Helena sangat senang melihat Mayra menyantap menu makan siangnya dengan lahap, padahal ia hanya membuat tumis tahu saus tiram untuk gadis tersebut. Bahkan, Bi Mira pun tidak kalah lahap dari Mayra. Sebenarnya tadi Helena ingin membuat sup tahu, yang merupakan salah satu jenis makanan kesukaan Mayra. Namun, berhubung asupan cairan pada tubuh Mayra harus dibatasi sejak beberapa bulan lalu, jadi ia terpaksa mengurungkan niatnya tersebut. Helena tidak ingin masakan buatannya membahayakan kesehatan Mayra. Sejak Mayra dikatakan positif mengidap gagal ginjal, ia dan Bi Mira sangat berhati-hati dalam membuat makanan. Bahkan, mereka hampir tidak pernah membuat masakan berkuah.
“Tumis tahu buatan Kakak memang enak,” Mayra memuji masakan Helena sambil mengacungkan kedua jempol tangannya. “Aku selalu dibuat ketagihan,” imbuhnya senang.
“Yang dikatakan May benar, Len. Bahkan, tumis tahu buatan Bibi rasanya masih kalah jauh,” Bi Mira menimpali pujian Mayra untuk Helena.
“Kalian jangan memujiku setinggi itu, nanti dewi kesombonganku langsung lepas dari kurungannya,” Helena menanggapi pujian Mayra dan Bi Mira dengan guyonan. “Kamu ketagihan bukan karena sekadar lapar, May, melainkan rakus,” sambungnya mengejek yang lebih dialamatkan kepada sang adik.
Mayra memanyunkan bibir saat mendengar ejekan kakaknya. “Berarti Kakak yang harus disalahkan karena selalu membuat makanan enak, sehingga menyebabkan aku menjadi rakus,” belanya tidak terima.
Helena terkekeh mendengar pembelaan diri Mayra. “Orang makan dilarang mengobrol, nanti perut kalian tidak kenyang-kenyang,” tegurnya sambil mengulum senyum.
“Iya, Kak,” Mayra langsung mengindahkan teguran sang kakak. Gadis kecil itu memang sangat penurut sekaligus selalu mematuhi perkataan Helena, sebab kini hanya sang kakak yang ia punya.
Helena kembali terkekeh melihat reaksi Mayra setelah mendengar tegurannya. Mayra tidak pernah membantah atau mengabaikan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, walau sebenarnya ucapan tersebut hanya bersifat candaan. Helena sangat bersyukur karena hingga detik ini adiknya tersebut tetap bersamanya, meski kondisi kesehatan Mayra sendiri tidak stabil.
“Apa pun akan aku lakukan agar kalian tetap bisa hidup layak dan terjamin,” batin Helena berjanji.
Walau kedua wanita beda generasi tersebut sama sekali tidak mempunyai pertalian darah dengannya, tapi Helena sangat menyayangi serta mengasihi mereka. Hanya mereka berdua yang kini menjadi kerabat dekat Helena, sekaligus sudah ia anggap sebagai keluarga kandungnya sendiri.
•••
Akhirnya makanan yang terhidang di atas meja berpindah ke perut masing-masing, setelah kurang lebih dua puluh menit mereka menikmatinya. Helena mengangguk saat Bi Mira memintanya untuk tidak beranjak dari kursinya, sebab beliaulah yang akan membersihkan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur.
Helena memerhatikan Mayra yang tengah serius mengupas kulit apel. “Serius sekali,” tegurnya dan tersenyum.
“Harus serius, Kak. Jika tidak serius, aku takut nanti tanganku terluka karena teriris pisau.” Mayra menghentikan gerakan tangannya saat menanggapi teguran Helena.
“Pakai ini saja, biar kamu lebih mudah mengupasnya.” Helena mengeluarkan peeler berbahan stainless steel dari tempat sendok dan garpu yang ada di atas meja makan. “Bawa apelnya ke sini, biar Kakak membantumu membelah yang sudah kamu kupas,” imbuhnya.
“Terima kasih, Kak.” Mayra menerima peeler yang diberikan sang kakak sambil menyengir, sebab ia melupakan kegunaan benda tersebut. “Kakak mau apel juga? Biar sekalian aku kupaskan,” tawarnya.
“Boleh,” Helena menerima tawaran Mayra. “May, nanti sore kamu mau jalan-jalan di taman yang ada di seberang apartemen?” tanyanya.
“Mau banget, Kak,” Mayra menjawabnya dengan antusias. “Kakak tidak capek?” tanyanya polos dan menyerahkan buah apel yang sudah selesai dikupas kepada Helena.
Helena mengerutkan kening mendengar pertanyaan Mayra. “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?” selidiknya.
“Habisnya Kakak kerja terus. Aku hanya takut Kakak capek dan ujung-ujungnya jatuh sakit karena terus bekerja,” Mayra menyampaikan rasa khawatirnya.
Helena terharu mendengar kekhawatiran Mayra. Ia menyunggingkan senyum menenangkan ke arah sang adik. “Setiap orang yang bekerja sudah pasti capek, May. Namun, walau capek Kakak selalu ingat untuk beristirahat. Selain cukup beristirahat, Kakak juga menyantap makanan yang sehat dan penuh gizi,” jelasnya sederhana. “Dengan beristirahat cukup dan menyantap makanan sehat sekaligus bergizi, otomatis tenaga yang sudah keluar akan pulih kembali,” imbuhnya.
Mayra menganggukkan kepalanya saat mendengar sekaligus menyimak penjelasan yang Helena berikan. “Aku mengerti sekarang, Kak,” ucapnya. “Kira-kira sore jam berapa nanti kita jalan-jalan di taman?” tanyanya.
“Jam lima saja. Kakak mau tidur siang dulu.” Helena mengangsurkan buah apel yang sudah dibelah menjadi empat bagian. “Kamu juga harus tidur siang agar kesehatanmu tetap terjaga,” imbuhnya mengingatkan.
Sekali lagi Mayra mengangguk, mengindahkan ucapan sang kakak. “Aku boleh numpang tidur di kamar Kakak?” pintanya dengan ekspresi waspada. Ia takut Helena tidak mengizinkannya.
“Memangnya kenapa kamu ingin tidur di kamar Kakak?” tanya Helena ingin tahu. Sebenarnya Helena tidak keberatan dengan permintaan Mayra, tapi ia hanya ingin mengetahui alasan sang adik.
“Aku hanya kangen dengan Kakak saja. Karena setiap hari Kakak bekerja, dan pulangnya pun saat aku sudah tidur,” kata Mayra penuh kejujuran.
Helena terenyuh mendengar pengakuan gadis kecil yang dicampakkan begitu saja oleh wanita iblis berkedok seorang ibu. “Tentu saja boleh, Sayang,” ujarnya seraya tersenyum. “Kakak minta maaf karena selama ini tidak mempunyai waktu banyak yang bisa kita habiskan bersama,” imbuhnya sedih.
Mayra menggeleng saat melihat sorot mata Helena yang memancarkan kesedihan. “Kakak tidak perlu meminta maaf padaku. Kalau Kakak tidak bekerja, siapa yang akan membayar biaya sekolah dan pengobatanku?” Mayra turun dari kursinya dan beralih berdiri di samping Helena. “Aku hanya takut jika sewaktu-waktu Kakak capek mengurusku dan lebih memilih untuk meninggalkanku. Sama seperti Mama yang pergi begitu saja,” cicitnya dengan nada bergetar.
Satu tetes air mata Helena jatuh tanpa bisa dicegah mendengar ketakutan gadis malang yang kini tengah memeluknya dari samping. Helena tidak tahu rasanya dicampakkan begitu saja oleh seseorang yang sangat dihormati sekaligus disayanginya. Namun, ia bisa merasakan kesakitan yang kini tengah bersarang di hati Mayra. Gadis sekecil Mayra seharusnya sedang bahagia-bahagianya berada dalam buaian dan mendapat limpahan kasih sayang dari sang ibu. Bukan malah dibuang begitu saja, layaknya bangkai busuk.
Helena mendekap tubuh Mayra erat-erat sambil mengelus punggung sang adik yang bergetar dengan penuh kelembutan. “Kita tidak akan pernah terpisah, May. Walaupun kita bukan saudara kandung, tapi Kakak tidak akan pernah meninggalkanmu seorang diri,” ucapnya menenangkan. “Kakak bekerja sekeras ini demi mencukupi biaya pengobatanmu, May, agar kita tetap bisa bersama,” batinnya menambahkan.
Mayra yang kini telah terisak dalam dekapan Helena pun hanya mengangguk. Ia tidak pernah menyangsikan setiap kata-kata yang keluar dari mulut sang kakak. “Aku sangat menyayangimu, Kak,” ucapnya terbata.
“Kakak juga, May.” Helena mengurai pelukannya, kemudian mengecup kening Mayra. “May, kalau kita ganti acara jalan-jalannya dengan kegiatan yang lain, kamu mau?” tanyanya. Helena mengusap air mata yang membasahi pipi sang adik dengan jari-jari lentiknya.
“Kegiatan apa, Kak?” tanya Mayra sambil menatap Helena sendu.
“Berkunjung ke makam Mamanya Kakak. Sudah lama Kakak tidak curhat dengan Mama,” ujar Helena sambil terkekeh. “Kalau kamu mau, nanti jam empat sore kita berangkat.” Ia merapikan rambut Mayra yang keluar dari ikatannya.
“Mau, Kak.” Air mata Mayra kembali menetes saat mengangguk. “Bi Mira diajak juga, Kak?” tanyanya.
Helena menjawabnya dengan anggukan kepala. “Kalau begitu, ayo sekarang kita tidur dulu,” ajaknya kemudian beranjak dari duduknya. Ia merangkul bahu Mayra saat berjalan menuju kamar pribadinya.
Bi Mira yang sedari tadi mendengar sekaligus menyaksikan percakapan antara Helena dan Mayra ikut menitikkan air mata. Ia menyusut sudut matanya yang sudah berkerut setelah melihat kedua perempuan beda generasi tersebut menjauh dari jangkauannya.
“Semoga Tuhan selalu melindungi dan memberkatimu, Nak. Kebaikanmu menampung kami yang bukan siapa-siapamu sungguh tidak terkira. Bahkan, tanpa pernah mengeluh kamu memberikan kami penghidupan yang layak,” Bi Mira bergumam.
•••
Felix menyadari dengan jelas perubahan sikap Helena sejak mereka kembali ke unit apartemennya dari supermarket. Walau Helena tetap memberikan reaksi atas ucapannya atau menjawab setiap pertanyaan darinya, tapi Felix sangat merasakan perubahan sikap wanita tersebut. Bahkan, beberapa kali ia memergoki wajah Helena muram saat melakukan kegiatan bersih-bersihnya. Felix berasumsi bahwa Helena pasti tersinggung atau terluka atas semua perkataan kejam yang mulutnya lontarkan tadi.
Felix menyugar kasar rambutnya sebelum bangkit dari kursi minibar. Dengan gontai ia berjalan menuju kamar pribadinya. Berhubung tidak ada kegiatan yang ingin dilakukan di luar ruangan, jadi ia akan mengisi waktu liburnya dengan tidur sepuasnya. Terlebih setelah kemarin malam ia bekerja keras menggapai puncak kenikmatan bersama Helena.
Baru saja Felix menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan bersiap memejamkan mata, tiba-tiba ia mendengar bel apartemennya berbunyi berulang-ulang. “Shit!” umpatnya pada orang yang berada di balik pintu apartemennya.
Alih-alih bangun dan membukakan pintu pada tamu yang tidak diundang, Felix malah mengambil bantal kemudian menutup rapat-rapat telinganya agar suara berisik tersebut tidak terdengar. Felix kembali berdecak kesal saat giliran ponselnya di atas nakas yang menginterupsi usahanya.
“Sebentar!” hardik Felix pada orang yang meneleponnya. Dengan kaki mengentak kasar di atas lantai, Felix berjalan menuju pintu apartemennya.
“Apakah aku mengganggumu, Tuan?” tanya laki-laki yang berdiri sambil bersidekap di hadapan Felix setelah pintu apartemen terbuka.
Felix hanya mendengkus. Ia tidak perlu menanggapi pertanyaan yang sudah sangat jelas jawabannya. Walau kesal, Felix tetap menggeser tubuhnya agar tamu yang tidak diundang tersebut bisa memasuki apartemennya.
“Tumben hari libur begini kamu bisa bebas berkeliaran?” Felix bertanya sarkas sambil mengekori laki-laki yang mempunyai tinggi sama dengannya.
Bukannya tersinggung mendengar pertanyaan bernada sarkas yang Felix lontarkan, laki-laki tersebut hanya terkekeh. “Setiap aku datang ke sini, apartemenmu selalu bersih dan rapi,” komentarnya setelah mengedarkan tatapannya ke sekeliling sudut ruangan, kemudian mendaratkan bokongnya pada salah satu sofa empuk. Ia lebih memilih mengabaikan pertanyaan Felix daripada menjawabnya secara langsung.
Kesal pertanyaan sarkasnya tidak digubris, Felix pun membalasnya dengan mengabaikan komentar sahabatnya. “Di hari libur seperti saat ini, biasanya kamu tidak mempunyai waktu untuk bekeliaran. Kenapa? Kamu sudah mulai bosan dengan Dea?” tebaknya. “Tidak bagus berpacaran lama-lama, kalau sudah sama-sama serius mending kalian kawin saja. Pasti banyak keuntungan yang bisa kalian peroleh, terutama kamu dan si junior kebanggaanmu itu. Kamu bisa leluasa dan sepuasnya menyentuh Dea. Bahkan, kamu bisa bebas mengajaknya bercinta hingga beronde-ronde,” imbuhnya panjang lebar dan tertawa melihat ekspresi wajah sahabatnya.
Hans, pewaris dari Narathama Corporation yang juga merupakan sahabat Felix hanya memberikan tatapan tajam atas ucapan mesum laki-laki di hadapannya. “Dasar otak selangkangan!” cibirnya. “Aku bukan perusak anak orang sepertimu,” sindirnya.
“Aku tidak pernah merusak anak orang. Wanita-wanita itu bersedia menghangatkan ranjangku karena mereka menerima imbalan yang sepadan dariku. Jadi, aku tidak pernah meniduri mereka secara gratis,” Felix membela diri. “Aku salut sama pertahanan Dea yang tidak mudah kamu giring ke ranjang, padahal kalian sudah cukup lama menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih,” sambungnya. “Bahkan, aku salut pada si junior kesayanganmu yang hingga kini mampu bertahan tidak mencari sarang untuk menghangatkan diri,” gelaknya.
Hans menjitak kepala Felix yang mulutnya semakin tidak terkontrol. “Sejak dulu aku memang tidak pernah memaksa mantan-mantan kekasihku untuk bergulat di atas ranjang. Laki-laki normal sepertiku tentu saja menginginkan penyaluran hasrat, tapi walau demikian aku tetap menghargai keputusan mereka. Aku menawarkan dan mereka menerimanya tanpa tekanan, ya sudah kegiatan panas kita berlanjut. Jika mereka menolak, ya terpaksa aku mencari kepuasan menggunakan tangan sendiri,” balasnya secara gamblang. “Aku memang berniat memperistri Dea dan menjadikannya salah satu orang yang paling berharga di dalam hidupku,” lanjutnya serius.
“Sebagai seorang sahabat, aku hanya mendoakan yang terbaik untukmu,” ungkap Felix. Ia memegangi kepalanya yang tadi mendapat jitakan dari Hans. “Keluarga Dea pasti sangat bangga mempunyai menantu sepertimu. Sudah tampan, mapan, dan sangat mencintai Dea,” tambahnya memuji.
“Orang tuanya sangat mendukung hubungan kami, sekaligus sudah memberikan restunya,” Hans menanggapi dan menyunggingkan senyum tipis. Tiba-tiba senyumnya menghilang dan tergantikan oleh rahangnya yang mengetat. “Tapi ada satu orang di keluarganya yang sering berhasil memancing emosiku,” geramnya.
“Siapa?” selidik Felix penasaran.
“Diandra,” Hans mengucapkan nama tersebut penuh tekanan dan emosi. “Adik semata wayang Dea,” jelasnya.
“Jangan-jangan Diandra cemburu dan naksir kamu?” terka Felix dengan nada bercanda.
Hans dengan yakin menggelengkan kepalanya. “Diandra memang tidak secara langsung memancing emosiku, tapi perempuan itu selalu mencari celah untuk menyakiti Dea dengan lontaran perkataan tajamnya. Bahkan, Diandra selalu menatap Dea dengan kilatan penuh kebencian yang dipancarkan oleh matanya,” beri tahunya.
“Mungkin saja ada masalah personal di antara mereka. Saranku, sebaiknya kamu jangan mudah terpancing dan berusahalah untuk selalu bersikap netral. Walau bagaimanapun nanti Diandra akan menjadi adik iparmu juga,” Felix memberikan saran sebisanya. “Kamu sudah makan siang?” tanyanya mengalihkan topik.
Hans menepuk keningnya, seolah sedang mengingat sesuatu yang ia lupa. “Tujuanku ke sini memang ingin mengajakmu makan siang,” ujarnya. “Awalnya aku ingin mengajak Dea, tapi ia mengatakan tidak bisa karena sedang menemani ibunya arisan,” beri tahunya tanpa ditanya.
“Berarti aku pemain cadangan?” cibir Felix mendengar pemberitahuan Hans. “Baiklah, kalau begitu kamu tunggu sebentar. Aku ingin mengganti pakaian dulu,” pintanya setelah berdiri.
Hans mengangguk tanpa merasa bersalah. “Jangan lama-lama. Aku paling benci menunggu,” ucapnya tegas.
•••
Helena menatap lekat Mayra yang sudah lebih dulu terlelap di sampingnya. Ia menyelipkan anak rambut Mayra ke belakang telinganya. Bulu mata sang adik masih terlihat basah karena tangisannya tadi. Ia sangat iba sekaligus prihatin terhadap hidup Mayra yang malang, umur sang adik masih terlalu kecil untuk menanggung sakit batin dan fisik.
Dicampakkan oleh ibu kandung sendiri dan adiknya harus menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap penyakit gagal ginjal. Selama ini Mayra tidak pernah menanyakan lagi mengenai keberadaan ibu kandungnya. Ia menilai bahwa Mayra sudah terlanjur terluka oleh tindakan wanita yang telah melahirkan dan mencampakkannya tersebut.
“Percayalah, May, apa pun yang terjadi Kakak tidak akan pernah meninggalkanmu,” bisik Helena sambil mengecup kening Mayra. “Kakak juga berjanji akan mencarikan donor ginjal untukmu, agar kamu bisa sembuh,” batinnya menambahkan.
Helena mengubah posisi menyampingnya menjadi telentang. Pikirannya melayang mengingat segala peristiwa yang telah terjadi di dalam hidupnya. Ia tidak pernah berniat menjadi penghangat ranjang untuk laki-laki kaya hanya karena ingin mempunyai banyak uang. Bahkan, dalam mimpinya pun keinginan tersebut tidak pernah muncul. Hanya karena keadaan yang memaksa dan terimpit masalah ekonomi, ia harus membutakan mata untuk melakoni pekerjaan tersebut. Akan tetapi di tengah kemalangan yang dihadapinya, masih terselip rasa syukur di lubuk hatinya, meski hanya secuil. Dirinya menjadi penghangat ranjang untuk laki-laki kaya yang statusnya masih belum terikat oleh seseorang. Bahkan, umur laki-laki tersebut hanya beberapa tahun di atasnya dan parasnya pun tampan. Status, umur, dan paras laki-laki tersebutlah yang membuatnya mengucap secuil rasa syukur.
Walau matahari sudah bergeser ke arah barat, tapi sinarnya masih cukup terang menyinari bumi. Menepati ucapannya tadi, kini Helena bersama Mayra dan Bi Mira sudah berada di sebuah tempat peristirahatan terakhir milik orang-orang terkasih sekaligus sangat berarti di dalam hidupnya. Selain ingin menyapa ibunya, Helena juga mengunjungi peristirahatan terakhir sang ayah yang makamnya memang bersebelahan. Sebelum mengembuskan napas terakhir, sang ayah meminta padanya agar dikebumikan berdampingan dengan wanita yang telah melahirkan buah cintanya.Helena mengajak Mayra meletakkan seikat bunga sedap malam di masing-masing gundukan tanah yang dilapisi batu granit. Helena berharap raga-raga yang telah terbaring damai sekaligus tertutup tanah melihat kedatangannya dan menyambutnya dengan pelukan hangat.Helena hanya diam saat melihat Mayra mengusap ukiran nama yang tertera di atas makam milik sang ibu. Setetes air mata dengan lancang melewati pipinya ketika menyaksikan Mayra menci
Setibanya di Lav Coffee, Felix segera menanyakan keberadaan orang yang ingin ditemuinya. Felix mengangguk setelah mendengar jawaban salah seorang karyawan yang memang ditugaskan untuk menunggu kedatangannya, kemudian ia pun dibimbing menuju lantai dua. Sambil menaiki satu per satu anak tangga, ia melihat pengunjung mulai berdatangan dan menduduki kursi-kursi yang tadinya kosong.“Silakan masuk, Pak,” ujar karyawan tadi dengan ramah dan sopan setelah menggeser pintu kaca di hadapannya.“Terima kasih,” balas Felix tidak kalah ramah. Tidak lupa ia juga menyunggingkan senyum tipisnya.“Tumben bukan Lenna yang menemanimu?” tanya pemilik Lav Coffee tanpa basa-basi setelah melihat Felix berada di dalam ruangannya.“Sekretarisku sedang banyak tugas yang harus segera diselesaikan,” Felix menjawab setelah duduk, tanpa menunggu dipersilakan terlebih dulu oleh pemilik ruangan. Selain menjadi salah satu klien setianya, L
Helena terbangun dari tidurnya saat merasa perutnya keroncongan. Sebelum bangun dari posisi berbaringnya, dengan perlahan ia mengangkat tangan Felix yang bertengger di pinggangnya, kemudian memindahkannya ke atas kasur. Ia tersenyum saat menatap mata Felix terpejam rapat dan wajahnya yang terlihat damai. Mereka ketiduran setelah menuntaskan ronde kedua permainannya. Karena mereka melewatkan waktu makan malamnya, kini perut Helena pun dilanda kelaparan.Setelah turun dari ranjang dengan hati-hati agar Felix tidak terbangun, Helena langsung memungut pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajahnya. Helena terpaksa menutupi tubuh telanjangnya dengan kemeja yang tadi Felix kenakan di kantor, mumpung baju tersebut belum dimasukkan ke keranjang cucian kotor. Sebelum keluar kamar dan menuju dapur, Helena menyelimuti tubuh polos Felix.Tanpa membuang waktu Helena langsung menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sebuah masaka
Setelah Helena pulang usai menemaninya makan malam, Felix malas berada di apartemen sendirian, jadi ia memutuskan mengunjungi kelab malam untuk mencari hiburan. Sebenarnya sejak menjadikan Helena sebagai penghangat ranjangnya, Felix hampir tidak pernah lagi mendatangi kelab malam, meski hanya untuk sekadar menikmati minuman beralkohol. Namun, untuk malam ini akan menjadi pengecualian bagi dirinya.Saat tiba di basement apartemennya, Felix melihat mobil Hans yang hendak parkir. Ia menghela napas saat melihat kantong plastik yang ada di tangan Hans, setelah sahabatnya tersebut keluar dari mobil. Malam ini ia terpaksa harus membatalkan niatnya untuk mencari hiburan di tempat yang dipenuhi oleh dentuman musik, para wanita sexy dan berbagai minuman beralkohol.“Mau ke mana, Hans?” Felix pura-pura menanyakan tujuan Hans yang kini berjalan menghampirinya.“Tentu saja ke rumah keduaku,” Hans menjawabnya tanpa ragu.Pupil mata Felix melebar mendengar jawaban seenaknya
Mata Helena berkaca-kaca saat sertifikat rumahnya kembali berada dalam genggaman tangannya. Jika saja rumah tersebut bukan satu-satunya harta peninggalan milik sang ayah, maka ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang untuk menebusnya. Selain menjadi harta peninggalan sang ayah, rumah tersebut juga banyak menyimpan kenangan manis bersama orang tuanya ketika mereka masih hidup. Walau tidak besar, tapi rumah tersebut sangat berarti dalam hidupnya.Helena meminta kepada Mayra dan Bi Mira untuk mulai mengemas barang masing-masing, sebab minggu depan ia akan mengajak mereka pindah ke rumah yang sudah ditebusnya tersebut. Walau mereka akan pindah, tapi Helena tidak berniat memberi tahu Felix. Semasih bekerja pada Felix ia tidak akan meninggalkan apartemen yang diberikan oleh laki-laki tersebut sebagai hadiah kesepakatan mereka.“Len, besok Bibi mau membersihkan rumah sebelum minggu depan kita tempati.” Bi Mira meletakkan pisang goreng yang masih panas dan secangkir teh di a
Helena menatap Felix penuh tanya saat mereka bersiap untuk makan malam. Sejak pulang dari kantor, Felix hanya diam dan langsung menuju kamar tidurnya. Ketika dipanggil untuk makan malam setelah ia selesai memasak, Felix baru keluar kamar sambil menampilkan ekspresi datar. Saat Helena mengajaknya berbicara atau berinteraksi, Felix hanya memberikan tanggapan singkat. Ketika ditanya pun, laki-laki tersebut terlihat malas sekaligus sangat enggan untuk menjawabnya. Walau menyantap masakannya dengan lahap, tapi laki-laki di hadapannya hanya membisu. Sambil mengamati, dalam diam Helena meraba-raba kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap Felix.Selama makan malam berlangsung, hanya denting sendok yang terdengar. Bahkan, hingga makanan di piring masing-masing habis, Felix tetap mempertahankan kebungkamannya. Seharusnya malam ini Helena menemani Felix tidur, tapi berhubung sikap laki-laki tersebut seolah tidak menganggap keberadaannya, jadi ia putuskan akan pulang ke rumahnya sendiri
Walau rasa khawatir dan panik memenuhi benaknya, tapi Helena berusaha keras agar tetap terlihat tenang, mengingat saat ini dirinya masih berada di kantor. Ia tidak ingin gelagatnya dicurigai oleh Felix, sehingga membuat laki-laki tersebut bertanya-tanya. Helena meninggalkan meja kerjanya dan bergegas menuju toilet untuk menenangkan diri agar bisa menemukan alasan yang masuk akal, sebab ia ingin pulang lebih awal.Saat melihat pantulan wajah pucatnya di cermin besar yang ada di dalam toilet, tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya. Helena terpaksa akan mengarang sebuah kebohongan tentang dirinya agar Felix percaya dan langsung memberinya izin pulang lebih cepat. Setelah meyakinkan diri, ia mengembuskan napasnya sedikit keras sebelum menemui Felix di ruang kerjanya.Helena memasuki ruangan Felix setelah ketukan pintunya direspons. Ia melihat Felix sedang serius menatap layar komputernya. “Fel,” panggilnya dengan nada pelan yang disengaja.Mendengar suara Helena yan
Helena mulai merasa tubuhnya remuk. Selama sepuluh hari ini ia benar-benar harus pintar membagi waktu. Antara bekerja, menjaga Mayra di rumah sakit, dan melakukan kewajibannya di apartemen Felix, termasuk melayani laki-laki tersebut di ranjang. Berhubung kondisi Mayra belum sepenuhnya stabil, makanya Helena memutuskan agar sang adik tetap dirawat di rumah sakit supaya selalu mendapat pemantauan dari tim medis. Demi staminanya agar tetap terjaga, Helena mengonsumsi suplemen setelah Wira menyarankan kepadanya untuk memeriksakan diri.Sepulangnya dari kantor Helena tidak ke apartemen Felix seperti hari-hari biasanya untuk menyiapkan makan malam atau menghangatkan ranjang laki-laki tersebut. Hari ini Felix diundang makan malam oleh Nyonya Narathama, yang tidak lain adalah ibu kandung Hans di kediaman pribadinya. Oleh karena itu, tanpa membuang waktu, Helena langsung menuju rumah sakit untuk menggantikan Bi Mira menjaga Mayra. Sampai saat ini Helena sengaja merahasiakan kondisi san