"Terima kasih, Rea. Makananmu ini yang terbaik," puji Yudi setelah menikmati makanan yang dihidangkan oleh Andrea. Perkataan pria paruh baya itu diangguki oleh semua yang ada di halaman rumah Andrea yang cukup luas. Warga desa memang acap kali mengadakan makan bersama setelah mereka selesai memanen hasil pertanian yang mereka tanam. Kali ini mereka memilih halaman rumah Andrea karena gadis itu yang ingin menyajikan makanan utamanya dibantu beberapa warga. Ya setidaknya lebih meringankan beban gadis malang itu. Lagi pula di antara rumah mereka, rumah Andrea yang paling luas.
"Kembali kasih, Paman. Aku senang jika paman menyukai makanan yang aku sajikan," balas Andrea sambil mengulas senyum pada Yudi dan yang lainnya ada di sana. Tangannya masih sibuk menyajikan beberapa makanan untuk warga desa. Bibirnya tidak henti mengulas senyum mendengar jika makanan yang dimasaknya disukai para orang tua ini.
"Kami pasti menyukai apa pun yang kau masak, Rea. Seperti yang Yudi katakan tadi, makananmu sangat enak," ujar pria paruh baya yang lainnya.
"Oh jadi makanan Rea lebih enak dibandingkan manakanku begitu?"
"Tentu sa ..." Pria paruh baya itu menggantung perkataannya saat menyadari siapa yang bertanya padanya. Ia mendongak dan mendapati sang istri tengah berkacak pinggang dan mendelik ke arahnya. "Setelah makanan buatan istriku tentunya," lanjutnya seraya terkekeh, dan setelahnya ia tersedak karena masih ada sisa makanan di mulutnya.
Sontak saja hal itu membuat mereka tertawa. 'Ada-ada saja,' batin mereka semua yang ada di sana, termasuk juga Andrea. Manik bulatnya berbinar melihat bagaimana tetangga-tetangganya saling bercanda, senda gurau bersama. Ia merasa benar-benar merasa seperti memiliki keluarga saat bersama orang-orang ini. Hatinya menghangat, berbeda halnya dengan mereka yang entah merindukannya atau tidak.
***
Setelah satu persatu warga pulang ke rumah masing-masing, Andrea menghela napas pelan. Ia meletakkan piring terakhir yang dicucinya. Ia melangkahkan kakinya ke kamarnya. Ia cukup lelah hari ini, tapi cukup senang karena bisa membantu tetangganya di lahan pertanian milik mereka. Merebahkan diri mencoba beristirahat, tapi belum lama ia memejamkan mata, kelopak matanya kembali terbuka menampilkan mata bulat yang indah. Namun ada yang berbeda, manik bulatnya tidak lagi memancarkan binarnya, yang ada hanya kehampaan, kesedihan dan kerinduan. Berbeda sekali saat tadi siang, ia bisa tersenyum lepas di antara orang-orang yang telah ia anggap keluarga.
Inilah dirinya yang sebenarnya, sosok yang selalu merasa kesepian. Isak tangis tak pelak selalu menemani kesunyian malamnya. "Pa! Ma! Kenapa kalian meninggalkanku?" isaknya pelan. "Kakak ... dia ... dia meninggalku sendiri di sini. Katanya, dia akan menjemputku tapi sampai sekarang dia tidak pernah datang. Dia mengingkari janjinya. Papa! Mama! Tolong! Aku kesepian. Tolong minta pada Tuhan agar mengirimkan seseorang untuk menemaniku hingga aku tidak kesepian dan sendiri lagi. Aku lelah, bisakah ini berakhir?" lirihnya. Entah berapa lama ia menangis sampai akhirnya tertidur karena kelelahan.
***
"Tenanglah, Van! Kenapa kau terdengar gusar hanya karena aku tidak ada dì Jakarta, hm?" tanya Dimas sembari terkekeh, membayangkan wajah kesal Revan karena ia tidak memberi tahu sahabatnya itu, jika ia sedang berada di salah satu tempat yang selalu membuatnya tenang. Tempat di mana ayah dan ibunya berasal, di sebuah kota di Jawa Barat yang masih asri, Lembang.
Revan yang diseberang sana hanya mendengkus keras. "Biasanya kau mengajakku jika ingin pergi ke sana. Meski kadang aku tidak bisa, setidaknya kau memberi tahuku," gerutu Revan dengan kesal.
"Aku hanya ingin menenangkan diri beberapa hari, Van. Secepatnya aku kembali."
"Beberapa hari kau bilang? Ini sudah lebih dari empat hari, jika kau lupa!"
"Hahaha! Baru empat hari, 'kan? Belum juga satu minggu."
"Dasar! Kau ini! Hah! Sudahlah! Lama-lama aku bisa gila jika terus berdebat denganmu. Cepatlah kembali, di sini sepi tanpamu."
Dengkusan keras terdengar dari bibir Dimas. "Apa-apaan perkataanmu itu? Seakan kita sepasang kekasih saja," ujar Dimas sembari bergidik geli.
"Bukankah kita memang pasangan, hm? Pasangan, ah lebih tepatnya partner dalam mencari sosok yang kita cintai dan mencintai kita."
Dimas terbahak mendengar perkataan Revan. "Ya! Ya! Kau benar! Secepatnya aku akan kembali."
"Nikmati waktumu di sana. Berhati-hatilah saat pulang nanti."
"Terima kasih, Van!"
Revan hanya menggumam pelan sebagai balasannya. Netranya memejam perlahan setelah mematikan sambungan ponselnya dengan Dimas. Perasaannya benar-benar tidak tenang saat mengetahui Dimas pergi sendiri. Ia merasa akan terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Hah! Semoga ini perasaannya saja.
Begitupun dengan Dimas, ia mematikan ponselnya, lalu hendak kembali ke dalam setelah menikmati teh dan camilannya di halaman rumahnya. Menikmati angin yang berembus di siang hari. Namun, baru beberapa langkah berjalan, ia kembali berhenti karena ponselnya kembali berdering.
Drrtt ... drttt ...
Dimas merogoh dan mengambil ponselnya di dalam saku. Desah lelah terdengar dari bibirnya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya. Namun, meski begitu ia tetap mengangkatnya. Lagi lagi desah lelah mengalun dari bibirnya setelah menerima telepon itu. Tidak bisakah ia menikmati hari liburnya lebih lama dan tenang? Kenapa harus ibunya tetap merecokinya dan mengganggu ketenangan di sini, rumah keluarganya di Lembang?
"Andai saja bisa, ia lebih memilih memiliki kehidupan yang sederhana daripada hidup dalam kekangan setiap saat. Namun, ia tidak bisa bukan? Banyak orang yang menggantungkan hidup mereka padanya. Ia menghela napas dan segera melangkah memasuki rumah dan bersiap untuk pulang. Sepertinya ia harus kembali ke Jakarta hari ini juga.
***
Entah berapa lama Dimas mengemudikan mobilnya, ia tidak ingat. Pikirannya kembali melayang akan ucapan ibunya. Ia mendesah lelah. Kenapa ibunya itu tidak mengerti juga akan perasaannya? Ia tahu, saat tiba di Jakarta pasti ibunya kembali merecokinya untuk menerima perjodohan dengan salah satu putri rekan bisnisnya. Andai saja ia bisa menghilang untuk menghindari permintaan ibunya itu, ia tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil kesempatan itu.
Dimas terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tidak memperhatikan jalan, bahkan ia tidak melihat sebuah mobil lepas kendali di belakangnya. Mobil itu melaju dengan kencang hingga menabrak bagian belakang mobil Dimas. Tidak sempat menghindar, Dimas membanting kemudi membuat mobilnya terperosok dan terguling keluar dari pembatas jalan.
Tubuh Dimas membentur pintu mobil yang sudah remuk, ia berusaha mendorong pintu itu agar ia dapat keluar dari mobil. Ia berhasil melakukannya, tapi tubuhnya tiba-tiba limbung karena tidak kuat untuk menahan sakit dan luka yang dideritanya, sampai tubuhnya terjatuh dan kembali terguling semakin ke bawah karena tanah tempatnya berpijak sedikit miring. Beberapa kali ia membentur akar-akar pohon dan bebatuan sampai ia tidak kuat lagi menahan denyutan di kepalanya. 'Apa ini saatnya ia menghilang dari hidup yang memuakkan ini? Inikah akhirnya?' batinnya sebelum akhirnya kegelapan menghampirinya.
***
"Galang! Bantu aku!" seru Danu sambil berusaha berdiri dengan tegak sambil memapah seseorang di bahunya. Tadi ia terjatuh dan terguling saat mendorong mobil yang ditumpanginya untuk kembali ke badan jalan karena mobil tersebut terperosok ke sisi jalan yang miring dan berlumpur. Tadi, saat akan berdiri, matanya menangkap seseorang pingsan tidak jauh dari tempatnya dengan luka yang cukup membuatnya bergidik ngeri saking banyaknya luka yang orang ini derita."Siapa yang kau bawa?" pekik Galang. Ia kembali ke bawah untuk membantu temannya ini karena tadi dari arah kaca mobil ia melihat Danu terjatuh saat mendorong mobil mereka yang terjebak di lumpur. Namun, siapa sangka saat ia kembali setelah berhasil membawa mobilnya ke badan jalan, ia menemukan Danu sudah berjalan pelan sambil memapah seorang pria muda yang terluka cukup parah.
"Ck! Dimas! Ke mana kau? Kenapa ponselmu mati?"Revan berdecak dan menghela napasnya. Sungguh ia lelah, tapi kekhawatirannya pada Dimas tidak membuatnya berhenti untuk menghubungi sahabatnya itu. Seharusnya Dimas sudah ada di Jakarta beberapa jam yang lalu, tapi kenyataannya, sahabatnya itu tak kunjung sampai dan tentu saja hal itu membuatnya khawatir. Terlebih orang tua Dimas terus menghubunginya untuk memastikan Dimas bersamanya atau tidak.Ia yakin Dimas sudah di jalan karena tidak sampai satu jam setelah ia bicara dengan Dimas siang tadi, sahabatnya itu menghubunginya. Mengatakan jika akan kembali karena tuntutan sang ibu. Niat Dimas menenangkan diri dari kehidupannya di Jakarta harus berakhir lebih cepat dan jika dihitung-hitung Dimas seharusnya sudah sampai Jakarta, tapi hingga sampai hari menjelang malam Dimas belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sekadar menghubunginya pun tidak. Dihub
"Sekarang katakan! Di mana Dimas sekarang? Dia mengatakan akan kembali, tapi sudah empat hari berlalu dia belum juga pulang. Tante tahu, Dimas sudah kembali ke Jakarta. Biasanya jika tidak pulang, Dimas akan berada di apartemennya tapi kali ini Dimas tidak ada di sana. Sebenarnya di mana Dimas?Tante yakin kau tahu di mana Dimas. Kalian pasti bersekongkol."Revan memutar bola matanya malas sebelum memandang sinis ke arah ibu sahabatnya. "Bukahkah memang itu gunanya sahabat. Terlebih Dimas sudah seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku tidak membantunya jika dia minta tolong kepadaku?" balasnya dengan sinis.Ibu dari Dimas ini benar-benar memancing emosinya. Jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih dengan ibu dari sahabatnya, ia mungkin sudah meninggikan suaranya untuk membalas perkataan Sarah. Namun, ia masih punya sopan santun dan menghormati wanita yang sedang memandang angkuh ke arahn
"Hanya itu yang bisa kusampaikan, Paman. Sampai saat ini pun orang-orang suruhanku masih melakukan pencarian. Semoga saja secepatnya kita mendapatkan kabar baik," ujar Revan setelah menjelaskan semuanya tentang Dimas pada orang tua sahabatnya.Tidak ada yang bisa dikatakan Adrian selain terima kasih pada Revan yang telah berbuat banyak untuk Dimas, putranya. Bahkan lebih dari mereka yang merupakan orang tua dari Dimas sendiri.Revan hanya membalas ucapan terima kasih Adrian dengan seulas senyum. Ia melirik ke arah Sarah yang masih terisak di bahu suaminya. Andai air mata dan kekhawatiran itu ada sebelum Dimas kecelakaan, mungkin Dimas masih berada di sini bersama mereka. Namun, semua sudah terjadi sekarang, tidak akan ada yang berubah. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa agar Dimas baik-baik saja."Aku akan terus mengabari paman mengenai pencarian Dimas," tukas Revan setelah beberapa saat terdiam mengamati dua orang di hadapannya. "Jika tidak ada yan
"Paman istirahat saja, paman pasti lelah setelah seharian bekerja. Biar aku saja yang menjaganya. Lagi pula ini sudah malam, paman membutuhkannya agar bisa beraktivitas besok."Danu tersenyum mendengar perkataan Andrea yang duduk di tepi ranjang. Ia menatap gadis cantik yang sedang mengganti kain kompres di dahi pria yang ditolongnya beberapa minggu yang lalu itu. "Aku sudah berjanji padamu, aku akan membantumu untuk merawatnya. Jadi aku akan di sini sampai kondisinya membaik," ucapnya lalu kembali menatap iba pria yang masih setia memejamkan matanya meski sudah dua minggu berlalu. Bahkan sejak kemarin kondisi pria ini menurun.Melihat tatapan Danu membuat Andrea menghela napas pelan. Ia tahu Danu sedang mengkhawatirkan pria yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar ini. "Dia baik-baik saja, Paman. Kondisinya sudah lebih baik dari kemarin. Paman tidak perlu cemas. Jika terjadi sesuatu, aku akan memberi tahu paman. Jadi sekarang paman bisa pulang dan ist
"Andrea ...""Andrea?""Huh? Paman?""Kau melamun?" tanya Danu saat menemukan Andrea termenung sendiri di meja makan sampai-sampai gadis yang masih menunjukkan raut kebingungannya ini tidak menanggapi pangilannya sedari tadi. "Apa yang sedang kau pikir, 'kan, hm?""Aku ..." Andrea menggantung perkataannya. Ragu untuk mengatakan hal yang mengganggu pikirannya. "Bukan apa-apa, Paman," jawabnya. "Mungkin aku hanya lelah," elak Andrea.Danu memandang penuh selidik ke arah Andrea yang sedari tadi menghindari tatapannya. "Kau tidak sedang berbohong pada paman, bukan?"Andrea kembali menoleh ke arah Danu sebelum kembali menunduk. Menghindari tatapan pria paruh baya yang masih menunjukkan raut ketidakpercayaan atas jawaban yang ia berikan.Sementara Danu tersenyum melihat sikap Andrea. Gadis ini memang terlalu polos untuk bisa berbohong. Tidak berubah sejak dulu. "Paman mengenalmu bukan satu dua tahun, Andrea, tapi sejak kau masih kanak
Danu yang merasa Andrea begitu lama membersihkan tubuh pria yang ditolongnya, memutuskan kembali ke kamar yang di tempati pria itu untuk memanggil Andrea. "Andrea! Kenapa lama sekali? Kau ..." Perkataannya menggantung saat mendapati Andrea termenung, tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan benda yang ada di tangan gadis itu. "Apa yang kau pegang itu Andrea?""Eh Paman? Sejak kapan ada di sini?" tanya Andrea terkejut saat mendengar suara Danu bertanya padanya. "Apa paman sudah selesai sarapan?" lanjutnya."Paman sudah selesai sarapannya. Paman menunggumu tapi kau belum muncul juga untuk sarapan, makanya pamam ke sini untuk memastikan apakah semua baik-baik saja, dan yang paman temukan adalah kau lagi-lagi melamun," jelas Danu. "Apa semua baik-baik saja? Dan apa yang ada di tanganmu?" tanyanya lagi.Andrea hanya tersenyum tipis. "Semua baik-baik saja. Hanya saja aku menemukan ini terlepas dari
"Andrea, kau baik-baik saja bukan?" tanya Danu dengan cemas saat melihat wajah shock Andrea di depan pintu kamar tempat pria yang ditolongnya berada."Wajahmu pucat, apa terjadi sesuatu?" tanya Galang menimpali pertanyaan Danu. Awalnya ia dan Danu berniat menggantikan Andrea untuk menjaga pemuda di dalam sana agar gadis di hadapan mereka ini bisa beristirahat, tapi yang mereka temukan justru Andrea berdiri mematung dengan wajah shock. Ada apa sebenarnya? Apa kondisi pemuda itu menurun lagi seperti minggu lalu? Atau lebih buruk lagi, pemuda itu ....Galang menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang menghampiri kepalanya. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini. Pasti pemuda itu baik-baik saja. Tangannya bergerak memegamg dan menggoyangkan lengan Andrea. Menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya. "Andrea! Semua baik-baik saja, 'kan?" tanyanya sekali lagi.Andrea yang merasakan lengannya digoyang-goyangkan