Share

Nightmare

Tali di kepala ranjang dan bercak darah itu kembali menari-nari di pelupuk mata, sementara dada dihantam badai kengerian.

“Abaang?” panggilku takut-takut.

“Heem?” Dia menatapku, teduh. Sisa air wudhu yang masih membasahi wajah dan rambutnya meninggalkan aura segar. Bang Sam memang sangat tampan.

Hatiku berdesir, campur aduk. Ngeri dan juga … entah. Sulit otakku mencerna dan mendeskripsikan.

“Cu-ma sholat, kan?” Aku membalas tatapannya sekilas lalu menunduk, pura-pura membersihkan kuku.

 “Pergilah wudhu, Abang tunggu,” ujarnya sekali lagi. 

Aku mendongak. Dia tersenyum lagi dan mengangguk. Dadaku berdesir lagi.

Ragu-ragu aku beranjak ke kamar mandi dan menyempurnakan bersuci, sedangkan jantungku sungguh tak hendak diajak kompromi. Ritmenya semakin naik dan membuat ujung-ujung anggota gerakku terasa dingin.

Perlahan, aku menghirup dan melepaskan napas sekedar mengurangi tekanan dalam dada.

Betapa khawatirku bertambah besar saat keluar dari berwudhu, pintu kamar sudah tertutup rapat.

Iyuuh! Mati sudah.

Aku gigit bibir bawah kuat-kuat, meski jantung semakin keras menggedor dada hingga ulu hati terasa ngilu.

“Ayo!” ajaknya sambil berdiri.

Sajadah sudah terhampar rapi di antara boks bayi dan ranjang tempatku biasa menghabiskan malam selama di rumah besar ini, berdua dengan Amanda.

Gemetar aku kenakan mukena dan berdiri takut-takut di belakangnya.

Bang Sam mengimamiku dengan sangat baik. Bacaannya sangat tartil dengan suara merdu. Mungkinkah laki-laki lembut ini mampu dan tega melakukan penyiksaan demi sebuah kepuasan? 

Entah. Semua serba mungkin.

Senyatanya, suaranya saat membacakan ayat-ayat suci sedikit menyirami kegelisahan hatiku. Sangat sulit untuk mengatakan mudah menolak jatuh cinta dengan sosok laki-laki ini. Bang Sam sungguh penuh kharisma.

Begitukah caranya menaklukkan hati Ayuk Fatma? Membuatnya bertekuk lutut dan jatuh cinta sehingga mandah saja diperlakukan sesukanya?

Bisikan-bisikan buruk masih saja berkhidmat di dalam batok kepala. Aku sama sekali tidak bisa khusyu’ mengikuti gerakan sholatnya.

Selepas salam, dia duduk terpekur lama dan berdoa. Aku diam di belakangnya dan tidak berani bergerak. Sementara hidung seperti lupa bagaimana caranya bernapas yang benar.

Tidak berselang lama, Bang Sam berbalik dan menatapku.

Aku membeku.

“Dek, boleh?”

“Apa?” Aku sontak terkejut dan menjawab dengan suara bergetar.

“Abang pegang kepalanya?”

“Eh, iya. Boleh. Silahkan.” Aku gemetar hebat.

Baru kali ini ada laki-laki yang memegangku. Ini sungguh pengalaman yang sangat tidak biasa. Perasaanku campur aduk manis asamnya.

“Maaf, ya?” ujarnya.

Dia lalu meletakkan telapak tangannya di puncak kepalaku dan mengucapkan sebait doa. Hatiku semakin dingin saja rasanya.

Selepas itu, Bang Sam mengulurkan tangannya. Ya Allah, gemetarku semakin tidak terkendali.

“Dek?” Dia mengulanginya sambil menatap tangannya sendiri. Aku tahu, Bang Sam memintaku untuk mencium tangannya.

Tidak ada pilihan, aku raih tangan itu dan menciumnya sekilas, sementara dentam dalam dada semakin tidak keruan.

Aku harus segera menjauh dari laki-laki ini jika tidak ingin hal buruk terjadi setelah ini.

Tergesa aku bangkit untuk melepaskan mukena, sementara jilbab rumah masih bertengger di kepala. Aku masih tidak rela jika harus memperlihatkan mahkota kepadanya.

Nahas!

Ketergesaanku berdiri membuat pandangan seketika gelap dan aku limbung.

Nyaris saja aku terjerembab ke lantai jika saja kedua tangan Bang Sam tidak sigap menangkap tubuhku.

“Ups!” pekiknya tertahan.

Ya Tuhan, mati sajalah ini! 

“Dek! Hati-hati!” sambungnya. Sementara aku masih membeku dalam pelukannya, tidak tahu harus berbuat apa.

Harum keringatnya menguar dari dada yang menempel rekat di pipiku. Apakah ini yang namanya bau feromon? Senyawa kimia tubuh yang mempengaruhi respon sosial dan ketertarikan seseorang pada lawan jenis? Debaran semakin meraja, dengan rasa yang berbeda.

Tiba-tiba aku merasa nyaman dalam dekapan laki-laki bergelar suami ini. Ada dorongan balik dalam dada untuk memeluknya. “Norak sekali kamu, Airin” ucap hatiku.

Selekasnya aku menjauh. Jangan sampai jatuh dalam pesona dan berakhir menjadi korban kelainan orientasinya.

Namun gagal, ketika tangan kokoh itu menarik kembali tanganku dan tubuh jatuh ke dalam rengkuhannya sekali lagi.

“Diamlah di sini. Adek pasti lelah dan kurang tidur menjaga dan merawat Amanda seorang diri. Abang minta maaf tidak terlalu memperhatianmu. Abang … masih belum bisa melupakan Ayuk kau,” ujarnya panjang lebar.

Aku tertegun dan tidak berani bergerak sedikit pun.

Bang Sam mendorong sedikit tubuhku dan beranjak. Meraih botol minyak telon di meja sisi boks bayi lalu kembali duduk di belakangku.

“Buka mukenanya,” pintanya pelan. 

Meski dengan degup yang masih tidak beraturan dan gemetaran, aku turuti juga apa yang menjadi permintaan lelaki ini.

“Adek pasti capek dan kurang tidur. Maafkan Abang tidak membantumu mengurus Amanda.” Dia mengatakan itu sambil mulai memijat pelipisku dari belakang.

Aku bergidik meski akhirnya mulai tenang. 

Tangannya kemudian bergerilya di sekitar kepala dan pundak. Memijit, memutar dan menepuk perlahan. Perlakuannya itu tentu saja semakin membuatku rileks dan nyaman.

Bang Sam melakukan itu sambil bercerita tentang keseharian, tentang usaha, dan tentang pekerjaannya. Dia bilang aku harus mengenalnya lebih dalam.

“Karena kita akan hidup seatap sampai menua, Dek,” ujarnya pula.

Aduuuh! Sampai tua? Seumur hidup itu terlalu lama. Aku ingin berteriak saja rasanya.

Tangan yang terasa terampil itu lalu pindah ke punggungku. Memijat dengan tekanan lembut. Pantas saja kalau Ayuk Fatma begitu membanggakan suaminya. Bang Sam memang sangat paham bagaimana memperlakukan pasangan.

Mataku lalu meredup, masih di atas sajadah yang kami berbagi mendudukinya. Tubuh dan mentalku memang sangat lelah. Kepiawaian tangan Bang Sam memijit punggung membuat kantuk tidak lagi tertahan.

**

Aku merasakan dada yang sesak dan sulit bergerak betapapun mencoba. Ruangan temaram yang tampak familiar.

Ruang tidur utama!

Ya Tuhan! Kenapa aku berada di sini?

Aku mencoba bergerak tapi tenaga seperti tersedot habis begitu saja. Sekedar bernapas pun tersengal. Berteriak juga aku tidak bisa lakukan. Semakin mencoba meronta, tubuh justru terasa semakin lemas

Segala doa aku rapalkan dalam hati memohon pertolongan. Pada saat itu aku menyadari sedang terbaring di ranjang Ayuk fatma dan suaminya dengan posisi tangan terikat tali dan bergantung terentang di atas kepala. Benda mengerikan yang aku lihat beberapa hari belakangan.

Aku mengutuki diri karena sudah terlena dengan bujukan dan berakhir seperti ini.

Aku memindai sekitar. Lampu besar sudah dimatikan, hanya tersisa pendar redup bohlam yang ditudungi penutup bulat di atas nakas sisi ranjang.

Lamat aku mendengar dehem seseorang. Bang Sam! Pasti dia.

Laki-laki itu mendekat. Dia hanya mengenakan celana pendek selulut dengan bertelanjang dada. Tubuhnya basah oleh keringat. Sementara tangan laki-laki itu memegang sebuah ikat pinggang.

Kali ini, aku benar-benar mati.

“Airin!” panggilnya sedikit berteriak. Aku menatapnya khawatir.

Mata laki-laki itu nyalang dan penuh nafsu angkara murka. Begitulah yang aku definisikan.

Sekujurku gemetar. Napas semakin sesak dan sulit mendapatkan udara untuk dihirup.  

“Kau adalah istri Abang. Aku punya hak penuh atas hidup dan tubuhmu. Dak ado kata tidak atau ….”

Atau apa? Laki-laki itu tidak meneruskan ucapannya, sementara mulutku seperti terkunci, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Dia hanya terkekeh dan kian mendekat. Aku semakin gemetar dan terengah-engah. Dada terasa sakit karena kekurangan oksigen. Tubuhku lumpuh.

Apa yang terjadi padaku sebenarnya. Apakah laki-laki ini memasukkan sesuatu ke tubuhku. Obat?

Ya Allah! Duniaku dihantam kengerian luar biasa.

Dalam samar cahaya aku jelas melihat Bang Sam mengangkat ikat pinggang di tangannya tinggi-tinggi mengarah ke tubuhku.

Laki-laki itu menghajarku tanpa ampun.

“Hhmmmp … hhmmp!” Mulutku masih juga tidak sanggup bersuara. Sementara aku melihat kepuasan di sorot mata suamiku itu.

Lagi. Kakiku yang bertelanjang mendapat giliran berikutnya. Betapa pun ingin melawan, tubuhku masih tidak mampu bergerak.

Wajah Bang Sam semakin beringas.

“Hhmmp … hhmmp … hhmmp!” aku terengah-engah.

Sekali lagi, ikat pinggang itu terangkat tinggi-tinggi. Aku memejamkan mata bersiap mendapatkan deraan selanjutnya.

“Aaaaa!!”

Untuk pertama kalinya teriakan keluar juga dari mulutku.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status