Bab 1
"Niar, cepat bersihkan bekas ompol anakmu ini. Bau banget kalau nggak buru-buru!" Suara Ibu terdengar sedang marah-marah pada Istriku.
Aku sengaja diam dulu di balik pintu, sebelum masuk rumah. Mereka sepertinya tak menyadari kalau aku sudah datang.
"Ba-baik, Bu. Sebentar aku ambil pel-nya dulu."
"Kamu ini anakmu dikasih diaper napa? Bocor Mulu tuh. Rumah Ibu nanti bau semua!"
Istriku hanya diam saat dimarahi seperti itu. Lalu dia ke belakang, mungkin mencari alat pel.
"Kamu ini, dikasih tau malah nyelonong aja!"
Aku tak tahan mendengar Ibu memarahi Niar --- Istriku.
"Assalamualaikum. Niar, Abang udah pulang nih!" Aku memasuki rumah, lalu mencium tangan Ibu.
Ibu agak panik dan takut.
"Kenapa, Bu?"
"Eh, anu. Nggak ada apa-apa, kok!"
Tak lama Niar muncul dengan alat pel di tangannya.
"Niar, kamu sedang apa? Abang dah pulang nih!" Aku membentangkan tanganku ingin dipeluk olehnya. Tapi, dia hanya menoleh saja. Lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Niar kenapa, Bu?" Aku menanyai Ibu.
"Nggak tau, nggak ada apa-apa kok. Dia cuma sedang bersihin bekas ompol Farhan. Tadi anakmu ngompol sembarangan di situ." Ibu menjelaskan padaku.
Niar hanya diam, fokus pada pekerjaannya mengepel lantai. Setelah selesai, dia ke belakang.
Aku duduk di ruang tamu. Ibu masih gugup, lalu ia menawariku minum.
"Minum apa Den?"
"Aku minum kopi aja, Bu. Niar juga udah tau," kataku.
Lalu Ibu ke belakang, tak lama Niar membawakanku kopi di cangkir. Tak ada senyum di wajahnya. Aku menangkap gurat kesedihan di matanya.
"Niar, kamu nggak cium tangan suamimu?" tanya Ibu.
Dia pun melangkah, tapi tanpa tersenyum sedikitpun saat mencium tanganku. Aku memegang kedua lengannya.
"Kamu kenapa, sih?" Ku guncang-guncang tubuh Istriku.
Dia hanya menggeleng. Lalu berontak, ingin keluar dari cengkramanku. Niar malah kembali ke belakang.
"Bu, coba jelaskan ada apa ini?"
"Nggak ada apa-apa, Den! Istrimu sendiri yang tak sopan. Masa sama suami melengos aja. Bener-bener ini!" Ibu kesal dengan kelakuan menantunya.
"Masa sikapnya jadi seperti itu padaku, Bu? Kalo nggak ada apa-apa, nggak mungkin Niar seperti itu," desakku pada Ibu.
Ibu mengangkat bokongnya dari sofa.
"Makanya kamu, Den. Nggak usah kamu manjain perempuan itu. Yang ada dia ngelunjak, Den!" Ibu berkata sembari membulatkan kedua matanya.
***
Di rumah ini ada tiga keluarga, keluargaku, kakakku, dan orang tuaku. Aku bekerja di luar kota pulang sepekan sekali. Makanya aku menitipkan Istriku pada Ibu.
Aku memberi Istriku uang belanja sebulan tujuh juta rupiah. Aku pegang uang cuma dua juta saja. Ibu juga aku beri tiga juta rupiah untuk uang belanjanya. Dan untuk Kakakku aku beri satu juta, karena gaji suaminya masih kecil katanya. Makanya Ibu menyuruhku memberinya tambahan uang belanja.
Jadi, kalau permasalahan di uang, sangat tidak mungkin. Karena aku sudah memberinya lebih. Masa untuk beli diaper aja nggak ada? Sampai rumah Ibu penuh ompol.
Setelah menghabiskan kopi, aku masuk ke kamar. Lampunya mati saat aku masuk. Lalu kunyalakan lampunya.
"Jangan dinyalakan, Bang! Aku nggak mau kena masalah lagi," kata Niar.
Aku bingung. Masa menyalakan lampu jadi masalah. Masalah di sebelah mananya?
"Nggak masalah, Dek! Kamu kegelapan nyusuin Farhan. Kasian dia juga, gelap!" Aku mencoba menjawab dengan versiku.
"Pokoknya, matikan!" Niar malah berteriak padaku.
"Iya, iya, Dek. Abang matikan ya!" Aku ketakutan melihat sorot mata Niar, lalu mematikan lampu kamar.
Niar tetap menyusui Farhan.
"Icha mana Niar?"
"Icha? Oh, dia sedang senang-senang dengan Ibu."
Aku tak mengerti maksud Niar, kalau Icha sedang senang-senang sama Ibu.
"Maksudnya apa?"
"Iya, Icha sedang jajan."
"Kenapa minta sama Ibu? Kan kamu udah dikasih jatah sama aku buat jajan Icha."
Niar diam lagi. Mungkin dia takut salah jawab. Atau uang yang kuberikan sudah habis olehnya?
"Jawab Niar!"
"Habis."
"Tuh kan, bener kata Ibu. Kamu nggak bisa megang uang. Sampai-sampai beli diaper aja kamu nggak bisa. Udah, mulai bulan depan, uangnya Abang titip ke Ibu. Biar Icha jajan sama Ibu juga. Nanti buat belanja kamu minta aja sama Ibu!"
Niar menghela napas kasar. Tiba-tiba dia menangis, Farhan meronta-ronta di pangkuan Niar ingin menyusu. Tapi Niar malah menangis semakin kencang dan tak mau menyusuinya.
"Dek! Cukup, nggak usah lebay. Kamu itu harus bisa nabung. Uang yang Abang kasih pasti nggak ada sepeserpun kamu tabung. Abang nggak habis pikir sama kamu, memangnya gampang cari duit?"
Tiba-tiba tangis Istriku berhenti. Dia bangkit dari sisi ranjang, dan membanting Farhan ke tengah ranjang.
"Dek, masa kamu menidurkan Farhan dengan dibanting seperti itu? Kalau Farhan kenapa-napa gimana coba?" Aku menghampiri anak keduaku. Ia juga menangis setelah dibanting ibunya.
"Aku ... Aku ... "
Gawaiku berbunyi.
"Sebentar, Niar!"
Aku keluar untuk mengangkat telepon yang ternyata dari Bosku.
Selesai mengangkat telepon, aku berniat kembali ke kamar, tapi aku melihat mobil kakakku dan suaminya baru datang.
Mereka membawa banyak barang bawaan.
"Waah, habis belanja nih kayaknya."
"Iya dong. Karena kita baru dapat cuan. Eh kapan kamu datang, Den?" tanya Kakakku -- Ayu.
"Tadi sore, Kak," jawabku. "Hei, Bang Aldo!" Aku menyapa Kakak Iparku.
"Apa kabar, Bro!"
"Baik, Bang! Abang gimana?"
"Sangat baik, Den! Yuk, masuk!"
Kami berbincang hingga larut, aku sampai lupa kalau harus bicara dengan Niar. Setelah jam sepuluh malam aku baru masuk ke kamarku.
Tiba-tiba aku melihat Istriku tertidur di samping Farhan. Tapi ... Aku melihat ada obat yang sudah terbuka telah di minum Istriku sepertinya. Tapi kan dia tak boleh sembarang minum obat karena sedang menyusui.
Aku mencari spesifikasi obat yang diminum Istriku. Ketika ku lihat, ternyata itu adalah obat penenang.
'Ya Allah, untuk apa Niar meminum obat ini?' gumamku.
Bersambung
Pagi-pagi Niar sudah ke dapur menyiapkan sarapan. Ku lihat dia nampak biasa saja saat menyiapkan sarapan, tak ada yang salah dengannya.Lalu setelah itu dia mencuci piring dan peralatan bekas ia masak. Ibu datang menghampirinya. Ia langsung mundur, lalu mengambil pekerjaan lain.Lanjut ke menyapu dan mengepel rumah kami. Rumah ini cukup luas dan ada lantai duanya. Bisa-bisanya Niar menyapu dan mengepel semua bagian rumah."Den, ayo makan dulu!" Ibu memanggilku untuk makan.Di meja makan sudah ada Kak Ayu, Bang Aldo, Icha, Farrel, Ayesa dan Ibu. Farrel dan Ayesa adalah anak-anaknya Kak Ayu."Lho, kok, Niar mana ya?""Niar masih di kamar tadi. Mungkin Farhan rewel," kata Ibu."Ya sudah, aku susul Niar dulu ya! Kalian makan saja duluan.""Kamu makan saja dulu. Nanti habis makan, baru susul Istri kamu!""Maaf, Bu. Aku lihat tadi Istriku sudah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Apa salahnya aku panggil dia sekarang untu
Benar saja, Niar sedang sibuk menjemur baju. Sedangkan Ibu dan Kak Ayu malah sibuk diskusi mencari baju seragam. Apa Niar tak pernah diajak pengajian, ya?Aku menghampiri Niar dan membantunya. Aku tuh biasanya tak pernah sekhawatir ini. Biasanya aku biarkan saja Istriku berbuat sesukanya.Kali ini senyuman itu hilang. Aku penasaran dengan apa yang terjadi dengannya.Aku mengambil sebuah baju untuk ku jemur juga di sebelah baju yang Niar sudah jemur. Lalu, Niar malah mengambilnya kasar, dia tak mau aku membantunya."Sayang, ayo kita jalan-jalan ke Alf*. Abang lihat, Istri-istri lain pada seneng jalan-jalan, walau cuma ke Alf*." Aku tersenyum semanis-manisnya.Niar tak menggubris perkataanku. Dia malah sibuk menjemur semua baju. Hingga aku merasa jamuran ada di sebelahnya."Niar, jawab pertanyaan Abang!" ucapku tegas.Niar tersentak. Dia menepuk-nep
"Bang, jangan suka sok pahlawan!" teriak Niar.Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. Tapi dia berontak, tak mau ku sentuh."Dek, Sayang, istighfar. Kamu kalau ada masalah, ceritakan padaku. Aku siap menampungnya, Dek!"Niar terus saja menangis. Tak lama dia bangkit, berusaha menghindar dariku."Dek, kamu bicara sama aku sekarang juga!"Tiba-tiba Ibu datang mengatakan kalau Icha terjatuh dari tangga."Deni, tolong. Icha jatuh, Den!"Aku berhambur ke luar. Kepala Icha berdarah, sepertinya lukanya dalam. Aku harus membawa Icha ke klinik terdekat."Siapa yang mau ikut?""Ibu saja!"Tanpa pikir panjang, aku dan Ibu menuju ke klinik terdekat. Icha terus menangis."Sabar ya, Cha. Insya Allah sebentar lagi sehat lagi kok!" hiburku pada Icha yang baru berusia tiga tahun.Tibalah kami di klinik. Dokter segera mengambil tindakan."Harus kami jahit, Pak. Lukanya lumayan dalam," katanya se
NiarBang Deni terus mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi ... tak mungkin aku mengatakan hal ini.Aku sangat tersiksa dengan keadaan ini. Dimana aku juga merasa kosong pada diriku. Tak ada yang peduli dengan semua kesusahanku.Kadang aku merasa ingin mencek*k Farhan saat dia rewel. Aku diantara banyak orang, tapi mereka selalu menyalahkanku.Termasuk suamiku, yang tak pernah mau mendengar pendapatku. Ia malah seenaknya tinggal di luar kota, sementara aku ditinggal dengan Ibu dan Kakaknya.Rasanya setiap hari seperti berada di n*raka. Aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, belum lagi mengurus kedua anakku, tak pernah diajak kemanapun, termasuk oleh suamiku, Kakak Ipar laki-lakiku - Bang Aldo yang genit serta Ibu yang merampas semua uang belanjaku. Ia hanya menyisakan 500 ribu untukku.Belum lagi berbagai ancaman jika aku mengatakannya pada Bang Deni. Ibu mengintervensi akan menjelekkan aku pada orang tuaku dan para te
Ibu RatihGadis itu tiba-tiba datang bersama anak kesayanganku dan mereka berencana akan menikah. Deni padahal baru beberapa bulan bekerja, aku baru saja merasakan gajinya tiap bulan."Tak bisakah pernikahanmu ditunda, Deni?" tanyaku saat itu."Tidak mungkin, Bu. Kami sudah merencanakan masa depan bersama."Dia gadis yang berasal dari keluarga miskin. Sementara keluarga kami terpandang. Serasa langit dan bumi, tapi aku harus menerima gadis miskin itu."Tenang saja, Bu. Niar akan membantu semua kerjaan rumah ibu nanti," kata Deni saat ia meminta menikahi Niar."Tapi, Nak. Kalau kamu menikah dengan gadis itu, berarti kamu bakal menghentikan pemberian uangmu tiap bulan?""Paling nanti Ibu nggak bakal dapat lima juta lagi, sebagian besar akan kuberikan pada istriku," jawab Deni.Jawaban Deni membuatku sedih, ia akan memberikan sebagian besar uangnya pada seseorang yang baru ia kenal.Pada akhirnya, aku pun luluh dengan kegig
Aku mengajak Istri dan anak-anakku untuk sekedar melepas penat. Kami jalan-jalan ke mall.Icha sangat senang ketika diajak akan jalan-jalan ke mall, sedangkan Niar -- Istriku tak memberikan reaksi apapun, walau dia juga ikut dengan menggendong Farhan."Pah, Icha seneng!" katanya saat memasuki mobil.Gadis itu memang tak pernah jalan-jalan, sama seperti Mamanya. Aku yang salah, terlalu sibuk dengan kerjaan kantor yang kadang suka dibawa sampai rumah."Asyik dong kalau Mau Icha seneng. Papa juga seneng. Tanya Mama gih, Cha. Seneng nggak?" Aku mengalihkan pandangan pada Niar yang memilih duduk di belakang bersama si kecil. Niar tak menanggapiku, dia menghindari pandanganku.Icha duduk di samping. Sepanjang jalan, ia terus bernyanyi. Aku senang melihatnya seceria ini.Kulirik Istriku dari depan, ia tetap saja datar. Entah apa yang bisa membuatnya bahagia saat ini. Aku masih mencari celah.Saat di mall, Icha memilih bermain mob
Icha terkejut, ia berlari sambil menangis ke arahku.Aku mengusap kepala Icha dan membiarkannya menangis di pelukanku. Setelah mereda, aku bawa Icha ke kamar, sepertinya ia ngantuk. Tak lama ia pun tertidur.Aku kembali menemui Ibu. Lalu aku bicara pada Ibu agar jangan berbuat seperti itu pada anak kecil."Apa sih kamu, Den. Kamu juga yang salah, jalan-jalan nggak ajak Ibu. Emang mereka doang yang butuh hiburan? Ibu juga pengen!" Ibu merajuk, aku kesal dibuatnya."Bu, aku hanya menghibur mereka. Sejak menikah, aku tak pernah mengajak Niar jalan-jalan. Anakku juga belum pernah kuajak keluar. Kalau ibu kan sering ku antar belanja. Dikit-dikit Ibu meminta diantar olehku," jawabku."Kamu sukanya membandingkan seperti itu. Ibu nggak suka digituin, Den. Kamu anak Ibu. Jadi, terserah Ibu mau nyuruh-nyuruh kamu seperti itu."Aku merebahkan diri di sofa."Bu, intinya aku nggak suka Ibu membentak Icha. Kasian Icha udah berbuat baik pada Ibu, ma
NiarBang Deni mengajakku jalan-jalan, hal yang mahal bagiku setelah menikah dengannya. Beberapa kali dulu aku mengajaknya jalan-jalan, tapi ia tak pernah bisa.Aku akui Bang Deni sekarang belajar dari kesalahannya. Tapi, hatiku tetap sakit dengan semua penolakannya dulu, kata-kataku yang tak pernah ia percayai. Untuk apa aku dijadikan istri, jika kata-kataku saja tak ia percaya.Ditambah masalah Ibu yang selalu menindasku dengan tatapan matanya. Sehingga, walau tak berkata pun, aku sudah trauma dengannya.Kalau Kak Ayu, dia selalu mengataiku malas. Aku bukannya malas, tapi aku memang butuh waktu untuk anak-anakku dan diriku sendiri."Syukur ya, Deni sudah berangkat. Tak ada yang melindungimu sekarang," ucap Ayu saat Bang Deni sudah berangkat dengan mobilnya.Aku diam menunduk, tak mau bertikai dengannya, yang ada dia selalu mematahkan kata-kataku."Pinter ya, kamu. Bisanya diem-diem aja, padahal hatinya lain." ucap Kak Ayu lagi