Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat.
"Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan.
"Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine.
"Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya.
"Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara.
"Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu"Sialan! Argh ...." Rio yang stres, terus melampiaskan amarahnya pada stir mobil.Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nama Celine di sana."Cih! Untuk apa wanita murahan ini menelponku? Semua gara-gara dia. Seandainya ia tidak muncul, aku tak 'kan kehilangan kendali seperti tadi. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Denia pasti tidak akan memaafkanku." Rio merenung sesaat. Menyesali atas apa yang ia ucapkan pada Denia. Ia benar-benar takut, jika Denia mengetahui hubungan gelapnya dengan Celine.Sebagai seorang lelaki, terkadang ia ingin mendapat perlakuan mesra dari Denia. Tapi, karena Denia seorang wanita karir, membuat ia jarang berada di rumah. Rio merasa diperlakukan seperti lelaki bayaran. Sekarang ia justru terjebak karena ulahnya sendiri.Ponsel Rio masih terus berbunyi, dari kontak yang sama. Dengan terpaksa, Rio mengangkat panggilan itu."Halo." Suara serak Celine terdengar dari ujung sana.
"Argh ... sakit!" teriakan Celine, begitu menggelora di dalam kamar."Maafkan aku, Denia. Kumohon," pekik Celine, memelas.Ia merasakan hawa panas di sekitar wajah, juga selangkangannya. Ia bahkan tak mengingat jelas, kapan terakhir kali ia pingsan. Setiap terbangun, Celine selalu merasakan gatal di sekitar selangkangan, serta wajahnya. Ia tak tahan untuk tidak menggaruknya, membuat bagian yang sensitif itu terluka."Denia ... kumohon ampuni aku. Argh ... aku tak sanggup lagi, Denia. Kumohon, beri aku obat. Argh ...." Suara itu kemudian berubah menjadi tangis pilu.Denia hanya tersenyum puas, mendengar tangisan Celine. Ia merasa tak perlu mengotori tangannya untuk menyakiti Celine. Justru tangan Celine sendiri lah yang membuat luka di tubuhnya."Wah, wah, Nyonya. Aku sangat terkesan padamu. Kau bahkan belum menggunakan tanganmu untuk menyakiti Celine, tapi wanita itu malah teriak dengan hebohnya," puji Natalie, dengan nada menyindir. 
Sore harinya Jeremy pulang, dengan membawa beberapa obat penurun panas dan pereda nyeri untuk Rai. Meski sebenarnya ia tak ingin menyia-nyiakan uang untuk orang tak dikenal, tapi sisi kemanusiaaannya tak tega jika harus membiarkan Rai dalam keadaan sengsara.Sesampainya di rumah, ia mulai berteriak,"Bu ... Bu." Ia memastikan, jika ibunya ada di rumah."Masuklah, Jemz. Jangan berteriak seperti itu." Ibu Jeremy menasehati."Bu, di mana pria itu? Ia belum mati, kan?" canda Jeremy.Plak."Aw ... sakit, Bu." Jeremy meringis, saat sebuah sapu mendarat di kepalanya."Jaga ucapanmu, Jemz. Kau tidak lihat, pria itu duduk di kursi tamu?!" Ibu Jeremy memelototi anaknya itu."Ups!" Jeremy menutup mulutnya, saat menoleh dan mendapati Rai yang tengah menatapnya sangar."Hei, Bro. Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih bisa merasakan denyut jantungmu?" Jeremy masih saja bercanda, kemudi
Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Natalie, saat ia tengah berada di sebuah cafe sore ini."Perempuan laknat! Berani sekali kau mendekati suamiku! Kau pikir siapa dirimu! Beraninya kau menggoda suamiku!" Tak cukup puas, wanita itu kemudian memaki Natalie.Natalie hanya mengelus pipinya, sambil menyeringai ke arah wanita yang baru saja menamparnya."Kembalikan harta yang telah diberikan suamiku padamu!" Wanita itu kembali merendahkan Natalie."Hei, Nona! Apa kau sadar yang kau lakukan?" Natalie memandang wanita itu dengan sinis."Aku sangat sadar! Hei semuanya ... dengarlah! Wanita ini adalah pelakor! Dia suka merayu lelaki yang telah bersuami!" Wanita itu lalu berteriak, sembari menunjuk-nunjuk Natalie, membuat beberapa orang di dalam cafe menatap ke arah mereka.Natalie masih dengan santai menanggapinya, sesekali mencemooh wanita di hadapannya."Cih! Lihatlah wanita ini. Mengatakan wanita lain penggoda
"Natalie ... buka pintunya, Natalie!" Suara ketukan terus terdengar dari balik pintu.Sementara Natalie masih terlihat tenang, mendandani dirinya di depan cermin."Natalie ... apa kau dengar aku? Kumohon buka pintunya!" Suara itu terdengar memelas. Namun tak cukup membuat Natalie merasa iba, malah membuatnya jijik."Natalie ... please! Aku akan segera membawa Celine ke hadapanmu! Aku akan membuat dia berlutut meminta maaf padamu! Kumohon, buka pintunya!" Suara Rio terdengar serak."Cih! Merepotkan!" Natalie mencibir."Huh ... baiklah. Mari kita tes kemampuan aktingku!" Natalie berjalan menuju sebuah rak kosmetik. Ia mengambil eyeshadow, lalu mulai melukis wajahnya. Sentuhan terakhir, ia memakai tetes mata, supaya terlihat seperti orang menangis hingga mata membengkak.Tak lama kemudian, ia membuka pintu."Natalie ...." Terlihatlah wajah Rio yang cemas. "Kau baik-baik saja?" tanyanya kemudian."Rio ...." Tanpa segan, Natalie m
Hari ini Rio dan Natalie sedang berjalan-jalan di sebuah mall untuk berbelanja keperluan harian Natalie. Mulai hari ini ia akan tinggal di kediaman Rio dan Celine. Rio mengajaknya tinggal bersama usai keributan yang dilakukan Celine kemarin. Rio mengatakan bahwa itu adalah bentuk kompensasi, sekaligus hukuman untuk Celine."Mulai besok, Natalie akan tinggal di rumahku!" tegas Rio kemarin, di tengah-tengah tangisan Celine."Tidak! Kau tidak bisa melakukan itu, Rio!" Celine tak terima."Bukankah aku sudah memperingatkanmu! Jika kau menyakiti Natalie sekali lagi, kau akan menerima akibatnya. Seharusnya kau bersyukur, berkat Natalie kau tidak jadi kuceraikan," cerca Rio."Sudahlah, Rio. Celine tidak salah. Aku lah yang salah. Maafkan aku!" Seperti biasa, Natalie berpura-pura mengalah."Tidak, Natalie. Seharusnya aku mengenalmu lebih dulu, bukan wanita ini!" Rio menunjuk ke arah Celine yang masih tersungkur di lantai."Baiklah-baiklah! Tida
Natalie tiba di sebuah rumah yang terbilang mewah. Tanpa segan Natalie langsung masuk, karena pagar yang tak terkunci. Sampai di depan pintu, Natalie mulai menekan bel.Tak ada tanda-tanda tuan rumah akan membuka pintu, hingga Natalie mengulang perbuatannya untuk yang keempat kalinya.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Natalie menangkap wajah tak asing di balik pintu."Kau!" Wanita itu mengarahkan telunjuknya pada Natalie, dengan suara yang penuh tekanan emosi.Natalie hanya tersenyum menghadapi wanita itu."Jangan bertanya. Bukankan Rio sudah memberitahumu untuk bersiap-siap menyambutku, Celine?" Natalie memanas-manasi Celine."Ini tidak akan lama, Natalie. Aku pastikan Rio akan melihat wajah aslimu!" Celine mengancam."Oh ... aku akan menunggu dengan senang hati, Celine. Karena melihat musuh hancur tanpa perlawanan sangat tidak seru!" tantang Natalie, lalu dengan sombong menabrak tubuh Celine."Awas kau, Nata
Natalie kecil masih diam, hanya terus memperhatikan Laila yang mengeluarkan minuman dari tasnya, lalu mulai meneguk air mineral itu."Aku ingin melakukan pekerjaan sepertimu." Natalie memberanikan diri mengungkapkan keinginannya.Byur.Air menyembur keluar dari mulut Laila."Uhuk-uhuk-uhuk ...." Karena terkejut, Laila sampai terbatuk-batuk."Apa katamu?" Laila memastikan pendengarannya."Aku ingin sepertimu. Kau keren, ketika menghajar om gendut itu," ucap Natalie polos."Hahaha ... keren katamu? Kau bahkan tak tahu perjuangan seperti apa yang kulakukan hingga bisa seperti ini." Laila tertawa menanggapi ucapan gadis kecil di hadapannya.Natalie diam. Ia memang tak mengerti apa-apa saat ini. Tapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara melindungi diri. Sesaat Laila menatap ke arah gadis kecil di hadapannya. Ada rasa iba mengingat masa kecilnya hampir mirip dengan yang dialami gadis ini.Dia menghela napas panjang, la