Share

Tamparan Keras

Laras menyeret langkahnya menuju ke rumah peninggalan orang tuanya. Rumah itu letaknya lumayan dekat dengan rumah yang selama ini ditempatinya bersama Angga. Mereka masih bertetangga. Jarak antara rumah Laras dan Angga sekitar delapan rumah.

Ia melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya lantas segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Meskipun rumah ini jarang ditempati olehnya. Akan tetapi, Laras selalu rutin membersihkannya. Setidaknya seminggu sekali karena memang jarak rumah ini dengan tempat tinggalnya hanya berselang delapan rumah. Cukup dekat.

Pertengkaran malam ini adalah yang terparah dari sekian kali pertengkarannya dengan Angga, suaminya. Hingga membuat Laras nekat pergi dari rumah Angga. Orang ketiga sudah ikut campur dalam kisruh rumah tangga mereka. Ia merasa sudah tidak ingin melanjutkan pernikahan mereka lagi.

*

Angga pulang ke rumahnya setelah mengantarkan Aluna pulang ke tempat kosnya.

"Laras?" panggilnya. Namun, sama sekali tak ada sahutan.

"Ke mana sih, Laras. Pintu juga nggak dikunci, dasar ceroboh!" umpatnya saat mendapati pintu rumahnya tak terkunci.

Ia segera mengayun langkahnya menuju ke kamar utama. Kamar yang selama seminggu ini tak pernah didatangi lagi. Saat perang dingin itu terjadi, Angga memang memilih tidur di kamar tamu. Ia menyadari jika rumahnya kosong karena tak mendapati jejak-jejak kehadiran istrinya.

"Ah, dia pasti marah dan pulang ke rumahnya. Sudahlah! Nanti dia juga akan pulang dengan sendirinya," decaknya percaya diri. Ia yakin jika Laras hanya menggertaknya karena tidak setuju untuk dimadu.

"Laras, Laras! Kita lihat berapa lama kamu betah di sana!" sinisnya.

Angga pun tak mau ambil pusing mengenai kepergian istrinya. Justru ia begitu yakin jika Laras pasti akan kembali setelah kemarahannya mereda. Walaupun ini pertama kalinya Laras meninggalkan rumah dan membawa beberapa potong baju. Tapi, Angga tak peduli dan hanya menganggap jika Laras sedang protes.

*

"Hei, bengong aja!" seru seorang pria mengagetkan Laras. Ia yang tengah menyeruput orange juice miliknya hampir saja tersedak.

"Sialan lo! Hampir aja gue tersedak," ujar Laras seraya menepuk-nepuk pelan dadanya.

"Iya, maaf deh. Lagian kenapa sih ngelamun mulu dari tadi. Lagi ada masalah ya sama Angga?" Pria yang bernama Galih itu bertanya sungguh-sungguh.

"Biasalah. Masalah rumah tangga," sahutnya tak bersemangat. Dia tidak ingin menceritakan detail permasalahannya dengan sang suami. Tak ingin mengumbar aib yang seharusnya hanya menjadi rahasia antara sepasang suami istri.

"Suara kamu tadi dalam banget, deh. Jadi baper," ujar Galih menyindir halus Laras. Wanita itu memang sengaja datang ke Cafe milik Galih dan menyanyikan dua lagu di sana.

"Kayak menjiwai banget," seloroh Galih berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja.

"Masa, sih? Biasa aja tuh," kelitnya tak mau mengakui jika memang lagu itu berasal dari ungkapan hatinya yang terdalam.

Keduanya lantas terdiam larut dalam pikiran mereka masing-masing. Galih merupakan pemilik Cafe itu. Usianya masih muda, 27 tahun, tapi jiwa pebisnisnya begitu menggebu. Ia sudah memiliki tiga cabang lain di kota yang berbeda.

Galih adalah sahabat Laras sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Setidaknya begitulah Laras memandang Galih. Hanya sebagai sahabat. Tapi, lain halnya dengan lelaki itu. Laras adalah seorang wanita yang diam-diam ia cintai selama ini. Sayangnya, ia tidak pernah punya kesempatan untuk menyatakan perasaannya.

Laras dan Galih tampak berbincang sangat akrab setelah suasana mencair. Laras pun seakan melupakan masalah yang tengah menderanya dan menikmati alunan musik dengan saling melempar canda dengan Galih.

Maklum sudah cukup lama sejak terakhir kalinya Laras datang ke Cafe Galih. Angga melarangnya untuk tidak pernah menemui Galih apa pun alasannya. Dan itu semua karena kecemburuan Angga. Ia sangat cemburu saat melihat Laras begitu dekat dengan Galih.

Lelaki itu juga mengerti kalau tatapan Galih pada Laras selama ini adalah tatapan mencinta dari seorang lelaki. Hanya saja Laras tidak pernah mengerti dan peka pada perasaan Galih. Itu semua karena cinta Laras pada Angga cukup besar hingga membuatnya tak pernah memerhatikan sekitar.

Saat Angga melarang Laras agar tidak mengunjungi Cafe Galih lagi pun, Laras menurut meski sempat melawan dengan berdalih jika Galih dan dirinya tak memiliki hubungan spesial apa pun. Hanya sebatas teman. Angga tak percaya itu.

"Aku sama Galih udah sahabatan lama loh, Mas. Bahkan sebelum aku kenal sama kamu," tolak Laras kala itu. Mereka berdebat kecil saat mereka baru sampai ke rumah setelah mengunjungi Cafe Galih.

"Aku nggak suka kamu terlalu dekat sama dia, Ras," tukas Angga tak kalah sengit.

"Terus mau kamu apa, Mas? Aku sudah dekat sama Galih sejak lama. Mana mungkin aku tiba-tiba ngejauh dari dia!" Laras masih bersikeras untuk tetap menjalin persahabatan dengan Galih.

"Aku suamimu, Laras! Aku berhak menentukan dengan siapa saja kamu dekat!" bentak Angga meninggi. Laras sempat terjingkat kaget karena Angga mulai meninggikan suaranya.

Keduanya saling terdiam beberapa saat. Laras merasa gentar untuk sesaat. Mungkin kali ini ia harus mengalah dan menuruti permintaan suaminya agar pertengkaran kecil ini tak berlarut-larut.

"Baiklah, Mas. Aku nggak akan berhubungan lagi dengan Galih. Setidaknya aku akan menjaga jarak dengannya." Laras berucap lirih. Berharap Angga luluh dan tak memperpanjang perdebatan mereka lagi.

"Baguslah! Dari tadi kek bilangnya." Angga bernapas lega karena Laras akhirnya menurut.

Namun, semua itu sudah berlalu. Masa-masa manis dalam pernikahan Angga dan Laras sedang diuji. Dan kini, pernikahan mereka berada di ambang perpisahan.

Sepasang mata milik seorang gadis berpakaian minim dan seksi menatap nyalang keakraban Laras dan Galih. Ia duduk tak jauh dari mereka dengan posisi duduknya tertutup oleh temannya.

Rahangnya tampak mengeras. Giginya bergemeletuk. Ia lalu mengarahkan kamera ponselnya untuk memotret kebersamaan Galih dan Laras dari tempatnya duduk saat ini.

"Kita lihat saja apa yang akan terjadi padamu, lacur!" umpatnya berapi-api seraya memancarkan senyuman sinis. Ia segera meninggalkan cafe dengan sejuta kebencian yang berkecamuk dalam hatinya.

Rasanya tak sabar ingin mengadukan apa yang dilihatnya itu pada ibu dan kakaknya. Ya, gadis itu adalah Tasya, adik ipar Laras yang menyimpan rasa benci pada kakak iparnya sejak lama.

*

Pintu rumah Laras diketuk begitu keras dari luar. Malam itu, Ia baru saja selesai makan malam. Lantas segera bergegas ke pintu untuk melihat siapa gerangan yang datang.

Saat pintu dibuka Laras begitu terkejut. Dia melihat suaminya, ibu mertua serta adik iparnya berdiri di hadapannya. Tatapan sinis dan tajam terpancar jelas dari raut wajah mereka.

"Kamu …!" Angga berujar penuh emosi.

Plaak!

Tanpa tedeng aling-aling, Angga langsung menampar pipi istrinya sangat keras. Wanita itu sampai terhuyung dan hampir jatuh. Pipinya terasa panas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status