menit, dan Saya pun juga tidak segan-segan mengusir mahasiswa dari kelas jika dia terlambat lebih dari 10 menit juga.’ Saya selalu mengingatkan Kalian tiap pertemuan awal semester seperti sekarang, tapi hari ini Saya terlambat sebelum Saya memproklamirkan kembali peraturan itu pada Kalian, jadi Saya anggap keterlambatan kali ini belum dihitung, hehehe,” tutur pria itu dengan berbagai elakkan agar terhindar dari aturan yang ia buat sendiri sebelumnya.
Ia lalu berdiri di hadapan Wendy yang duduk memperhatikan dirinya. “Jika Saya datang lebih cepat hari ini, mungkin teman baru kalian ini belum sampai ke ruangan ini sampai sekarang,” ucapnya sembari memandang pada Wendy.
“Jurusan Kita memberlakukan sistem paketan yang sistemnya hampir sama dengan sistem sekolah pada umumnya yaitu pembagian kelas, kalian masuk dan lulus bersama-sama dengan teman-teman sekelas Kalian, jadi Saya yakin Kalian pasti menyadari ada wajah baru di sini sekarang. Mungkin Kalian berpikir pindah sekolah hanya ada pada jenjang pendidikan SD, SMP, SMA saja, tapi ketahuilah Kalian juga bisa pindah universitas dengan jurusan yang sama asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan pihak universitas, dan gadis ini contohnya,” Dosen itu menjawab pertanyaan yang tampak dari raut wajah mahasiswa-mahasiswanya yang tampak bingung dengan keberadaan mahasiswi baru di kelasnya.
“Nama gadis ini Bella Valentine, baik-baiklah Kalian pada rekan baru Kalian ini!” pungkasnya yang menjadi akhir dari pemaparan mengenai hal yang diherankan semua orang di dalam ruangan itu.
PROK
Martin menepuk tangannya dengan cukup keras, lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya.
“Pertama, nama Saya adalah Martin Gourname, Dosen Pembimbing Akademik Kalian, dan di semester ini Saya mengampu mata kuliah Organisasi Kejahatan Serius …” Mengingat terdapat mahasiswi baru di kelasnya, Martin memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya ia menjelaskan mengenai Rancangan Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah yang diampunya.
Ia menjelaskan dengan sangat detail, hingga akhirnya sampailah ia pada bagian aturan yang ia singgung-singgung sebelumnya.
“Baiklah dengan begitu, saat ini Saya nyatakan aturan terlambat itu berlaku mulai dari detik ini!” Martin pun memproklamirkan hal yang sebelumnya dipermasalahkan seorang mahasiswi yang bernama Viona itu.
“Sekarang Saya akan mengabsen, angkat tangan dan keluarkan suara ketika Saya memanggil nama kalian!” seru pria itu sembari membuka sebuah map yang berisi lembar absensi di tangannya.
Dosen yang tampak santai itu pun mulai mengabsen mahasiswa-mahasiswinya satu persatu dan memastikan kehadiran mereka dengan memperhatikan satu persatu orang yang mengacungkan tangan dan mengeluarkan suara ketika namanya dipanggil.
Hingga pada saat ia menyebutkan nama Reynold, ia pun tersenyum sangat lebar. “Reynold Clifford! Reynold Clifford!” Ia memanggil-manggil nama itu berulang-ulang karena tak ada satu orang pun yang mengacungkan tangannya.
Mengetahui hal itu, Wendy langsung memperhatikan sekitarnya, mencari targetnya yang sedari tadi tidak menyahut ketika dosen itu memanggilnya. “Ti … Tidak ada! Ke mana dia?” pikir Wendy yang sedikit kecewa karena di hari pertama misinya ia malah tidak bertemu dengan targetnya.
“Well, sepertinya semester ini pun dia akan banyak melewatkan kuliah Sa-“
KRIET!
Perkataan pria itu terjeda saat seseorang membuka pintu kelas.
Sontak semua orang menoleh ke arah pintu, dan tampaklah seorang pemuda tampan rupawan bertampang datar itu berdiri di daun pintu sembari memandang pada dosennya yang tengah berdiri di depan kelas sembari memasang senyum padanya.
“Re … Reynold Clifford!” Mendadak Wendy merasa lega karena akhirnya targetnya itu muncul juga.
“Oh, panjang umur sekali. Rey, Saya sedang mengabsen, Kau tahu kan apa itu artinya?” ucap Martin dengan pembawaan yang begitu santai pada pemuda dingin itu.
Reynold terdiam sejenak sebelum berkata. “Saya terlambat sehingga tidak boleh mengikuti perkuliahan,” tegasnya.
Martin mengangguk kecil, lalu berkata, “Baiklah jika Anda mengerti, kalau begitu silakan mundur, lalu tutup kembali pintunya.”
Reynold tidak memprotes, ia hanya mengangguk lalu perlahan menutup pintu yang sempat ia buka itu.
“Rey, masuk kembali ke ruangan ini setelah perkuliahan berakhir!” seru Martin sebelum pintu benar-benar tertutup.
Martin kembali mengalihkan pandangannya pada seluruh mahasiswanya, kemudian bertanya. “Kalian setelah ini ada kuliah jam berapa?”
“Jam 1 siang pak!” jawab salah satu mahasiswanya.
“Baiklah, kalau begitu …” Martin lalu menoleh pada Wendy, lalu berkata, “Bella, jangan dulu pergi setelah jam perkuliahan ini!”
“Baik, Pak,” jawab Wendy dengan tegas. Sejujurnya ia tidak terlalu penasaran dengan panggilan itu karena ia mengira bahwa semua yang mungkin akan dibicarakan nanti adalah mengenai kepindahannya.
"Aku lebih penasaran dengan alasan pria aneh ini memanggil Reynold untuk menghadap padanya nanti," pikir Wendy yang merasa tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Karena di hari pertama perkuliahan tidak ada penyampaian materi perkuliahan, setelah selesai mengabsen dan memberi sedikit pengarahan, serta sesi tanya jawab, Martin pun akhirnya mengakhiri kelas.Semua mahasiswa dan mahasiswi pergi meninggalkan kelas, terkecuali Wendy, karena ia diminta Martin untuk jangan dulu meninggalkan ruangan. Oleh karena itu, Wendy hanya duduk manis di tempat duduknya melihat satu persatu teman kelas melewati pintu.Ia lalu mengalihkan pandangannya pada DPA-nya yang tampak sedang sibuk memeriksa ponselnya sembari menunggu semua orang meninggalkan kelas. "Hm, apa saja yang ingin dia bicarakan denganku ya?" pikir Wendy.Ting!Tiba-tiba ponsel Wendy berdering, pertanda sebuah pesan singkat baru saja terkirim padanya.Menyadari hal itu, Wendy langsung mengambil ponselnya untuk mengetahui siapakah si pengirim pesan itu.Setelah memastikannya seketika wajah manis gadis itu tertekuk, tampak sekali raut wajahnya sangat tidak senang dengan apa yang dibacanya."Semangat
POV Wendy.Aku sudah cukup lama berdiri di sini, berusaha menguping pembicaraan kedua pria itu di dalam sana. Namun sayang sekali aku tidak bisa mendengar dengan jelas mengenai apa yang sedang mereka bicarakan karena situasi di sekitarku yang begitu riuh, ditambah lagi baik suara Reynold maupun Martin, keduanya terdengar sangat pelan sehingga hal itu membuatku terpikir bahwa di dalam sana mereka benar-benar sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius."Apakah mereka benar-benar mencurigaiku sehingga mereka mengikatkan kewaspadaan mereka?" pikirku, memikirkan kemungkinan terburuk itu."Hm, tapi jika demikian, mengapa Martin mencurigaiku? Dia hanya seorang dosen yang tak ada sangkut-pautnya dengan organisasi, dia murni orang luar yang seharusnya tidak ada keterkaitan apa-apa sehingga seharusnya dia bukanlah ancaman ... Seharusnya yang aku khawatirkan adalah Reynold, dia pasti tahu sesuatu mengenai kasus pembunuhan si brengsek itu dari ayahnya, mungkin saja dia saat ini sedang meningk
Gadis itu tampak sangat senang dengan sanjungan yang kulontarkan padanya. Tampangnya yang judes itu berubah menjadi senang dengan diwarnai segaris kebanggaan yang begitu tinggi."Hahahaha, orang bodoh sekali pun akan menyadari betapa beraninya Aku. Well, mau bagaimana lagi, keberadaanku memang tidak bisa disamarkan." Dia malah memuji dirinya sendiri dengan sangat percaya diri. Sungguh kepercayadiriannya patut untuk diapresiasi."Kau benar, Aku harus banyak belajar padamu," timpalku yang masih mengikuti alur, dan tentunya berusaha menarik simpati gadis itu agar di kemudian hari ia mau dengan suka rela membantuku mengejar Reynold.Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya dengan senyum penuh kemenangan. "Well, lagi pula sebagai mahasiswi baru seharusnya Kau menyadari bahwa Kau memerlukan seseorang untuk membantumu beradaptasi ... Karena Aku adalah orang baik, jadi tak ada pilihan lain bagiku selain membantumu!" tuturnya."Berhasil!" Jelas, mendengar ungkapan sok itu aku sangat se
DUG!Aku langsung masuk ke dalam apartemenku dan setelah itu mengunci pintunya rapat-rapat. Melihat Chris barusan, membuatku sedikit khawatir dan tentunya dengan melihatnya juga membuat suasana hatiku menjadi buruk."Akhirnya Aku sendirian," gumamku yang seketika merasa begitu lega berada sendirian di rumah.Drrrttt ...Drrrttt ...Drrrttt ...Tak lama, ponselku berdering, dan seperti yang kupikirkan, panggilan itu benar-benar dari Chris.Aku terpaku sejenak memandangi layar ponsel karena hal itu membuatku khawatir dengan hal apa yang akan pria brengsek itu bicarakan padaku.Namun karena aku tidak bisa mengabaikan panggilan itu, dengan sangat berat hari aku pun menerima panggilannya."Bicaralah!" Seperti biasa, aku menjawab panggilannya dengan ketus."Hai Baby ... Kenapa? Kenapa Kau terdengar tidak santai seperti itu, hm? Santai saja, Aku tidak menggigit kok, kecuali jika Kau menginginkannya, hehehe." Chris berkata normal seakan tak ada apa-apa sehingga kukira kali ini dia tidak menda
Sungguh aku merasa bahwa hari ini adalah hari keberuntunganku. Selain karena bisa berbincang sebentar dengan Reynold meski pembicaraan itu sangat absurt sekali, aku juga satu kelompok dengannya dalam sebuah tugas kelompok yang memiliki jangka waktu pengerjaan satu bulan. Satu bulan waktu yang sangat lama, tapi mengingat pertemuan untuk mengerjakan tugas itu tidak mungkin satu bulan penuh, jadi bisa diestimasikan waktu pertemuan itu minimal satu kali dalam satu minggu, atau empat kali dalam satu bulan. Itu artinya, tiap minggu aku memiliki kesempatan untuk menarik perhatian Reynold, dan tentu saja, aku tidak boleh menyia-nyiakan hal itu. "Yap, hanya pada waktu kerja kelompok saja Aku bisa berusaha mendekatinya tanpa takut diganggu oleh hal-hal payah seperti diintimidasi oleh para penggemarnya karena mengerjakan tugas adalah sebuah kewajiban ... Hah~ aku tidak menyangka kesempatan seperti ini datang di saat Aku hampir saja putus asa~" pikirku sembari melangkah dengan perasaan ringan me
POV Wendy.Akhirnya aku bisa mendapatkan buku yang kuinginkan. Setelah berhasil mendapatkan sisa uang yang kuperlukan, aku kembali ke toko buku untuk membayar buku itu."Dapatkan Hatinya!" Itulah judul yang tertera di sampul buku berwarna merah muda di tanganku ini.Aku sungguh tidak sabar untuk membaca lebih lanjut buku ini karena entah mengapa setelah membaca blurp menjanjikan yang tertera di belakang bukunya, aku merasa bahwa mungkin buku ini bisa membantuku untuk menghadapi Reynold."Tunggu dulu, orang yang Aku pinjami uang itu ... Siapa dia?" Mendadak, di tengah perjalanan pulang, aku baru saja terpikirkan hal penting yang seharusnya kutanyakan pada si pemuda yang kupinjami uangnya sejak awal.Aku menghentikan langkahku, dan langsung berbalik, berlari kembali menuju halte tempat aku meninggalkan pemuda itu sebelumnya."Bagaimana bisa Aku melupakan hal penting seperti itu!" gerutuku.***"Hah ... hah ..." Aku berusaha mengatur napasku ketika akhirnya aku sampai di halte tadi setel
Sementara itu, Viona yang baru saja sampai di perpustakaan setelah selesai sarapan pagi di kantin, langsung mencari keberadaan Wendy yang tertidur di sebuah tempat yang ada di sana. "Ck, gadis itu, padahal Aku sudah bilang akan menyusul ke sini, tapi dia tidak mengabarkan di mana tempat ia duduk sekarang," gumam Viona yang sebenarnya sedikit kesal karena tak menemukan keberadaan Wendy di perpustakaan yang terbilang cukup luas itu.Matanya terus menelisik tiap sudut ruangan, hingga akhirnya pencariannya itu terhenti ketika ia melihat sosok Wendy yang masih tertidur itu. Namun, ia tidak mendekat padanya karena selain Wendy, ia juga melihat sosok lain yang juga sedang berada di sana, dan itu sungguh membuatnya terkejut."Re ... Reynold!" ia menggumamkan nama itu setelah ia memastikan bahwa orang yang duduk berhadapan dengan Wendy adalah pemuda dingin itu.Mengetahui hal itu, Viona langsung bersembunyi, memutuskan untuk mengamati terlebih dahulu mengenai apa yang akan terjadi."Sedang ap
Ketiga pria itu kini sedang berada di ruangan perkuliahan yang Martin maksud. Terasa di dalam sana suasana menjadi sangat serius setelah Martin membuka pembicaraan serius yang membuatnya mengundang ayah dan anak itu untuk menemuinya."Aku sudah mendapatkannya!" ungkap Martin sambil memasang tampang seriusnya.Ia pun mengeluarkan dua buah undangan dari tas jinjing yang dibawanya. Michael pun tersenyum dengan sangat lebar melihat lembar undangan ditangan Martin itu. Ia mengambil undangan itu dan membacanya dengan seksama, serta dengan perasaan riang."Hahahaha, Kau memang sangat bisa diandalkan, Martin! Terima kasih, terima kasih!" ucapnya sambil tertawa dengan keras."Well, Kau sudah membantu banyak orang dan Aku akan sangat tersanjung bisa membantumu," timpal Martin yang juga sangat tersanjung dengan pujian dari seorang Michael Clifford.Reynold yang tak tahu apa-apa mengenai apa maksud dari undangan itu dan apa juga korelasinya dengan dirinya itu pun a