"Ck! Dimas! Ke mana kau? Kenapa ponselmu mati?"
Revan berdecak dan menghela napasnya. Sungguh ia lelah, tapi kekhawatirannya pada Dimas tidak membuatnya berhenti untuk menghubungi sahabatnya itu. Seharusnya Dimas sudah ada di Jakarta beberapa jam yang lalu, tapi kenyataannya, sahabatnya itu tak kunjung sampai dan tentu saja hal itu membuatnya khawatir. Terlebih orang tua Dimas terus menghubunginya untuk memastikan Dimas bersamanya atau tidak.
Ia yakin Dimas sudah di jalan karena tidak sampai satu jam setelah ia bicara dengan Dimas siang tadi, sahabatnya itu menghubunginya. Mengatakan jika akan kembali karena tuntutan sang ibu. Niat Dimas menenangkan diri dari kehidupannya di Jakarta harus berakhir lebih cepat dan jika dihitung-hitung Dimas seharusnya sudah sampai Jakarta, tapi hingga sampai hari menjelang malam Dimas belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sekadar menghubunginya pun tidak. Dihubungi juga tidak bisa. Tidak biasanya seperti ini. Sesibuk apa pun Dimas, pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu pasti akan menyempatkan untuk mengangkat panggilannya. Ia kembali mencoba menghubungi Dimas tapi tetap saja operator yang menjawab panggilannya. Ia pun sudah mengirim pesan tapi tidak terkirim. "Aku harap kau baik-baik saja, Dim," gumamnya berharap.
Drrrt ... drtttt
"Halo Dim ...."
Revan menghentikan ucapannya saat mengetahui yang menghubunginya ternyata bukan Dimas. Salahnya sendiri karena ia langsung menerima panggilan tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
"..."
"Tante! Dengar sendiri tadi, aku juga sedang menunggu telepon darinya. Sudah berapa kali aku katakan kalau aku tidak bersama Dimas saat ini. Dia tidak kembali ke tempatku."
"..."
"Aku tidak berbohong. Terserah tante percaya atau tidak. Aku tidak peduli. Pantas saja Dimas pergi. Ia pasti tidak tahan denganmu, Tante. Kau selalu menekannya tanpa peduli perasaan dan keinginan Dimas sendiri. Aku harap tante dan paman Adrian tidak akan menyesal jika Dimas lebih memilih pergi selamanya daripada harus menghadapi ayah dan ibu yang tidak pernah mengerti akan perasaannya."
Revan langsung memutus panggilan di teleponnya setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan sejak dulu pada ibu dari Dimas itu. Tanpa peduli tanggapan dari wanita yang melahirkan sahabatnya itu. Sungguh ia benar-benar kesal.
Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pemikiran orang tua Dimas yang terkadang ada di luar nalar itu. Pantas saja Dimas sering menghilang hanya untuk menenangkan pikirannya. Kadang ia akan menemani Dimas hanya untuk menghilangkan kepenatan yang mereka alami. Melepaskan sedikit saja beban yang mereka pikul. Iya, walaupun tidak semuanya, tapi setidaknya itu membuatnya dan Dimas sedikit merasa lebih hidup. Namun kali ini rasanya berbeda, seperti Dimas tidak akan kembali dalam waktu dekat.
'Rasanya aku ingin melarikan diri dari ini semua, Van.'
Sekelebat ucapan Dimas beberapa hari yang lalu terngiang di kepalanya dan itu membuat jantung Revan berdetak lebih keras. "Aku harap kau tidak berbuat nekat, Dim. Jangan ..."
Drrttt ... drrttt
Gumaman Revan terhenti saat ponselnya kembali bergetar. Ia menerima panggilan itu setelah melihat siapa yang menghubunginya. Ia harap mendapat kabar baik dari seseorang yang menghubunginya.
"Halo! Bagaimana? Apa ada kabar?" tanyanya tanpa basa basi.
"..."
Revan menggeleng setelah mendengar kabar yang baru diterimanya. "Kau pasti bohong. Dimas tidak mungkin ...." Revan tidak mampu menyelesaikan perkataannya. Tanpa sadar genggaman pada ponselnya semakin mengerat. "Beri tahu aku lokasinya. Aku akan ke sana," ucapnya lalu pergi meninggalkan kamarnya. Ia berharap apa baru saja ia dengar itu tidak benar. Dimas pasti baik-baik saja sekarang. Sahabatnya pasti ada di suatu tempat untuk menenangkan pikirannya. 'Iya pasti Dimas baik-baik saja,' pikirnya menenangkan diri atas kabar yang ia dapat dari orang suruhannya. Iya semoga saja.
***
Udara dingin mulai menerpa kulitnya tapi hal itu dihiraukan oleh Revan. Pria itu hanya menatap mobil yang ada beberapa meter darinya dengan tatapan nanar.
Sejak pertama sampai di tempat ini pun perasaannya sudah tidak enak. Benar saja, di depannya kini mobil Dimas sudah rusak di beberapa bagian, dan yang lebih membuat perasaannya kacau adalah Dimas tidak ada di dalam mobilnya. Sahabatnya itu pun tak ditemukan di sekitar mobilnya.
Di mana Dimas sekarang? Apa Dimas baik-baik saja? Berbagai pertanyaan mulai berkeliaran di kepalanya. Ia harap Dimas baik-baik saja, tapi melihat kondisi mobil sahabatnya, ia ragu akan hal itu.
Revan mendesah lelah. Hari sudah malam, tidak mungkin ia mencari Dimas sekarang. Terlebih lagi tempat ini adalah daerah perbatasan yang cukup sepi. Sebaiknya ia mencari penginapan sekarang sebelum larut. Tidak mungkin ia kembali ke Jakarta di saat ia belum menemukan jejak keberadaan Dimas. Ia akan tetap berusaha untuk menemukan sahabatnya itu. Harapnya sesuatu yang ia takutkan tidak terjadi lagi. Ya semoga.
***
"Cepat katakan apa yang kau dapatkan?"
"Mobil tuan Dimas ditabrak dari belakang oleh sebuah mobil yang hilang kendali. Pengemudinya terluka parah dan sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat, sedangkan mobilnya sudah diamankan oleh pihak berwajib. Kemungkinan orang-orang mengira itu adalah kecelakaan tunggal sehingga mereka tidak sadar ada mobil lain yang juga mengalami kecelakaan. Mobil ..."
"Dan mobil itu adalah mobil Dimas," potong Revan.
Sandy, bawahannya mengangguk "Benar, Tuan. Kita bisa menemukan mobil tuan Dimas dengan melacak ponselnya. Namun tidak ada tanda-tanda tuan Dimas di dalam mobilnya atau pun di sekitar lokasi kecelakaan. Anda pun sudah memastikannya sendiri kemarin."
"Apa ada lagi yang lainnya?"
Sandy menatap ragu ke arah atasannya, tapi bagaimanapun ia harus menyampaikan hal yang tadi dilaporkan orang suruhan mereka. "Sebenarnya orang-orang kita menemukan jejak kaki di dekat tempat mobil tuan Dimas. Itu mungkin jejak kaki tuan Dimas karena jejaknya mengarah keluar mobil, tapi itu hanya beberapa langkah saja."
"Dari analisis mereka mungkin tuan Dimas terjatuh karena tanah di sekitar tampak lebih tertekan dari tanah di dekatnya. Kemungkinan tuan Dimas terperosok jatuh. Namun, setelah mencari dan menyisir lokasi tersebut pun mereka tidak menemukan tuan Dimas. Jejak kaki dan sebagainya di lokasi sulit dilihat karena terhalang akar pohon dan dedaunan yang rontok. Ditambah kelembapan tanahnya pun tinggi sehingga jejak kaki yang tertinggal di tanah dengan cepat tersamarkan."
Revan menahan napas setelah mendengar laporan dari asistennya itu. Dimas masih belum ditemukan sampai sekarang. Ini sudah dua hari sejak ia menemukan mobil Dimas di perbatasan kota, tapi keberadaan sahabatnya itu masih menjadi misteri.
Sungguh ia khawatir sekarang. Melihat kondisi mobil Dimas, kemungkinan Dimas terluka juga sangat besar. Jika Dimas terluka, tidak mungkin dia bisa bergerak dengan bebas. Setidaknya Dimas masih berada tidak jauh dari lokasi kejadian. Jika Dimas terluka parah, maka tidak mungkin Dimas dapat bergerak dari tempatnya itu. Seandainya pun dia terjatuh dan terperosok pasti Dimas dengan mudah ditemukan di sana. Namun, kenyataannya tidak ada tanda-tanda keberadaan Dimas di tempat itu. Jika Dimas tidak ditemukan di sana, ada di mana Dimas sekarang? 'Sebenarnya ke mana kau, Dim?' tanyanya dalam hati.
"Teruskan pencarian dan perluas area pencarian. Aku ingin Dimas ditemukan bagaimanapun caranya," perintahnya.
"Baik, akan kami lakukan," jawab Sandy. Ia membungkuk lalu meninggalkan Revan dalam kamar penginapan yang mereka sewa sejak dua hari yang lalu.
***
"Sekarang katakan! Di mana Dimas sekarang? Dia mengatakan akan kembali, tapi sudah empat hari berlalu dia belum juga pulang. Tante tahu, Dimas sudah kembali ke Jakarta. Biasanya jika tidak pulang, Dimas akan berada di apartemennya tapi kali ini Dimas tidak ada di sana. Sebenarnya di mana Dimas?Tante yakin kau tahu di mana Dimas. Kalian pasti bersekongkol."Revan memutar bola matanya malas sebelum memandang sinis ke arah ibu sahabatnya. "Bukahkah memang itu gunanya sahabat. Terlebih Dimas sudah seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku tidak membantunya jika dia minta tolong kepadaku?" balasnya dengan sinis.Ibu dari Dimas ini benar-benar memancing emosinya. Jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih dengan ibu dari sahabatnya, ia mungkin sudah meninggikan suaranya untuk membalas perkataan Sarah. Namun, ia masih punya sopan santun dan menghormati wanita yang sedang memandang angkuh ke arahn
"Hanya itu yang bisa kusampaikan, Paman. Sampai saat ini pun orang-orang suruhanku masih melakukan pencarian. Semoga saja secepatnya kita mendapatkan kabar baik," ujar Revan setelah menjelaskan semuanya tentang Dimas pada orang tua sahabatnya.Tidak ada yang bisa dikatakan Adrian selain terima kasih pada Revan yang telah berbuat banyak untuk Dimas, putranya. Bahkan lebih dari mereka yang merupakan orang tua dari Dimas sendiri.Revan hanya membalas ucapan terima kasih Adrian dengan seulas senyum. Ia melirik ke arah Sarah yang masih terisak di bahu suaminya. Andai air mata dan kekhawatiran itu ada sebelum Dimas kecelakaan, mungkin Dimas masih berada di sini bersama mereka. Namun, semua sudah terjadi sekarang, tidak akan ada yang berubah. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa agar Dimas baik-baik saja."Aku akan terus mengabari paman mengenai pencarian Dimas," tukas Revan setelah beberapa saat terdiam mengamati dua orang di hadapannya. "Jika tidak ada yan
"Paman istirahat saja, paman pasti lelah setelah seharian bekerja. Biar aku saja yang menjaganya. Lagi pula ini sudah malam, paman membutuhkannya agar bisa beraktivitas besok."Danu tersenyum mendengar perkataan Andrea yang duduk di tepi ranjang. Ia menatap gadis cantik yang sedang mengganti kain kompres di dahi pria yang ditolongnya beberapa minggu yang lalu itu. "Aku sudah berjanji padamu, aku akan membantumu untuk merawatnya. Jadi aku akan di sini sampai kondisinya membaik," ucapnya lalu kembali menatap iba pria yang masih setia memejamkan matanya meski sudah dua minggu berlalu. Bahkan sejak kemarin kondisi pria ini menurun.Melihat tatapan Danu membuat Andrea menghela napas pelan. Ia tahu Danu sedang mengkhawatirkan pria yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar ini. "Dia baik-baik saja, Paman. Kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Paman tidak perlu cemas. Jika terjadi sesuatu, aku akan memberi tahu paman. Jadi sekarang paman bisa pulang dan ist
"Andrea ...""Andrea?""Huh? Paman?""Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?""Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan.Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak
Danu yang merasa Andrea begitu lama membersihkan tubuh pria yang ditolongnya, memutuskan kembali ke kamar yang di tempati pria itu untuk memanggil Andrea. "Andrea! Kenapa lama sekali? Kau ..." Perkataannya menggantung saat mendapati Andrea termenung, tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan benda yang ada di tangan gadis itu. "Apa yang kau pegang itu Andrea?""Eh Paman? Sejak kapan ada di sini?" tanya Andrea terkejut saat mendengar suara Danu bertanya padanya. "Apa paman sudah selesai sarapan?" lanjutnya."Paman sudah selesai sarapannya. Paman menunggumu tapi kau belum muncul juga untuk sarapan, makanya pamam ke sini untuk memastikan apakah semua baik-baik saja, dan yang paman temukan adalah kau lagi-lagi melamun," jelas Danu. "Apa semua baik-baik saja? Dan apa yang ada di tanganmu?" tanyanya lagi.Andrea hanya tersenyum tipis. "Semua baik-baik saja. Hanya saja aku menemukan ini terlepas dari
"Andrea, kau baik-baik saja bukan?" tanya Danu dengan cemas saat melihat wajah shock Andrea di depan pintu kamar tempat pria yang ditolongnya berada."Wajahmu pucat, apa terjadi sesuatu?" tanya Galang menimpali pertanyaan Danu. Awalnya ia dan Danu berniat menggantikan Andrea untuk menjaga pemuda di dalam sana agar gadis di hadapan mereka ini bisa beristirahat, tapi yang mereka temukan justru Andrea berdiri mematung dengan wajah shock. Ada apa sebenarnya? Apa kondisi pemuda itu menurun lagi seperti minggu lalu? Atau lebih buruk lagi, pemuda itu ....Galang menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang menghampiri kepalanya. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini. Pasti pemuda itu baik-baik saja. Tangannya bergerak memegamg dan menggoyangkan lengan Andrea. Menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya. "Andrea! Semua baik-baik saja, 'kan?" tanyanya sekali lagi.Andrea yang merasakan lengannya digoyang-goyangkan
Dimas mengerjap pelan menyesuaiakan cahaya yang masuk ke matanya. Setelahnya ia mengedarkan pandangannya. Keningnya mengerut melihat kamar yang tampak asing baginya ini. Di mana ia saat ini? Bukankah ia sedang dalam perjalanan pulang, tapi mengapa ia berada di tempat asing ini?"Mama ingin kau pulang hari ini juga! Jika tidak, kau tahu akibatnya!"Dimas mendesah lelah setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di jok di samping kemudi. Selalu seperti ini, selalu dihadapkan pada tuntutan yang tidak dapat ia tolak. Kenapa ibunya tidak pernah mau mengerti? Ia hanya ingin menenangkan diri sebentar, menghilangkan penat akibat rutinitas yang dijalaninya. Namun, kenapa sulit sekali untuk mendapatkan hal itu? Kenapa ia tidak bisa tenang sebentar saja? Tidak bisakah lepas dari segala semua yang terasa mengimpitnya selama ini?Sibuk dengan pikirannya, membuat Dimas ti
Pertanyaan yang keluar dari bibir Dimas membuat Danu menghela napas lelah karena sedari tadi berarti penjelasan yang ia jabarkan sia-sia saja. Tidak satu pun didengar oleh pemuda yang baru bangun setelah dua minggu lebih tidak sadarkan diri ini. Namun terlepas dari itu, ia merasa lega di saat yang bersamaan. Ini berarti pemuda yang ia tolong tidak ada kaitannya sama sekali dengan Andrea."Kau benar-benar tidak mendengar perkataan Danu?" tanya Galang dengan suara rendah tapi penuh penekanan. Berulang kali ia mengembuskan napas, guna menahan emosi. Ia sadar, yang mereka ajak bicara adalah orang baru sadar dari tidur panjangnya. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri, pun mengembalikan fokus. Namun apa semua yang mereka katakan terlewat begitu saja? Tidak satu pun yang disimak? Termasuk saat Danu memperkenalkan mereka tadi? Setidaknya pemuda ini pasti menyimak saat Danu menyebut nama mereka satu persatu, 'kan?Dimas yang mendengar pertanyaan itu membuatnya merasa bersalah. "