TBE 03
Pagi hari menyapa dengan dinginnya udara yang menusuk. Embusan angin seolah-olah menerobos masuk lapisan kaus lengan panjang dan sweater rajut yang kukenakan.Makin mendekati pergantian musim, maka cuaca pun menjadi tidak menentu. Sering kali, paginya dingin menggigit, tetapi siang sampai sore matahari bersinar dengan teriknya. Malam harinya kembali lagi ke udara sejuk, yang akan bertambah dingin seiring dengan pergantian jam. Bu Ismi sudah datang ke villa sebelum jarum jam dinding menunjuk ke angka tujuh. Suara senandung lagu khas Sunda terdengar dari bibirnya. Ibarat radio, mengalun tanpa henti dan cukup merdu di telinga. Hari ini, Titin---anak pertama Bu Ismi dan Pak Tono--- ikut membantu sang Ibu membersihkan rumah dan berbagai barang antik milik keluarganya Farid. Perempuan muda yang kali ini mengenakan jilbab merah muda dan blus senada itu, tampak sekali-sekali mencuri-curi pandang ke arahku yang sedang duduk di kursi putar dekat meja besar yang ada di ruang perpustakaan, yang berada tepat di belakang ruang tamu dan bersebelahan dengan kamar utama yang kutempati."Tin," panggilku sembari menengadah."Y-ya, Mas?" sahutnya dengan sedikit terbata. Mungkin dia terkejut karena tidak menyangka bahwa aku akan tiba-tiba memanggilnya. "Bisa tolong buatin teh manis? Kopiku udah tinggal ampasnya," pintaku sembari mengacungkan cangkir kopi yang memang sudah kosong.Titin mengangguk dan bergegas ke luar. Aku kembali melanjutkan mengetik di laptop, dan baru berhenti saat melihat pantulan wajah Viana di layar benda elektronik tersebut."Kamu tuh, Mas. Sama aja dengan pria lainnya," ucapnya pelan sembari menggeleng.Aku menoleh dan sedikit mengerutkan dahi. Bingung dengan maksud perkataannya dan sangat menunggu hantu berparas cantik itu melanjutkan ucapan."Jangan pura-pura!" desisnya sembari berpindah tempat dan duduk di samping kanan meja. Ujung gaun panjang hijau bercampur putih itu melambai menyentuh lantai. Kalau saja ada menyaksikan Viana berpenampilan seperti itu di malam hari, mungkin akan sedikit ngeri melihatnya yang seolah-olah tidak menapak."Apaan sih?" tanyaku sambil mengangkat alis.Viana mendengkus. Kemudian, menunjuk ke arah pintu di mana Titin sedang melangkah masuk ke ruangan sambil membawa nampan. Perempuan bertubuh mungil itu meletakkan satu gelas berisi air teh dan sepiring peuyeum goreng ke atas meja. (tape goreng) "Makasih," ucapku sambil meraih gelas dan menyesap teh yang rasa manisnya sangat pas dengan selera.Titin memperhatikanku sekilas sebelum membalikkan tubuh dan jalan menjauh dengan mengepit nampan di depan dada. Sepertinya dia tidak menyadari bila Viana sejak tadi memperhatikan gerak'geriknya. "Tadi, maksud kamu apa, Vi?" tanyaku pelan. Berusaha berhati-hati agar tidak terdengar ke luar. "Kamu itu, sama aja dengan pria lain. Senengnya memanfaatkan perempuan!" jelasnya dengan suara yang ketus. "Memanfaatkan?" Aku kembali menaikkan alis, karena makin tidak mengerti dengan maksud omongan hantu berparas cantik ini. "Iya. Memanfaatkan! Tahu aja kalau perempuan itu sejak tadi melirik, langsung deh main perintah!" sergahnya. Sejenak hening, kemudian tawaku pecah. Baru paham maksud sikap Viana yang aneh sejak tadi. "Nggak apa-apalah. Sekali-sekali ini minta tolong sama dia," timpalku setelah tawa usai. Viana hanya diam dan menatapku dengan sorot mata yang sangat dingin. Tangannya dilipat di depan dada. Dagu terangkat dan makin memperjelas lekukan lehernya yang jenjang dan mulus."Ehm, Vi, kenapa kamu nakut-nakutin pak Iman?" tanyaku sambil bertopang dagu. Berusaha mengalihkan pembicaraan agar dia lupa bila tengah kesal denganku."Nggak nakutin kok. Aku cuma ngasih pelajaran aja sama orang yang suka buang hajat di sembarang tempat. Jorok!" jawabnya dengan hidung yang mengerut. "Ngasih pelajaran boleh. Tetapi jangan bikin orang sampai demam begitu," balasku. "Itu bukan salahku. Dia aja yang lemah hati."Tawaku kembali pecah. Tak peduli bila hal ini akan memancing tanya Bu Ismi dan Titin. Viana tampak mengulum senyum, kemudian perlahan sosoknya memudar dan akhirnya benar-benar lenyap.***Senja yang indah menggantikan teriknya matahari siang tadi. Angin yang berembus ringan membuat udara terasa sedikit sejuk. Dedaunan di dahan pohon-pohon di pekarangan itu turut melambai, seakan-akan tengah menari terdorong angin sebelum tiba saatnya mereka gugur ke bumi.Aku melangkah hati-hati menaiki bukit di sebelah kanan villa. Beratnya ransel yang disampirkan di punggung, membuat gravitasi bumi menguat untuk menarikku ke bawah. Sepatu boot cokelat yang digunakan juga sudah terbenam beberapa kali di berbagai titik lumpur, dan memaksaku untuk mengingat bila nanti harus membeli sepatu karet, seperti yang biasanya dipakai pak Tono bila tengah berkebun.Setelah berjuang selama beberapa menit, akhirnya aku sampai di atas bukit. Berdiri tegak di depan sebuah makam lama yang nisannya terbuat dari marmer yang sangat indah. Di bagian tengah nisan tertulis nama pemilik makam ini. Yaitu Siti Mariam. Kelahiran tahun 1912, dan wafat pada tahun 1970. Aku duduk bersila di sebelah kanan makam. Memandangi sekeliling yang terasa sangat sunyi. Beberapa titik kendaraan yang banyak melintas di jalan raya depan villa, menandakan bahwa hari ini merupakan penghujung minggu. Seperti halnya daerah pegunungan lainnya, di sini banyak terdapat villa milik pribadi yang terkadang disewakan ke para pelancong. Walaupun daerah ini tidak sepopuler Puncak atau Lembang, tetapi dengan bertaburnya hotel kecil dan villa, menandakan daerah ini cukup banyak pengunjung. Ditambah lagi dengan dibangunnya sebuah waterpark di ujung jalan utama, menjadikan tempat ini makin ramai dikunjungi di penghujung minggu. Hawa dingin di bagian lengan kiri sontak membuatku menoleh. Viana telah hadir kembali dengan seulas senyuman indah di bibirnya. Aku seolah terhipnotis dan tidak sanggup mengalihkan perhatian. Terus saja memandangi wajahnya yang sangat menawan. "Aku, boleh minta tolong?" tanyanya dengan suara pelan."Kalau bisa, akan kutolong. Kalau nggak, cuma bisa bantu agar ada yang mau menolongmu," jawabku seraya tersenyum lebar. "Hmmm," sahutnya sambil memicingkan sebelah mata. "Minta tolong apa? Buruan ngomongnya. Bentar lagi aku mau turun," pintaku."Tolong bantu menyempurnakan jasadku," jawabnya. Aku terperangah dengan mata yang sedikit membola. Seolah tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Sepersekian detik berikutnya aku terdiam, berusaha mencerna perkataannya. "Bagaimana caranya?" tanyaku setelah bisa menguasai diri. "Ambil jasadku dari kuburan lama, dan pindahkan ke sini. Aku ingin dikuburkan dengan layak di sebelah makam ibu," jawabnya dengan suara yang bergetar. Jemari lentiknya mengusap marmer dengan pelan dengan diiringi sorot mata sendu.Aku mengalihkan pandangan kembali ke jalan. Otak berpikir keras mencari cara agar bisa memenuhi permintaan Viana yang benar-benar unik. "Makammu saja aku tidak tahu, Vi. Bagaimana hendak memindahkannya?" tanyaku. Viana menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Kemudian, tiba-tiba dia sudah berpindah duduk di hadapanku. "Makamku tidak jauh dari sini. Bahkan, kamu sering melewatinya," ujarnya sembari menatapku dengan sepasang mata berembun.TBE 04Ucapan Viana kemarin sore kembali terngiang. Hal itu membuatku sangat penasaran dan ingin mengorek keterangan lebih dalam. Akan tetapi, sebelum Viana melanjutkan omongan, azan Magrib telah berkumandang. Dia tiba-tiba menghilang dan tidak muncul kembali sampai detik ini. Kemarin malam, aku sengaja tidur lebih larut dari biasanya. Menunggu dirinya hadir di jam-jam biasa. Berulang kali aku melongok ke jendela ataupun ujung koridor, tempat di mana biasanya dia akan hadir, tetapi tetap saja dia tidak muncul.Radar penasaran yang meningkat tajam, membuatku memasang alarm di ponsel agar bisa bangun lebih awal. Niatku cuma satu, ingin mengobrol lebih banyak dengan penghuni rumah sebelah. Tuk, tuk, tuk! Bunyi ketukan di pintu kamar diiringi dengan suara panggilan Bu Ismi, membuatku bergegas berpakaian dan keluar dari kamar. Melangkah menuju ruang makan yang ditingkahi suara televisi yang tengah menayangkan berita infotainm
TBE 05Malam ini keluarga Pak Tono akhirnya memutuskan untuk menginap di kamar bagian depan villa, tepatnya di samping kiri ruang tamu. Sekali-sekali masih terdengar isakan Tari. Sepertinya dia masih syok setelah melihat penampakan Viana. Lagi-lagi aku tidak bisa langsung tertidur. Kegiatan menunggu Viana menjadi hal yang sangat melelahkan sekaligus mendebarkan. Di antara banyak pohon di halaman, tampak kelebatan dirinya beberapa kali. Akan tetapi, dia tetap tidak mau mendekatiku yang hanya bisa memandanginya dari jendela. Hingga akhirnya rasa kantuk menguasai, dan aku tertidur dengan jendela yang masih belum tertutup gordennya. Sinar matahari pagi yang menembus dari balik jendela, menyapa hari dan menyentuh kulit dengan lembut. Sesaat setelah terjaga aku bergegas jalan masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri secepat mungkin agar bisa segera menuntaskan misiku hari ini. "Mas, sarapan dulu," ajak Titin yang tengah menyapu rua
TBE 06Titin yang sedang duduk di kursi ruang tamu, sontak berdiri saat melihat kami melangkah masuk. Mata bulatnya memandangi kami dengan sorot mata yang sedikit berbeda. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun perempuan muda itu melangkah masuk ke rumah. Saat aku dan Risty memasuki ruang tengah Titin tengah menyiapkan meja makan. Dia hanya menatapku sesaat sambil mengarahkan jempol tangan kanan ke arah meja. Aku menangkapnya sebagai sikap mempersilakan kami untuk duduk di kursi depan meja makan, setelahnya Titin membalikkan tubuh dan beranjak menjauh. Risty memandangiku sambil tersenyum. Kemudian, menyendokkan nasi ke atas piring dan mengulurkannya padaku yang segera menambahkan lauk pauk sebelum mengambil sendok dan bersiap-siap untuk mulai makan.Kami bersantap sambil mengobrol dengan santai. Sedikit melupakan pertemuan dengan Viana tadi dan fokus dengan menceritakan kehidupan masing-masing. Setelah makan, aku pamit pada Rist
TBE 07Suara mobil yang memasuki pekarangan siang ini sontak membuatku mengintip dari balik gorden kamar yang tersibak. Secarik senyuman terukir di wajah saat melihat Farid dan Johan--adiknya-- turun dari mobil dan disambut hangat oleh Pak Tono dan Bu Ismi. Aku bergegas ke luar dan menghampiri kedua bersaudara itu. Menyalami dan memeluk mereka dengan setitik rasa rindu. Kami bertegur sapa selama beberapa detik, sebelum aku mengajak mereka memasuki ruang tamu."Ini, barang-barang yang kamu minta bawakan tempo hari," ujar Farid sambil mengulurkan sebuah tas travel biru tua yang cukup berat. "Thanks, Far. Ini akan sangat membantu," sahutku sembari membuka tas dan memeriksa isinya. "Lidya titip salam, To. Dia nggak bisa ikut ke sini. Maklum, bawaan bayi, masih mabuk," jelas Farid seraya mengulaskan senyuman lebar. Lidya adalah saudara sepupu, sekaligus satu-satunya kerabat yang terdekat denganku saat ini. Ayahnya merupa
TBE 08Senyuman di wajah Viana melebar. Kemudian, dia menoleh ke belakang, seakan-akan memberi kode kepada pria itu untuk maju dan lebih dekat dengan kami. "Sudah kuduga bahwa dia akan bertanya seperti ini, Sayang," ucap pria itu yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Viana. Terdengar suara tawa yang berdengung dari Viana. Perempuan berwajah blasteran dengan iris mata biru itu, tampak sedikit berbeda. Ada rona kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya yang berseri-seri. "Baiklah, Anak muda, aku akan mulai bercerita tentang diriku dan Viana. Jangan ada yang menyela sebelum aku selesai bercerita. Paham?" ujar pria itu yang langsung mendapatkan anggukan persetujuan dari kami bertiga. Farid sih tidak perlu ditanya, karena saat ini dia sedang mematikan diri. Bersembunyi di dalam tenda dan tidak mau keluar. "Namaku, Haryadi Atmaja. Aku adalah suami dari perempuan cantik ini," ujar pria itu sambil menoleh pada Viana. Seje
TBE 09"Siap?" tanya Johan. Aku mengangguk. Menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan degup jantung yang mulai turun naik secara ekstrim. Johan mencoba membuka gagang pintu, tetapi ternyata benda itu terkunci. Dia mencoba lagi dengan mendorong sedikit, tetap saja pintu tidak bergerak. "Sssttt. Lewat sini," panggil Risty dari arah samping kiri. Aku dan Johan bergegas menghampiri. Saat kami tiba, ternyata Risty telah berhasil membuka satu jendela berbahan kayu dengan lubang angin garis-garis khas rumah zaman dulu, dan kini gadis itu tengah melongok ke dalam. "Kok kamu tahu jendela ini nggak kekunci?" tanyaku sambil menatapnya penuh tanya. "Kan udah dibilang, Mas. Aku ini cenayang," jawabnya seraya tersenyum dan mengedipkan mata kiri yang membuat tampilannya makin menggemaskan. Aku menggeleng seraya tersenyum. Menaiki batas jendela yang kayunya masih bagus. Mengernyitkan
TBE 10"Ke mana?" tanyaku. "Tempat rahasia," jawab Viana, kembali dia mengedipkan sebelah mata dan merapikan rambut yang beterbangan oleh angin yang selalu muncul bersamaan dengan kehadirannya."Masih hujan, Vi." "Bukan ragamu yang akan ikut, tapi jiwamu." Kami saling berpandangan. Aku mencoba memahami maksud perkataannya, dan menggeleng setelah beberapa saat berpikir. "Tidak, aku tidak mau ikut," jawabku. "Apa kamu tidak ingin tahu tentang diriku?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kiri dan mengusap pipiku dengan sentuhan yang lembut. "Cukup kamu cerita aja. Aku nggak perlu ikut denganmu."Tiba-tiba Viana tertawa dengan suara berdengung. Menarik tanganku dan menggenggam jemari dengan erat. "Apa kamu takut tidak akan kembali?" tanyanya selesai tertawa. Aku sepersekian detik berpikir, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaannya. Perempuan berparas blasteran itu tertawa k
TBE 11Tubuh Risty yang semula menegang, perlahan berubah sedikit relaks. Dia melepaskan diri sambil mendorong tubuhku menjauh. Manik mata cokelat tua itu memandangiku dengan lekat. Seulas senyuman memikat dihadiahkannya padaku. "Mas, kita bicarakan nanti, ya. Sekarang, ayo, masuk. Kita bahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menolongmu," ucapnya pelan. "Jawab dulu, kamu cinta sama aku atau nggak?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi. Risty tidak menjawab, dia hanya menyentuhkan tangan ke pipi kananku. Kemudian, membalikkan badan dan berlalu untuk kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas dengan cepat, berusaha mengusir rasa tidak enak di dalam hati. Tadinya aku sangat berharap agar dia juga membalas perasaanku. Akan tetapi, sepertinya aku harus bisa lebih lama untuk bersabar. Menunggu itu adalah hal yang paling tidak kusukai, tetapi aku bisa apa? Tidak mungkin juga memaksakan kehendak. Mungkin pernyataan c