Raja Giovanni berjalan mondar-mandir dengan wajah yang teramat sangat cemas. Ia sudah menunggu selama hampir setengah hari tanpa kepastian di luar pintu kamarnya, menantikan kabar dari Tabib Istana. Waktu sudah mulai larut. Ditandai dengan lolongan serigala yang bersahutan malam itu. Membuatnya merasa sangat tidak tenang. Apalagi ketika Tabib Istana masih belum keluar menemuinya.
"Pasti ada yang tidak beres di dalam sana," gumamnya.
Tanpa bisa menunggu lagi, Raja Giovanni segera mendobrak pintu oak coklat besar megah itu, seraya memaksa masuk ke dalamnya. Namun, wajahnya berubah pucat pasi ketika melihat pemandangan yang teramat sangat mengerikan.
"Apa yang terjadi di sini?" pekik Raja Giovanni dengan tubuh yang bergetar hebat.
Ia mendelik tajam ke arah Tabib Istana yang sedang bersembunyi di pojok ruangan dengan tubuh yang gemetar hebat. "Bisa kau jelaskan apa yang terjadi kepadaku wahai Tabib?"
"A-anu Yang Mulia. Sa-saya tidak tahu ... ," ucap Tabib Istana ketakutan. Ia semakin erat memeluk lututnya dan tubuhnya bergetar semakin hebat.
"Apa maksudmu? Kau bilang tidak tahu?" murka Raja Giovanni. Dengan cepat ia menghampiri sang Tabib, lalu menarik tubuh tua mungil itu. Raja mencengkeram kuat pakaian Tabib Istana dengan penuh amarah yang menggebu.
"Ampun Yang Mulia, saya benar-benar tidak tahu! Semuanya ... terjadi begitu saja dengan cepat!" cicit Tabib Istana yang benar-benar ketakutan. "Tolong izinkan saya pergi!"
"Tidak bisa. Kau harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi hari ini!" seru Raja Giovanni. Dengan kasar, ia hempaskan tubuh Tabib Istana sehingga Tabib itu jatuh tersungkur di tempatnya.
Raja lalu beralih menuju ke ranjang kayu yang dipenuhi oleh lautan darah. Di mana telah terbujur kaku jasad seorang wanita dengan kaki dan tangan yang terikat di pinggiran ranjang. Wajahnya seolah dihiasi kengerian di akhir hidupnya. Matanya melotot, dengan mulut tersumpal kain.
"Oh Ratuku. Mengapa ini bisa terjadi padamu?" Raja mengusap wajah mendiang Ratu dengan pilu.
"Monster! Ada monster di Istana ini!" teriak Tabib Istana ketakutan. "Ratu telah melahirkan seekor monster!"
"Tutup mulut kotormu itu!" bentak Raja semakin murka. Dengan cepat, ia tarik pedang yang terbungkus sarung di pinggangnya. Lalu ia hunuskan ujung pedang itu ke wajah Tabib Istana.
Tabib Istana memekik tertahan. Apalagi ketika ujung pedang Raja berhasil menggores wajahnya dan membuatnya terluka.
"Bagaimana mungkin Istriku melahirkan seekor monster? Bayiku sangat menggemaskan bukan? Begitu kan seharusnya?" sindir Raja dengan senyum meremehkan.
Raja menyimpan kembali pedang itu ke dalam sarungnya. "Jangan lagi kau katakan omong kosong seperti tadi, atau aku akan langsung membunuhmu!"
Tabib Istana langsung mengangguk cepat. Ia merosot di tempatnya. Ia ketakutan, sambil berusaha menghentikan pendarahan di pipinya. Sementara itu Raja kembali berpaling, melihat apa yang ia temukan di atas jasad istri tercintanya. Ada makhluk mungil berwujud manusia yang bermandikan darah di atas perut yang sudah berlubang menganga lebar.
"Tidak mungkin kau yang melakukan ini kan, sayang? Kau tidak mungkin tega membunuh ibumu sendiri kan?" lirih Raja, yang nadanya mulai terdengar frustasi.
Raja memperhatikan bayi yang kini mulai menangis. Bayi itu mungil, namun ada hal yang berbeda di tubuhnya. Pupil matanya menyala merah dengan bentuk yang membulat persis seperti mata serigala disertai dengan kuku tangan dan kaki yang panjang bercakar. Raja langsung mundur dari tempatnya. Tubuhnya kembali gemetar. Ada rasa marah dan takut. Ia lalu memanggil orang kepercayaannya. Tak lama kemudian, munculah seorang pria gagah bertubuh tinggi dengan banyak brewok di wajahnya menghadap Raja.
"Raja memanggil saya?" tanyanya. "Oh Tuhan!"
Raja tersenyum kaku namun masih terlihat gemetaran di tempatnya.
"Kau lihat sendiri kan? Anak itu benar-benar membunuh ibunya," cemooh sang Raja. "Anak itu ternyata benar-benar monster."
"Yang Mulia." pria gagah itu bingung harus menanggapi bagaimana. Ia kemudian terbelalak dengan apa yang dilihatnya. "Bayinya ... kukunya panjang sekali!"
"Ya. Kuku itu yang ia pakai untuk mencabik perut Ibunya. Selain membunuh, dia juga berani menyiksa orang yang menyayanginya." Raja kini tersenyum getir.
"Sudah saya katakan, tapi Anda tidak mempercayainya! Dia monster! Dia yang membunuh sang Ratu!" adu Tabib Istana lagi.
"Jesper, bereskan Tabib tua itu! Dia tidak bisa menyelamatkan Ratu." Raja memerintahkan tanpa melihat tabib Istana sama sekali. "Hukum mati dia!"
"Baik Yang Mulia." Jesper memberi penghormatan sebelum ia bergegas menyeret Tabib Istana.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Tabib Istana berusaha meronta. Namun sia-sia saja. Dia tidak dapat melepaskan diri.
Setelah tidak ada seorang pun di ruangan itu, Raja hanya berdiri bergeming memandang dingin kepada Buah Hatinya. Tak ada sedikit pun rasa bahagia pada dirinya. Ia kembali menarik pedangnya dan perlahan menghunuskannya kepada bayi itu.
"Jadi, apa yang harus kulakukan kepadamu? Ini bukanlah yang aku inginkan. Aku hanya ingin Ratuku tetap hidup!"
Dengan cepat, Raja menusukan ujung pedangnya ke leher bayinya. Sang Bayi menangis semakin kencang apalagi ketika luka mulai tercipta dari bilah pedang ayahnya sendiri. Tangisan itu seirama saling bersahutan dengan lolongan serigala yang semakin banyak dan nyaring.
Entah mengapa, tiba-tiba Raja merasakan panas membakar dari pedang yang dia pegang. Refleks ia mengerang dan menjatuhkan pedangnya begitu saja. Tangannya masih merah, terasa panas membakar.
Sementara leher bayinya yang terluka terlihat merah. Darah yang mengalir bagaikan pijaran larva panas yang membakar. Lama kelamaan, darah itu mulai berhenti menetes. Lukanya mulai terlihat membaik dan meninggalkan bentuk bulatan merah yang tercetak jelas di lehernya. Sebuah tanda lahir tercipta dari sebuah insiden yang berdarah. Raja begitu terkejut melihat fenomena itu.
"Kau adalah ancaman!" Raja membulatkan matanya. "Jesper! Jesper kemarilah!"
"Anda memanggilku, Yang Mulia?" tanya Jesper dengan napas terengah. Ia begitu tergesa datang ke sana.
"Bawa bayi ini. Singkirkan dari hadapanku!" perintah Raja dengan cepat.
"Maaf? Anda betul-betul ingin menyingkirkan bayi ini? Walaupun begitu, dia tetap keturunanmu," sela Jesper.
"Keturunan apa? Aku tidak menginginkannya. Dia sudah merenggut nyawa Istriku yang tercinta! Padahal Ratu sudah mengorbankan hidup dan nyawanya demi monster ini," tegas Raja. Matanya melotot penuh amarah. "Aku tidak ingin mendengar apapun. Cepat kau ambil dan singkirkan dia!"
"Baik, Yang Mulia."
Dengan perlahan, Jesper segera mengangkat bayi itu dengan hati-hati. Ia lalu menyelubungi tubuh bayi itu dengan kain polos dan menggendongnya. Jesper melihat bayi itu adalah bayi mungil yang cantik. Ya, seorang Putri yang cantik.
"Kemana saya harus membawanya?" tanya Jesper kemudian. "Dia seorang Putri yang cantik."
"Bunuh saja dia. Dia ancaman bagiku dan Kerajaan ini," ujar Raja dingin. "Segera singkirkan. Lalu kita akan mengadakan pesta pemakaman yang layak untuk Ratu."
"Baik. Kalau begitu saya permisi."
Jesper segera pergi membawa bayi merah itu meninggalkan istana. Ia bingung harus membawanya kemana. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil perjalanan yang agak lumayan jauh dari Sunnmore seraya berpikir. Ketika sampai di tujuan, ia lalu turun dari kudanya. Ia gendong kembali bayi itu di dalam dekapannya.
"Tuan Putri. Kau terlalu mengerikan untuk ayahmu. Bahkan beliau sampai menyuruhku untuk membunuh," ucapnya sambil menatap wajah bayi kecil itu.
Tangan Jesper segera merogoh benda berkilau dari tas kecil yang diselempangkan pada bahunya. Ia mengeluarkan sebuah belati lipat dari tasnya.
"Maafkan aku harus melakukan ini. Tapi ini demi pengabdianku kepada Raja."
Jesper telah bersiap untuk menjalankan titah Raja. Ia sudah mengacungkan belati dengan posisi siap menghujam dada bayi itu. Namun entah mengapa, ia tidak bisa melakukannya. Setiap kali melihat mata bayi yang polos itu, Jesper menjadi lemah hati. Hingga pada akhirnya dia tidak jadi membunuh bayi tadi.
"Aku tidak bisa melakukan ini," gusar Jesper. "Bagaimana bisa aku menghadap Raja ketika aku tidak berhasil melaksanakan titahnya?"
Kemudian terlintas di benaknya tiba-tiba. Sebuah ide yang melanggar peraturan. Ia berpikir untuk kabur dan menyembunyikan bayi itu. Ia harus merawat dan menyelamatkan bayinya walau menentang kesetiannya terhadap Kerajaan Sunnmore.
Akhirnya dia segera menaiki kudanya dan memacu kuda itu dengan cepat. Karena kini dia dan bayi itu hidup dalam pelarian. Entah kemana mereka akan pergi. Mungkin ke suatu tempat yang tidak mereka ketahui.
Raja mencium lengan kurus mendiang Istrinya, seraya berpisah untuk terakhir kali. Ia kemudian berjalan lunglai menuju keluar ruangan. Karena akibat peristiwa ini, ia sangat kehilangan semangat hidup. Ia selalu merenung. Berkali-kali juga ia mengumpat dan menyalahkan keadaan.Besok, ia akan mengumumkan kepada seluruh rakyatnya mengenai kejadian memilukan ini. Diiringi oleh prosesi pemakaman sang Ratu. Tanpa terasa waktu sudah beranjak pagi hari. Udara terasa dingin menusuk dan langit masih diselimuti kegelapan. Tentu karena saat itu sudah memasuki musim dingin namun salju masih belum juga turun.Ia teringat jika Jesper sudah pergi terlalu lama. Bahkan ia heran karena untuk membunuh bayi saja Jesper membutuhkan waktu yang sangat lama. Apalagi udara sudah semakin dingin. Entah mengapa Raja merasa khawatir."Kemana Jesper? Mengapa dia lama sekali?" keluhnya. "Apa mungkin terjadi sesuatu? Dia diserang oleh Lycan? Atau justru
Waktu telah berganti menjadi pagi. Raja Giovanni sedikit pun belum beristirahat. Wajahnya terlihat kelelahan akibat banyak sekali peristiwa yang mendadak terjadi. Kepergian Jesper yang tidak diketahui juga menambah beban pikirannya saat ini.Jesper satu-satunya orang kepercayaannya. Entah kemana Jesper pergi. Ia masih belum mendapatkan kabar mengenainya. Bagaimanapun prosesi pemakaman Ratu harus tetap dilaksanakan. Walaupun Jesper tidak hadir."Yang Mulia, semuanya sudah siap. Pemuka Keagamaan sudah hadir." salah seorang Pengawal melaporkan."Baik. Aku akan menemuinya, sekaligus memulai acaranya," jawab Raja pendek."Baik, Yang Mulia."Sejujurnya Raja Giovanni benar-benar merasa lelah. Jika Jesper ada di sini, Jesper-lah yang akan mengatur dan melakukan semuanya. Namun kini, dia harus mengurus segalanya seorang diri.Raja berjalan cepat menyusuri korido
Jesper membuka matanya perlahan. Ia mengerjap sedikit, berusaha mengembalikan kesadarannya kembali. Setelah ia sadar sepenuhnya, ia pun bangkit dari tempatnya. Dengan panik, ia lalu memeriksa kondisi di sekitarnya."Tuan Putri?" Jesper mencari bayinya dengan panik.Betapa leganya dia saat mendapati bayi kecil itu malah sedang bermain sendiri. Segera ia gendong bayi itu."Syukurlah kamu tidak terluka," ucap Jesper seraya bersyukur.Ia lalu melihat ke arah kudanya yang kini sedang berlari kecil seolah merasa gembira. "Kau sudah merasa lebih baik ya, Pil."Kuda itu seolah mengerti apa yang dikatakan oleh Tuannya. Kuda itu meringkik berirama sesekali berdengus sambil terus berlari mengibaskan ekor dan mengangkat kaki depannya. Terlihat sekali jika kuda tersebut sedang bahagia. Jesper pun menyimpan bayinya ke keranjang bayi. Lalu ia mendekati kudanya untuk memeriksa kondisinya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya Raja tiba di Istananya ketika malam menjelang. Seluruh tubuhnya benar-benar lelah. Luka di bagian tubuhnya semakin lama membuatnya lemah. Ia bahkan harus dipapah oleh Prajuritnya untuk bisa masuk ke dalam Istana.Raja berbaring perlahan di atas ranjangnya. Sementara Tabib Istananya yang baru, mengobati lukanya dengan dedaunan tradisional yang dihaluskan."Aduh!" keluh Raja saat dedaunan basah itu ditempelkan pada lukanya."Mohon tahan sebentar lagi, Yang Mulia. Saya akan membebat tubuh anda dengan kain," kata Tabib itu.Raja berusaha menahan rasa sakit dan perih ketika Tabib mulai membebat tubuhnya dengan kain. Tabib Istana yang ini sungguh telaten dalam melakukan pekerjaannya. Tak membutuhkan waktu yang lama hingga dia selesai."Sudah, Yang Mulia," ucap Tabib Istana. Ia kemudian membereskan peralatannya.
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa ikut bersamamu," tolak Jesper pada akhirnya. "Kami harus kembali melanjutkan perjalanan.""Kalian akan pergi ke mana?" tanya wanita tadi penasaran. "Sungguh, maksudku hanya Tuan dan bayi itu saja?""Ya," jawab Jesper cepat. "Kalau begitu selamat tinggal.""Anda serius? Bagaimana bisa Anda melakukan perjalanan panjang dengan bayi ini tanpa seorang pun yang menemani?" protes wanita tadi. Ia lalu segera menghalangi langkah Jesper. "Anda setega itu?""Apa maksudmu, Nona?" Jesper merasa tidak suka. Sejujurnya obrolannya dengan wanita itu sangat tidak jelas dan hanya menghabiskan waktunya saja."Maksudku, lihatlah bayi itu!" wanita itu kemudian beranjak menuju ke keranjang bayi. Ia lalu menggendong bayinya. "Kasihan sekali dia. Dia pasti merasa kedinginan dan lapar.""Letakan dia kembali! Jangan sentuh dia!" Jesper berusaha menghala
"Selamat pagi," sapa Brynja pagi-pagi sekali. Saat itu Jesper tidak menjawab sapaan pagi dari Brynja. Dia justru sibuk menguap beberapa kali."Kau sudah siap pagi-pagi sekali? Mau ke mana?" tanya Jesper sambil membereskan alas tidurnya yang berantakan.Brynja tidak langsung menjawab. Dia sibuk membuka jendela, membiarkan udara dingin masuk ke dalam rumah."Ke kebun. Sekaligus memerah susu kambing," jawab Brynja. Dia lalu keluar kamar dan mempersiapkan keranjang anyaman untuk sayuran dan gerabah tanah liat untuk susu perah."Bolehkah aku ikut?" tanya Jesper lagi."Boleh saja," kata Brynja enteng. "Aku memang butuh asisten untuk membawa hasil pertanian hari ini.""Kalau begitu ayo!" ajak Jesper cepat. Dia mengenakan lagi jubah hangatnya sebelum pergi.Mereka akhirnya berjalan membelah kabut, menuju ke perkebunan. Perkebunan itu
Brynja hanya bisa gemetar di tempatnya. Apalagi ketika ujung runcing pedang ditodongkan ke wajah pucatnya. Sosok di dalam zirah besi itu tidak berkata apapun sampai akhirnya ia memerintahkan Brynja yang sudah terikat itu diangkat ke atas kuda. "Kalian mau membawaku ke mana? Lepaskan!" Brynja berusaha memberontak lagi. "Bawa kami ke desamu!" perintah sosok yang membawanya. "Untuk apa? Di desaku tidak ada apapun yang bisa kalian ambil," tanya Brynja. "Antarkan kami, atau kulemparkan kau dari atas gunung!" ancam sosok berzirah itu lagi. "Ba-baiklah!" Brynja akhirnya menyanggupi keinginan mereka. Dia terpaksa melakukannya karena masih ingin tetap hidup. Sejujurnya dia sendiri tidak tahu apa maksud orang-orang itu menawannya dan ingin di antar ke desanya. "Ke arah mana?" tanya sosok berzirah yang sedang mengendalikan kudanya. "Em
Pengawal Tertinggi tak banyak bicara setelah itu. Ia hanya mengajak Anak Buahnya untuk bergegas agar bisa kembali ke Sunnmore dengan cepat. Sepanjang perjalanan, dia berkutat dengan pikirannya sendiri. Bahkan ketika mereka beristirahat di depan api unggun pun, Pengawal Tertinggi sama sekali tidak membicarakan apa-apa soal kejadian tadi.Justru salah seorang Anak Buah dari Pengawal Tertinggi lah yang membahas pembicaraan mereka dengan Jesper tadi."Ketua, apakah Anda menyadari ucapan Sir Jesper tadi? Mengapa dia mengatakan soal Putri?" salah seorang Anak Buah membuka pembicaraan mereka."Ya. Aneh sekali. Bukankah Tuan Putri sudah meninggal saat dilahirkan oleh mendiang Yang Mulia Ratu?" timpal Anak Buahnya yang lain.Pengawal Tertinggi tidak menjawab apapun. Ia menatap lurus ke arah api yang berkobar. Larut dengan lamunannya sendiri. Kedua Anak Buahnya saling menatap bingung.