Sepeninggal Misca dari rumahnya, Jupiter kalang kabut. Ia berjalan mondar-mandir di kamar. Menjambak rambutnya sambil memutar otak, memaksa berpikir jernih di bawah tekanan dan ancaman Misca.
Sudah lewat tengah malam, tapi Jupiter tidak merasa harus sungkan menghubungi satu nama itu. Ia segera meraih ponsel dari sakunya dan menunggu panggilan dijawab.
“Halo?” Suara di seberang.
“Aku menganggu tidurmu?”
“Tidak. Aku masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan. Jadi ada apa?”
“Aku ingin bertemu.”
“Besok setelah jam kantorku selesai, bagaimana?”
“Aku tidak bisa menunggu ...” Jupiter mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas pangkuan, “bisakah kita bertemu sekarang?”
“Sekarang? Ini sudah hampir pukul dua belas malam, Piter.”
“Yap. Aku tahu, tapi aku butuh kau sekarang. Aku ingin mengajakmu bicara hal penting.” Suara percaya diri Jupiter terdengar, tapi jantungnya seakan meledak di tempat.
“Wah ... kau ini, benar-benar menyusahkan!”
“Maafkan aku, tapi aku janji akan membantu kau menyelesaikan pekerjaanmu.”
“Hhh ... baiklah. Di mana aku harus menemuimu?”
“Kau tidak perlu menemuiku di mana pun. Aku yang akan ke tempatmu.”
Hening. Tidak ada jawaban di seberang. Tapi Jupiter tak pantang menyerah.
“Gwen? Kau masih di sana?”
“Ah, ya, baiklah. Aku tunggu kau di rumah.”
“Terima kasih, cantik.” Jupiter segera mengakhiri panggilan.
Hatinya seketika meletupkan warna-warni seperti kembang api di malam hari saat mendapat persetujuan dari Gwen.
*****
Gwen segera memindahkan laptop beserta seluruh atribut pekerjaannya ke ruang tamu. Mengunci kamar, berganti pakaian. Ya, dia sedang mengenakan pakaian tidur tembus pandang saat tadi Jupiter menghubunginya.
Ia meraih satu kaus hitam kebesaran dengan jeans biru tua melewati lutut. Menggantinya dengan segera sebelum Jupiter muncul di depan pintu rumahnya. Pria itu hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk tiba tepat waktu.
Benar saja, saat Gwen sedang sibuk menyiapkan cokelat panas di dapur, Jupiter sudah mengetuk pintu rumahnya. Bergegas ia menuju ke sana, menemukan tampang Jupiter yang kusut menahan kantuk.
“Ck ... ck, lihat wajahmu itu,” decak Gwen dengan senyum miring.
“Kau lihat, bukan? Itu lah kenapa aku teburu-buru ingin bertemu,” ujar Jupiter sembari duduk tepat di depan laptop Gwen yang masih menyala, “ini yang sedang kau kerjakan?”
“Yap. Lupakan itu, jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
“Duduklah, kau ini seperti debt collector saja.” Jupiter memandang Gwen dengan kesal.
Gwen tertawa. Ia permisi sebentar untuk menyelesaikan cokelat panasnya di dapur. Tak lama, Jupiter langsung mengikuti Gwen. Diam-diam tersenyum melihat Gwen yang membiarkan rambut pirangnya sedikit menutupi wajah putih bersih tanpa riasan itu.
Jupiter mengagumi kecantikan Gwen sudah lama sekali. Tanpa ada yang pernah mengetahui rahasia apa saja tentang seorang Gwen Himeka di dalam hatinya.
“Kepalamu terbentur sesuatu?” tanya Gwen dengan senyum mengejek. Tangannya terus mengaduk cokelat panas pada mug yang kedua.
Jupiter menarik kembali garis senyum di wajahnya. Ia berdeham. Lupa bahwa Gwen bisa dengan mudah mengawasi tingkahnya. Hanya ada mereka berdua di rumah ini.
“Terkadang aku senang tersenyum dan cemberut dalam waktu yang bersamaan,” jelas Jupiter, tidak ingin kehilangan muka di depan Gwen.
“Kau frustrasi karena masalahmu?” Gwen sudah mendekat dengan dua mug kuning dan hitam di tangannya. “Minum dulu sebelum kau bicara.” Gwen menyodorkan mug kuning ke hadapan Jupiter.
“Kau serius memberiku cokelat panas di dalam mug berwarna kuning?” seru Jupiter, tidak peduli meski Gwen menepuk kening Jupiter dengan posisi harus berjinjit karena kesal akan dua hal sekaligus.
Yang pertama, karena Jupiter tak tahu terima kasih atas kemurahan hati Gwen membuatkan cokelat panas untuknya.
Kedua, Gwen kesal sekali karena tubuh tinggi Jupiter selalu menghalanginya saat ia ingin memberi Jupiter pelajaran.
“Oh, ya ampun. Itu hanya masalah sepele Jupiter. Tidak ada yang akan melihatmu minum cokelat panas di dalam mug berwarna kuning!” hardik Gwen.
Seakan tidak peduli, Jupiter menarik mug Gwen yang berwarna hitam. “Yang ini lebih cocok untukku.”
“Hei, itu sudah kuminum hampir setengahnya!”
“Tak apa, sekarang, ini milikku dan ini untukmu.” Jupiter mengedip dan memberikan mug kuning pada Gwen.
Gwen segera menggerutu tak jelas, ia duduk di depan laptop, kembali bersiap meneruskan pekerjaannya.
“Minumku sudah selesai. Sekarang tolong dengarkan aku, Gwen.” Mendadak Jupiter membenarkan posisi duduknya, bersila di lantai beralaskan ambal bulu, menghadap tepat pada Gwen yang masih acuh tak acuh.
“Ya, mulailah bicara,” perintah Gwen dengan kedua mata dan jari jemari hanya fokus pada benda elektronik di depannya itu.
“Gweeen ...” geram Jupiter. Dengan cepat, ia menutup laptop Gwen perlahan dan menyebabkan tangan Gwen terjepit di sana, “ini masalah serius Gwen, kumohon dengarkan aku.”
“Baiklah,” sahut Gwen, mengambil posisi di depan Jupiter dengan wajah serius dan telinga yang siap mendengarkan, “kau bisa mulai sekarang.”
Jupiter menatap wajah Gwen terlebih dulu, mata, hidung, dan bibir. Ketiga anggota wajahnya itu membuat getaran tersendiri dalam hati Jupiter.
“Ibu memaksaku untuk menikah.”
“Lalu, apa itu ide buruk?”
“Sangat buruk, Gwen. Dalam waktu dua minggu, jika aku tidak mengenalkan calon istri pada Ibu, maka mau tak mau aku harus bersedia menikah dengan wanita pilihan Ibuku,” keluh Jupiter, muram terpancar jelas di wajahnya.
“Masalahnya apa, Piter? Bukankah kau hanya perlu memperkenalkan salah satu dari banyaknya kekasihmu itu?”
“Aku tidak memiliki seorang kekasih,” sanggah Jupiter dengan wajah polos.
Gwen tertawa, “Jangan melucu, Piter. Kau selalu melewati waktu bersenang-senangmu dengan banyak wanita, bukan?”
“Hanya bersenang-senang, Gwen. Camkan itu. Aku juga tidak berniat menikahi istri orang,” gerutu Jupiter.
Lagi-lagi Gwen tertawa. “Apa semua wanita yang kau ajak bersenang-senang itu, milik pria lain?”
“Ya, begitulah. Mereka tidak akan menuntut apa pun dariku, karena kami sama-sama mencari kesenangan sesaat. Tapi jika aku berkencan dengan wanita baik-baik sepertimu, sudah pasti suatu waktu dia akan meminta pertanggungjawabanku untuk menikahinya.”
Wajah Gwen mendadak berubah, muram. Tapi beruntung Jupiter tidak melihat, karena tiba-tiba ia menoleh ke arah meja dan mengambil mug untuk meminum cokelat panasnya.
Gwen ingat bagaimana dia saat ini tengah bermain-main dengan rumah tangga sahabatnya sendiri. Gwen juga sadar, bahwa dia kini secara tidak langsung membuat Alexi ingin segera menikahinya dan bercerai dari Zanna Van Dick.
“Biar kuteruskan ...” Jupiter meletakkan mug di meja, menyeka sudut bibirnya, “sampai mana tadi?”
Gwen menghela napas, menatap kesal pada Jupiter. “Jadi intinya, kau tidak memiliki kekasih serius yang bisa kau ajak untuk diperkenalkan pada Ibumu, bukan?”
“Ah, ya. Tepat sekali. Lalu aku harus bagaimana?”
Gwen berpikir sejenak. Seharusnya, ini bukan hal yang sulit bagi seorang pecinta wanita seperti Jupiter.
“Kenapa kau tidak tanyakan pendapat mantan playboy di grup kita?” Gwen terpikir sosok itu saat membicarakan tentang hal ini.
“Alexi Millard maksudmu?” tanya Jupiter tidak percaya. Kedua matanya membulat karena terkejut.
“Yap. Kau bisa minta pendapatnya. Aku yakin dia bisa membantumu.”
“Tidak, tidak,” geleng Jupiter, “dia sudah meninggalkan kebiasaan lamanya itu. Lexi berhenti mengencani banyak wanita dan kini, ia hanya tunduk pada satu wanita saja.”
Penuturan Jupiter tentu saja mengalihkan fokus Gwen, penasaran. Dia tidak pernah tahu tentang hal ini.
“Siapa wanita itu?”
Bersambung.
“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.“Tentu saja tidak.”“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.Seminggu yang lalu.[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]Lima hari yang lalu.[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]Tiga hari yang lalu.[Aku merasa sesak setiap kali masuk
“Kau sudah merasa lebih baik?” Eric mengusap-usap punggung Gwen yang tadi menangis keras di pelukannya.Eric tidak bertanya alasan di balik tangisan Gwen. Jelas dia mengenal Gwen lebih baik dari sahabatnya yang lain. Dia dan Gwen tidak hanya satu jurusan, tapi juga satu ruangan saat di Universitas.Mereka akrab. Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Sekilas terlihat, mereka serasi.“Maaf, membuatmu bingung.” Gwen menunduk. Kacau, kalut dan berantakan.Dia ingat bagaimana sejak pagi terkurung di ruangan Zeev hingga sore hari. Meski tak ada sesuatu yang salah, tapi Gwen merasa tertekan berada satu ruang bersama pria itu.Ketika semua penghuni kantor benar-benar bubar di sore hari, baru lah Zeev bersedia membiarkannya meninggalkan ruangan itu.Sepanjang perjalanan menuju halte, mendadak Gwen merindukan sosok Alexi yang
Eric dan Gwen saling melepas diri. Tapi Eric tidak membiarkan Gwen merasa malu karena perbuatan mereka. Dia kembali mendekap Gwen dengan lembut.“Eric ... a-aku ....” Gwen terdiam. Tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia hanya memegang erat lengan Eric yang memeluknya.“Tak apa, Gwen. Anggap ini sebuah kehangatan yang kuberikan dari rasa nyaman selama lima belas tahun bersama.” Eric mencium dengan pelan dan hati-hati di puncak kepala Gwen.“Jangan tinggalkan aku karena hal ini, hanya kau sahabat pria pertama yang paling kusayangi,” gumam Gwen. Perlahan air matanya menetes.“Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Lagi-lagi Eric memberi kehangatan di hati Gwen dengan mencium keningnya. “Ayo, kita ke kamarku. Kuberi kau pakaian ganti,” ajak Eric.Kedua mata Gwen membulat, dengan menggigil dia menatap Eric penuh curiga. Eric yang juga menggigil, langsung merangkul Gwen dengan tawa, menyer