***"Sudah, sudah! Liom, memangnya di situ siapa nama aku dan Mpus tertulis?" tanya Upik. "Apa?! kau bahkan tak tahu membaca?" tanya Santi menertawakan Upik. "Aku juga tak tahu membaca." jawab Mpus memandang Santi yang seketika terdiam saat dipandangi tajam oleh Mpus. "Aaah, begini Santi. Selain untuk melindungimu, aku juga memberikan sebuah tugas untukmu. Kau tentu paham, kau di sini tidak gratisan kan?" ucap Liom. "Apa maksudmu, Liom!?" tanya Santi melangkah mendekati Liom. "Kau tentu tahu, Bapakku telah memutuskan hubungan dengan keluarga besar kita. Aku bahkan mengambil resiko, menyembunyikan istri seorang Pengusaha kaya di kota ini. Tentu kau juga paham itu tak gratis.""Liom, kupikir kau menolongku karna aku sepupumu satu-satunya. Kau tulus melakukan itu.""Kau bahkan tak perduli padaku, saat aku membutuhkan pertolongan dari semua orang.""Aaah, baiklah! aku terdesak, apa yang kau butuhkan dariku?!" tanya Santi. "Kau hanya perlu mengajari Mpus dan Upik belajar membaca, ber
***Lima hari dalam perawatan, akhirnya Liom diperbolehkan pulang, namun harus terus melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit. Mpus, Upik, Rian dan Santi berada satu mobil dengan Liom. Tujuan mereka adalah ke rumah Bambang di tengah-tengah Perkebunan. Ya, rumah masa kecil Liom dan keluarganya, sekaligus rumah yang didiami Rianti selama ini."Santi, kau tidur dengan Upik di kamar tamu lantai dua ya!? dan aku bersama Mpus." Liom membuka percakapan. "Ogah banget berbagi kamar dengan perempuan kampung ini." jawab Santi. "Yasudah, kamu tidur bersama Mpus saja." kata Liom. "Kamu apa-apaan sih, Liom!? di rumah ini ada banyak kamar tamu, kenapa gak masing-masih saja sih?" "Kamu sedang hamil besar, seseorang harus selalu ada di sisimu untuk berjaga-jaga." terang Liom. "Okee! oke! baiklah! tapi, aku tak mau seranjang dengannya." "Di kamar tamu nomor dua, itu khusus untuk anak. Jd ranjangnya ada dua, selesai kan?!" jelas Liom pada Santi. Santi hanya diam meski tetap bersungut-sungut tak je
***Sosok itu menekan tombol-tombol itu, kemudian membuka-buka berkas yang ada di sana. Sepertinya sosok itu berhasil membuka pintu brankas itu. Mpus membuka pintu kamar itu lebar, sosok itu langsung menoleh dan terkejut. Ia tampak tak menduga seseorang bisa menyadari apa yang ia lakukan di kamar Bambang. "Kau lupa dengan sumpahmu, Rian?" tanya Mpus. "Aaaaah, kukira kau siapa!?" Rian tampak sedikit lega dan memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. "Kau sedang apa?" tanya Mpus. "Aku sedang mengganti pin sandinya, aku khawatir Santi melihatku tadi menekan tombol sandinya.""Aku berharap kau tak lupa akan sumpahmu!" "Aku tak mungkin berkhianat. Meskipun kemarin Julian tidak membuat perjanjian darah padaku di depanmu, aku takkan berkhianat!""Kuharap demikian, kalau kau berusaha mengkhianati Liom, kau pasti tahu akibatnya.""Aku sudah selesai merubah pinnya, apa kau mau bertahan di sini?" Rian beranjak dari posisi berjongkoknya, hendak keluar kamar. Mpus membiarkan Rian berl
***Liom dan Upik langsung mengejar dan melihat ke bawah. Mata mereka melotot, tangan mereka seakan ingin meraih, namun hanya railing tangga yang bisa mereka raih dan genggam. Sementara si Kurir berlari menghindar dan mendekati Lelaki asing yang masih bersujud kesakitan. Liom dan Upik melihat ke bawah, Santi berada di sana, namun tidak ada hal yang mengenaskan terjadi. Santi sedang digendong melayang oleh Mpus. Melihat itu, Liom dan Upik langsung terduduk lemas, mereka menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan jika Santi mengalami hal yang mengerikan itu, jatuh dari lantai dua dalam keadaan hamil besar. Tubuh Santi digendong Mpus masih dalam keadaan melayang. Mata mereka beradu, namun Mpus segera mendongakkan wajahnya melihat ke atas. Sementara Santi masih syok dan terperangah. Antara percaya dan tidak percaya, mereka berdua benar-benar sedang melayang di udara, kaki Mpus sama sekali tidak menapak di lantai. Ia pandangi wajah Mpus yang teduh dan tampan. Seketika ia terjebak lagi
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
Aroma ayam, pakan dan kotorannya semerbak, bisa dipastikan takkan ada yang bisa bertahan di sekitar situ untuk beristirahat setiap hari. Namun tidak dengan Upik. Ia tidur dan makan tepat di sebelah kandang-kandang ayam milik pak Bowo. Ia adalah anak yang terbuang, usianya bekisar delapan belas tahun. Upik seumur hidup tinggal di sana, bekas kandang ayam yang dijadikan tempat ia tinggal. Setiap hari bekerja membersihkan kandang, membantu memberikan pakan ayam, dan makan dari belas kasihan keluarga pak Bowo. Meski usianya sudah beranjak dewasa, Upik sama sekali belum pernah mengalami menstruasi, mengerti bahwa dirinya seorang perempuan-pun mungkin tidak. Perawakannya tak ubah seperti orang yang mengalami gangguan jiwa, rambutnya gimbal kribo, tubuhnya kurus dan tak terurus, bahkan terkesan seperti tak pernah mandi. Aroma ayam lekat betul di tubuhnya, wajahnya kotor, giginya kuning dan ia jarang berbicara. Jika dipanggil, ia hanya menyahut dan datang sesegera mungkin, jika dimarahi bah
Malam telah tiba, sekitar pukul tujuh Upik bergegas ke dapur, perutnya sudah lapar betul.Pintu dapur rumah pak Bowo belum dibuka, dan nampan yang biasa berisi makanan sisapun belum kelihatan di bawah pintu. Upik menunggu di luar, tepat di samping pintu dapur. Sudah sejam, tak kunjung ada yang membukakan pintu. Biasanya buk Laila istri pak Bowo atau Sukiyem pembantu di rumah itu akan memanggil manggil Upik untuk mengambil jatah makannya. Lapar yang ia rasakan memaksanya mencoba mengetuk pintu dapur. Tok, tok, tok!Upik menunggu, berharap ketukannya disambut terbukanya pintu. Namun, tak ada respon sama sekali. Sudah dua jam lebih Upik menunggu, ia memutuskan melihat ke arah depan rumah. Biasanya pak Bowo ataupun istrinya akan marah jika Upik memperlihatkan dirinya di halaman depan rumah pak Bowo. Namun kini, ia betul betul kelaparan. Ia melangkah ragu ke depan rumah, ia perhatikan pintu dan jendela semuanya tertutup. Sepertinya, keluarga pak Bowo sedang tidak ada di rumah. Upik m