"Galang! Bantu aku!" seru Danu sambil berusaha berdiri dengan tegak sambil memapah seseorang di bahunya. Tadi ia terjatuh dan terguling saat mendorong mobil yang ditumpanginya untuk kembali ke badan jalan karena mobil tersebut terperosok ke sisi jalan yang miring dan berlumpur. Tadi, saat akan berdiri, matanya menangkap seseorang pingsan tidak jauh dari tempatnya dengan luka yang cukup membuatnya bergidik ngeri saking banyaknya luka yang orang ini derita.
"Siapa yang kau bawa?" pekik Galang. Ia kembali ke bawah untuk membantu temannya ini karena tadi dari arah kaca mobil ia melihat Danu terjatuh saat mendorong mobil mereka yang terjebak di lumpur. Namun, siapa sangka saat ia kembali setelah berhasil membawa mobilnya ke badan jalan, ia menemukan Danu sudah berjalan pelan sambil memapah seorang pria muda yang terluka cukup parah.
"Sudah! Jangan banyak tanya dulu. Cepat bantu aku!"
Tidak memiliki pilihan lain, akhirnya Galang membantu Danu. Keduanya membawa pria muda yang masih pingsan itu ke mobil mereka. "Hah! Siapa orang ini?" tanya Galang lagi setelah berhasil membawa pria tersebut di mobil mereka.
"Aku tidak tahu! Aku menemukannya sudah pingsan tidak jauh dari tempatku terjatuh tadi."
"Dan kau membawanya?"
"Tentu saja! Bagaimana aku bisa meninggalkannya di bawah dengan luka seperti itu," ujar Danu sambil menunjuk pria yang masih menutup matanya itu. "Sepertinya dia mengalami kecelakaan hingga berada di sana tadi."
"Apa iya? Bagaimana jika ternyata orang ini memang sengaja dibuang ke sana karena sesuatu. Aku tidak ingin kita mendapat masalah hanya karena pria muda ini," balas Galang masih khawatir dengan identitas pria asing ini.
"Pikiranmu terlalu jauh! Lihat itu! Sepertinya dugaanku benar! Pria muda ini kecelakaan," ujar Danu sambil menunjuk ke arah mobil yang berada jauh dari badan jalan. Mobil tersebut terlihat sudah penyok di semua bagiannya.
Galang mengikuti arah yang ditunjuk Danu dan memang benar di sana tampak mobil yang sudah rusak, bahkan bisa dikatakan hampir hancur. Ia menghela napasnya. "Jadi bagaimana sekarang?"
"Ya kita membawanya ke klinik desa. Aku tidak tega meninggalkannya sendiri di sini, apalagi jalanan ini cukup sepi. Kecil kemungkinan pria ini akan mendapat pertolongan. Sekalipun mungkin ada, tapi apa mungkin dia bisa bertahan dengan luka yang dideritanya?"
"Hah! Baiklah! Tapi bagaimana dengan mobil itu?
"Biarkan saja, kita hanya menolong orang ini saja. Biarkan mobil itu di sana agar bisa menjadi petunjuk bagi pihak berwajib jika ada kecelakaan yang terjadi di sini."
"Kau ini pak tua yang baik hati," desah Galang. "Kalau begitu, kau temani saja dia di belakang, biar aku yang menyetir sendiri," ujar Galang yang diangguki Danu lalu menuju arah depan mobilnya sedang Danu sendiri naik di belakang. Akhirnya keduanya kembali melanjutkan perjalanan pulang membawa serta pria asing yang masih tergolek tak berdaya itu.
***
"Hah! Akhirnya selesai juga!" seru Andrea setelah selesai membersihkan halaman rumahnya. Ia hendak kembali ke dalam rumah setelah meletakkan sapu di pojok rumah sebelum mendengar seseorang menyerukan namanya.
"Rea! Andrea!"
Andrea menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Danu berlari ke arahnya. Ia mengernyit heran saat pria paruh baya ini menampilkan wajah panik. "Ada apa, Paman? Kenapa paman sampai harus berlari seperti itu?" tanyanya penasaran.
Danu hanya mampu mengatur napasnya. "Ayo! Ikut paman!" Pria paruh baya bernama Danu itu justru meminta Andrea untuk mengikutinya tanpa menjawab pertanyaan yang dilayangkan Andrea padanya.
Meski tidak mengerti, Andrea tetap mengikuti pria paruh baya yang masih menampilkan wajah paniknya itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah rumah yang sudah dikenalinya dengan baik, rumah Paman Danu, pria yang sudah dianggapnya sebagai pamannya sendiri, seperti keluarganya sendiri.
Andrea semakin tidak mengerti saat masuk ke dalam rumah yang bisa dibilang sederhana itu. Bagaimana tidak? Saat ia masuk ke dalam sebuah kamar, beberapa orang yang dikenalnya sedang berkumpul di sana entah karena apa. Ada apa sebenarnya?
Rasa penasarannya terobati saat ia mengarahkan pandangannya ke tempat tidur. Di ranjang itu, ia melihat seorang pria asing terbaring lemah dengan luka di sekujur tubuh yang sudah diperban di beberapa tempat. Ia meringis ngeri saat melihat keadaan pria yang tidak dikenalnya itu. Ia seperti bisa membayangkan rasa sakit yang dirasakan pria itu.
"Rea! Kau baik-baik saja?"
Seruan kecil dari Danu membuat Andrea tersadar dari lamunannya. Ia menatap Danu dan mengangguk. "Aku baik-baik saja, Paman. Hanya sedikit ngeri saat melihat kondisinya," ucapnya seraya kembali menatap pria asing itu. "Siapa dia, Paman? Kenapa dia bisa sampai terluka seperti itu?" tanyanya.
"Saat pulang dari kota setelah menjual hasil pertanian, mobil pick up yang Galang dan aku tumpangi hilang kendali sehingga menyebabkan mobil kami terperosok ke sisi jalan yang berlumpur. Beruntung kami baik-baik saja. Saat aku mendorong mobil untuk kembali ke badan jalan, aku tergelincir dan terjatuh, terguking semakin ke bawah, beruntung tidak sampai masuk jurang. Saat itulah aku menemukannya sudah pingsan dengan luka di sekujur tubuhnya. Galang awalnya ingin meninggalkannya tapi kami tidak tega. Akhirnya kami memutuskan untuk membawanya. Kami sudah membawanya ke klinik desa dan mengobati lukanya tapi sampai sekarang dia belum sadar juga."
Danu menghela napas pelan dan menatap pria muda yang terbaring itu dengan tatapan iba. "Dokter di sana mengatakan tidak mampu merawatnya karena peralatan yang seadanya di klinik desa. Dokter itu juga belum bisa memastikan keadaan pria ini karena belum sadar. Jika dibiarkan di klinik, takutnya tidak ada yang merawatnya karena kau tahu sendiri, hanya ada satu dokter yang ada di sana untuk berjaga untuk menangani pasien yang datang untuk berobat dan satu lagi melakukan kunjungan ke bagian desa yang lebih terpencil. Untuk itulah aku dan Galang memutuskan untuk membawanya ke sini, merawatnya. Setidaknya sampai dia tersadar."
Andrea ikut menatap pria itu dengan tatapan iba. Jika diamati pria asing ini cukup tampan dengan rahang tegas dan bibir yang menggoda. Andrea menggeleng saat pikirannya melayang entah ke mana. Kenapa ia bisa membayangkan hal yang tidak-tidak tentang pria ini? Ia pun tak mengerti. Hanya saja, entah kenapa saat melihat wajah penuh luka pria ini, ia juga bisa merasakan sakit. Hatinya sesak. 'Ada apa denganku?' tanyanya pada diri sendiri. Andrea mencoba mengenyahkan pikiran anehnya. Ia menatap Danu. "Lalu kenapa Paman membawaku ke sini?" tanyanya. Tidak mungkin hanya untuk memberi tahunya jika ada yang sedang sakit di rumahnya bukan?
"Ah ya! Aku membawamu ke sini karena aku ingin meminta tolong. Kau tahu rumahku atau pun rumah Galang tidak memiliki kamar lebih untuk merawatnya. Jadi, kami ingin pria ini tinggal di rumahmu, Rea. Rumahmu cukup besar dan memiliki kamar lebih untuk tempat tinggalnya sementara. Itu pun jika kau tidak keberatan."
Andrea terdiam mendengar permintaan Danu. Memang benar rumahnya memiliki kamar lebih untuk tempat tinggal pria ini, tapi apa ia bisa merawat pria ini? Apa tidak apa-apa ia tinggal dengan pria asing? "Aku ...."
Danu mengerti tentang kekhawatiran gadis cantik di hadapannya ini. Tidak mudah untuk hidup sendiri dan merawat orang asing, terlebih seorang pria. "Kau tenang saja, kami juga akan merawatnya, membantumu. Kami tidak akan membiarkanmu merawatnya sendiri. Bahkan jika perlu aku dan yang lain akan bergiliran untuk menginap di rumahmu untuk menjaganya. Hanya saja kita butuh tempat dan itu ada di rumahmu, Rea."
Mendengar penjelasan dan permohonan Danu membuat gadis cantik ini luluh. "Baiklah. Dia boleh dirawat di rumahku," ucap Andrea akhirnya menyetujui permintaan Danu. Ia pun sebenarnya tidak tega pada pria yang terluka ini jika harus dirawat di rumah Danu yang tidak memiliki kamar lebih. Semoga pria ini cepat sadar dari pingsannya.
***
"Ck! Dimas! Ke mana kau? Kenapa ponselmu mati?"Revan berdecak dan menghela napasnya. Sungguh ia lelah, tapi kekhawatirannya pada Dimas tidak membuatnya berhenti untuk menghubungi sahabatnya itu. Seharusnya Dimas sudah ada di Jakarta beberapa jam yang lalu, tapi kenyataannya, sahabatnya itu tak kunjung sampai dan tentu saja hal itu membuatnya khawatir. Terlebih orang tua Dimas terus menghubunginya untuk memastikan Dimas bersamanya atau tidak.Ia yakin Dimas sudah di jalan karena tidak sampai satu jam setelah ia bicara dengan Dimas siang tadi, sahabatnya itu menghubunginya. Mengatakan jika akan kembali karena tuntutan sang ibu. Niat Dimas menenangkan diri dari kehidupannya di Jakarta harus berakhir lebih cepat dan jika dihitung-hitung Dimas seharusnya sudah sampai Jakarta, tapi hingga sampai hari menjelang malam Dimas belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sekadar menghubunginya pun tidak. Dihub
"Sekarang katakan! Di mana Dimas sekarang? Dia mengatakan akan kembali, tapi sudah empat hari berlalu dia belum juga pulang. Tante tahu, Dimas sudah kembali ke Jakarta. Biasanya jika tidak pulang, Dimas akan berada di apartemennya tapi kali ini Dimas tidak ada di sana. Sebenarnya di mana Dimas?Tante yakin kau tahu di mana Dimas. Kalian pasti bersekongkol."Revan memutar bola matanya malas sebelum memandang sinis ke arah ibu sahabatnya. "Bukahkah memang itu gunanya sahabat. Terlebih Dimas sudah seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku tidak membantunya jika dia minta tolong kepadaku?" balasnya dengan sinis.Ibu dari Dimas ini benar-benar memancing emosinya. Jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih dengan ibu dari sahabatnya, ia mungkin sudah meninggikan suaranya untuk membalas perkataan Sarah. Namun, ia masih punya sopan santun dan menghormati wanita yang sedang memandang angkuh ke arahn
"Hanya itu yang bisa kusampaikan, Paman. Sampai saat ini pun orang-orang suruhanku masih melakukan pencarian. Semoga saja secepatnya kita mendapatkan kabar baik," ujar Revan setelah menjelaskan semuanya tentang Dimas pada orang tua sahabatnya.Tidak ada yang bisa dikatakan Adrian selain terima kasih pada Revan yang telah berbuat banyak untuk Dimas, putranya. Bahkan lebih dari mereka yang merupakan orang tua dari Dimas sendiri.Revan hanya membalas ucapan terima kasih Adrian dengan seulas senyum. Ia melirik ke arah Sarah yang masih terisak di bahu suaminya. Andai air mata dan kekhawatiran itu ada sebelum Dimas kecelakaan, mungkin Dimas masih berada di sini bersama mereka. Namun, semua sudah terjadi sekarang, tidak akan ada yang berubah. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa agar Dimas baik-baik saja."Aku akan terus mengabari paman mengenai pencarian Dimas," tukas Revan setelah beberapa saat terdiam mengamati dua orang di hadapannya. "Jika tidak ada yan
"Paman istirahat saja, paman pasti lelah setelah seharian bekerja. Biar aku saja yang menjaganya. Lagi pula ini sudah malam, paman membutuhkannya agar bisa beraktivitas besok."Danu tersenyum mendengar perkataan Andrea yang duduk di tepi ranjang. Ia menatap gadis cantik yang sedang mengganti kain kompres di dahi pria yang ditolongnya beberapa minggu yang lalu itu. "Aku sudah berjanji padamu, aku akan membantumu untuk merawatnya. Jadi aku akan di sini sampai kondisinya membaik," ucapnya lalu kembali menatap iba pria yang masih setia memejamkan matanya meski sudah dua minggu berlalu. Bahkan sejak kemarin kondisi pria ini menurun.Melihat tatapan Danu membuat Andrea menghela napas pelan. Ia tahu Danu sedang mengkhawatirkan pria yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar ini. "Dia baik-baik saja, Paman. Kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Paman tidak perlu cemas. Jika terjadi sesuatu, aku akan memberi tahu paman. Jadi sekarang paman bisa pulang dan ist
"Andrea ...""Andrea?""Huh? Paman?""Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?""Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan.Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak
Danu yang merasa Andrea begitu lama membersihkan tubuh pria yang ditolongnya, memutuskan kembali ke kamar yang di tempati pria itu untuk memanggil Andrea. "Andrea! Kenapa lama sekali? Kau ..." Perkataannya menggantung saat mendapati Andrea termenung, tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan benda yang ada di tangan gadis itu. "Apa yang kau pegang itu Andrea?""Eh Paman? Sejak kapan ada di sini?" tanya Andrea terkejut saat mendengar suara Danu bertanya padanya. "Apa paman sudah selesai sarapan?" lanjutnya."Paman sudah selesai sarapannya. Paman menunggumu tapi kau belum muncul juga untuk sarapan, makanya pamam ke sini untuk memastikan apakah semua baik-baik saja, dan yang paman temukan adalah kau lagi-lagi melamun," jelas Danu. "Apa semua baik-baik saja? Dan apa yang ada di tanganmu?" tanyanya lagi.Andrea hanya tersenyum tipis. "Semua baik-baik saja. Hanya saja aku menemukan ini terlepas dari
"Andrea, kau baik-baik saja bukan?" tanya Danu dengan cemas saat melihat wajah shock Andrea di depan pintu kamar tempat pria yang ditolongnya berada."Wajahmu pucat, apa terjadi sesuatu?" tanya Galang menimpali pertanyaan Danu. Awalnya ia dan Danu berniat menggantikan Andrea untuk menjaga pemuda di dalam sana agar gadis di hadapan mereka ini bisa beristirahat, tapi yang mereka temukan justru Andrea berdiri mematung dengan wajah shock. Ada apa sebenarnya? Apa kondisi pemuda itu menurun lagi seperti minggu lalu? Atau lebih buruk lagi, pemuda itu ....Galang menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang menghampiri kepalanya. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini. Pasti pemuda itu baik-baik saja. Tangannya bergerak memegamg dan menggoyangkan lengan Andrea. Menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya. "Andrea! Semua baik-baik saja, 'kan?" tanyanya sekali lagi.Andrea yang merasakan lengannya digoyang-goyangkan
Dimas mengerjap pelan menyesuaiakan cahaya yang masuk ke matanya. Setelahnya ia mengedarkan pandangannya. Keningnya mengerut melihat kamar yang tampak asing baginya ini. Di mana ia saat ini? Bukankah ia sedang dalam perjalanan pulang, tapi mengapa ia berada di tempat asing ini?"Mama ingin kau pulang hari ini juga! Jika tidak, kau tahu akibatnya!"Dimas mendesah lelah setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di jok di samping kemudi. Selalu seperti ini, selalu dihadapkan pada tuntutan yang tidak dapat ia tolak. Kenapa ibunya tidak pernah mau mengerti? Ia hanya ingin menenangkan diri sebentar, menghilangkan penat akibat rutinitas yang dijalaninya. Namun, kenapa sulit sekali untuk mendapatkan hal itu? Kenapa ia tidak bisa tenang sebentar saja? Tidak bisakah lepas dari segala semua yang terasa mengimpitnya selama ini?Sibuk dengan pikirannya, membuat Dimas ti