"Anak ini belum dijemput, ya, Bu? Sudah sore menjelang maghrib, lho, ini, Bu," ujar Marvin yang saat itu hendak pulang.
Hana memandangi langit yang sudah mulai senja. Dan benar saja, hari sudah mulai sedikit gelap dan dia belum pulang juga.
"Iya, Pak. Sebentar saya coba hubungi mamanya Sela. Tadi Beliau bilang kalau memang terlambat," kata Hana.
"Ya Allah ... ponselku mati. Gimana ini?" gumam Hana yang baru sadar.
"Ada apa, Bu Hana? Ada masalahkah?" tanya Marvin yang melihat Hana kebingungan.
"Ponsel saya baterainy habis, Pak. Padahal nomor dari Mama Sela ini ada di sana. Biar saya bawa pulang dulu saja Sela, Pak. Nanti biar saya kabari mamanya kalau sampai di rumah."
"Bu Hana tahu alamat rumah anak ini? Kalau tahu, biar saya antar saja. Gimana?" Marvin menawarkan bantuan.
"Tahu, Pak. Tapi, apa tidak merepotkan, Pak?" balas Hana.
"Gak mau, Bu Gulu, Cela takut," rengek Sela tiba-tiba.
Wajar saja jika Sela takut. Marvin baru pertama kali ke yayasan itu dan anak-anak belum banyak yang tahu.
"Sela, Sayang ... kenapa takut? Ini Pak Marvin, guru Sela juga. Jangan takut, ya, Sayang!"
ucap Hana sambil berjongkok agar tingginya setara dengan Sela.
"Cela takut, Bu. Cela gak mau!" Tiba-tiba Sela menangis dengan bahasa khas anak kecil yang belum fasih.
Wajah Marvin memang belum familiar di wajah anak-anak, sehingga ketakutan Sela bisa dimaklumi. Apalagi di sekolah dan di rumah, anak-anak memang diajarkan untuk tidak mudah percaya dengan orang asing.
"Ibu Hana ikut saja kalau begitu naik mobil saya. Kasihan Sela, Bu," usul Marvin memberi solusi.
"Saya bawa motor, Pak. Biar saya saja yang mengantar Sela," tolak Hana halus.
"Tapi, Bu —"
"Gak apa-apa, Pak, saya bisa sendiri. Terima kasih atas tawarannya."
Hana meninggalkan Marvin yang diam melihatnya mengambil motor. Dia memboncengkan Sela di depan.
Rumah orang tua Sela tidak terlalu jauh dari sekolahan dan bisa lewat jalur dalam. Itulah yang membuat Hana mau mengantarkan anak berusia empat tahun itu.
"Sela, Ibu Hana antar mau, kan? Pasti Mama masih sibuk kerja, jadi tidak bisa jemput Sela," ucapnya pada bocah itu.
"Iya, Bu Gulu," jawab Sela polos.
"Siap, Anak Cantik?" canda Hana saat Sela sudah di atas motor. Sela pun mengangguk.
"Pegangan yang kuat, ya, Sayang. Ayo kita berangkat!" kata Hana bersemangat.
Hana menyusuri jalan kecil bersama Sela. Dia bisa melupakan masalahnya sejenak dengan bersama anak perempuan itu.
"Yey, kita sampai!" seru Hana sambil menurunkan Sela di depan rumahnya.
"Ini rumah Sela, kan? Yuk masuk!" Hana menggandeng Sela dengan riang gembira.
Dia mengetuk pintu rumah orang tua Sela. Cukup lama mereka berdua menunggu di luar. Hingga akhirnya, seorang ibu yang sudah berumur membukakan pintu.
"Assalamualaikum, Bu. Mohon maaf, apa benar ini rumah orang tua Sela? Ini saya antar Sela pulang karena dia belum dijemput," tanya Hana dengan sopan.
"Waalaikumsalam. Iya benar," jawab Ibu itu yang ternyata nenek Sela
"Ya Allah ... Sela! Maaf, ya, Nak, sampai-sampai semuanya lupa sama kamu. Terima kasih, ya, Ibu Guru, sudah mengantarkan Sela ke rumah. Mama Sela lagi di rumah sakit karena papanya Sela kecelakaan. Mungkin karena panik jadi lupa mengabari ke sekolah," sambung nenek Sela.
"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Saya turut prihatin atas musibah orang tuanya Sela, Bu. Semoga Ayah dari Sela cepat sembuh. Iya, Bu, tidak apa-apa. Kebetulan memang ponsel saya baterainya habis. Mungkin Mama Sela sudah menghubungi saya sebelumnya tapi saya tidak tahu karena ponsel saya mati," ucap Hana panjang lebar.
Setelah berbasa-basi sebentar, Hana berpamitan kepada nenek Sela karena sudah adzan maghrib dan waktunya dia pulang.
***
Saat perjalanan pulang, Hana merasakan ada seseorang yang mengikutinya. Berulang kali Hana melihat ke kaca spion. Ada satu orang pakai motor yang terus mengikutinya dari belakang.
Awalnya Hana mengira kalau orang itu hanya pengguna jalan biasa. Tapi, saat Hana mencoba untuk menambah kecepatan, orang itu juga menambah kecepatan.
"Ya Allah, siapa dia? Kenapa dia mengikutiku terus? Lindungi Hamba, Ya Allah," doa Hana dalam hati.
Tubuhnya gemetar dengan keringat dingin yang mulai membasahi bajunya. Dia takut jika yang mengikutinya adalah begal. Akhir-akhir ini memang banyak sekali berita soal begal yang berseliweran di berbagai media.
Karena tak kunjung bisa lepas dari penguntit itu, Hana memutuskan untuk belok ke sebuah masjid yang dia temui di jalan. Selain untuk mencari aman, Hana juga sekalian menunaikan ibadah sholat maghrib.
"Alhamdulillah, Ya Allah, aku temukan masjid ini. Semoga orang itu segera pergi dan tidak mengikutiku lagi," gumam Hana saat memarkirkan motornya.
Penguntit Hana masih berada tak jauh dari masjid sambil memperhatikan gerak-gerik Hana dan Hana tahu itu. Beruntung, saat itu di dalam masjid banyak sekali jama'ah.
Hana mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Selesai sholat, Hana dengan khusyuk memanjatkan doa kepada Allah agar dia diberikan kekuatan dan keikhlasan hati.
Selesai sholat, Hana duduk di serambi masjid sambil memperhatikan jalan. Ternyata penguntit itu masih ada di sana. Hana tak bisa melihat wajah orang itu karena memakai masker dan juga helm hitam. Bahkan Hana tak tahu penguntit itu laki-laki atau perempuan.
"Kenapa dia belum pergi dari sana, sih? Jam berapa ini? Pasti Mas Adam mencariku," gumam Hana seorang diri.
Tiba-tiba, Hana dikejutkan dengan suara seseorang yang memanggil dirinya dari arah belakang.
"Hana?"
"Hana?! Benar, kah, itu kamu, Bu Hana?" Hana menoleh ke arah belakang. Terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih di sana. Hana pun sama terkejutnya dengan laki-laki itu. Tak disangka, mereka bertemu lagi di masjid. "Pak Marvin? Kenapa bisa ada di sini, Pak?" celetuk Hana yang mulai berdiri dari duduknya. "Harusnya saya yang tanya kenapa Bu Hana masih ada di sini? Anak yang tadi sudah diantar pulang?" tanya balik Marvin. Ketampanannya makin terpancar karena dia memakai peci. "Sudah, Pak. Ini saya mampir untuk sholat maghrib dulu," jawab Hana sopan. Mereka berdua berdiri agak berjauhan. Tak pantas rasanya jika ada orang yang melihat karena bisa timbul fitnah. "Lalu, kenapa Bu Hana tidak langsung pulang? Ini sudah mau masuk waktu sholat isya' lho." Marvin melihat jam yang melingkar di tangannya. "Itu anu, Pak, saya —" Hana kelihatan gugup sekali menjawab pertanyaan dari Marvin.Apakah dia harus jujur kalau dia takut pulang karena ada orang yang mengikutinya? Ju
Adam berkacak pinggang saat Hana masuk ke dalam rumah. Terlihat sekali amarah di wajah suami Hana itu. "Benar kataku, 'kan, Mas, kalau Mbak Hana itu pasti lagi main sama laki-laki. Sampai-sampai, HP-nya aja gak aktif," celetuk Alya memancing kemelut.Hana tak mengerti maksud ucapan dari Alya. Jadi, dia tak menunjukkan sikap apapun. Bahkan, Hana terlihat sangat tenang. "Maaf, Mas, Hana pulang terlambat. Ada —""Jadi seperti ini balasan kamu padaku, Han? Kamu marah aku poligami, lalu kamu juga sesuka hati bersama laki-laki lain?" Suara tinggi Adam membuat Hana terdiam. Dia mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari mulut suaminya itu. "Mau kamu apa? Mau cerai? Hah?" sambung Adam lagi."Astaghfirullah al'adzim," lirih Hana tanpa mau membuat pembelaan.Hatinya sakit lagi. Untuk kedua kalinya, Adam membentak dirinya dihadapan Alya bahkan terucap kata-kata yang seharusnya tidak dikatakan oleh Adam. Hana tak mengindahkan panggilan Adam, dia terus berjalan masuk ke dalam kamar.Tak tah
Hana memandang punggung abahnya dari belakang. Ya, Beliau tidak tahu kalau datang karena posisi mereka berlawanan. Setelah beberapa detik, Hana mengucap salam. "Assalamualaikum ..." seru Hana dengan mengukir senyum di bibir. "Waalaikumsalam!" Abah Hasan menoleh dan melihat putri semata wayangnya berdiri tepat dibelakangnya. "Hana? Ini beneran kamu, Nduk?" tanya Beliau sambil menghentikan aktivitasnya. "Iya, Bah, ini Hana. Hana kangen, Bah," sahut Hana sambil menghampiri Abah Hasan dan mencium punggung tangan Beliau. "Ya Allah, Nduk ... Abah juga kangen. Bagaimana kabarmu? Sehat, kan? Kamu datang sama suamimu?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Abah Hasan. Hana menggeleng pelan. "Mas Adam lagi ada sibuk, Bah. Tapi Hana sudah izin kok mau ke sini. "Hem begitu, ya. Tapi kalian gak ada apa-apa, kan? Usaha suamimu juga lancar?" Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Hana. Jika boleh jujur, Hana sekarang sedang berada di posisi yang tidak mengenakkan. Adam yang tiba-tiba
Adam tak bisa berpikir jernih. Dia sangat mengkhawatirkan Hana. Ponsel Hana tak bisa dihubungi dan itu membuat dirinya tambah khawatir."Sudahlah, Mas. Mbak Hana itu sudah besar. Nanti dia juga pulang ke sini," celetuk Alya lagi ketika mereka tengah makan bersama. Adam tak sedikitpun menanggapi ucapan istri keduanya. Dia terus saja menyalahkan diri sendiri karena kecerobohannya semalam."Bi ... apa benar Bibi tadi tidak lihat Bu Hana?" tanya Adam pada asisten rumah tangga yang bernama Bi Imah."Tidak, Pak. Tadi, waktu Bibi tiba di rumah, Ibu sudah tidak ada. Bibi kira memang Ibu sedang keluar, Pak. Memangnya Ibu tidak pamit sama Bapak?" jawab Bi Imah yang saat itu tengah membersihkan meja makan bekas sarapan majikannya. "Tidak, Bi. Kira-kira kemana perginya Ibu, ya, Bi?" tanya Adam lagi. Terlihat kesedihan mendalam yang dirasakannya kini. Dan Bi Imah paham akan hal itu."Kasihan Pak Adam dan Bu Hana. Kenapa Pak Adam bisa menikahi perempuan itu, sih? Apa Pak Adam diguna-guna?" batin
"Apa Hana ada di rumah Abah? Kalau itu benar, berarti Hana sudah cerita ke Abah soal Alya. Aku harus apa?" gumam Adam yang tampak kebingungan. Adam sangat menghormati ayah mertuanya itu. Beliau begitu baik kepada dirinya. Dengan masa lalunya yang begitu buruk, Abah Hasan menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan, Abah Hasan tak segan-segan merangkul Adam ke arah yang lebih baik lagi. "Kenapa, Mas? Memangnya siapa yang telepon?" tanya Alya yang kebetulan mendengar Adam sedang bicara dengan seseorang di telepon. "Bukan urusanmu. Oh iya, hari ini aku tidak akan pulang. Nanti kamu di sini biar ditemani Bi Imah. Biar nanti aku bicara sama Bi Imah," ucap Adam. "Lho, memangnya Mas Adam mau kemana? Mas! Mas Adam!" Alya mengikuti Adam yang pergi ke dapur mencari Bi Imah. Langkah Alya sedikit terhambat karena perutnya yang besar. Saat Alya sampai di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur, langkah Alya terhenti karena mendengar percakapan antara Adam dan juga Bi Imah. Alya memutus
Selama bekerja, Adam tak bisa fokus karena terus memikirkan Hana dan segala kemungkinan yang akan dia hadapi jika dia ke rumah mertuanya. "Pak, Bapak salah tanda tangan," ucap salah satu karyawannya di bidang keuangan. Sebuah map yang berisi laporan keuangan disodorkan oleh karyawan itu. Adam memang punya beberapa karyawan karena dia tidak bisa menghandlenya sendiri. Punya banyak agen dan reseller membuatnya harus profesional dalam menjalankan bisnisnya. "Iya,kah? Oh iya. Maaf, saya tidak fokus," sahut Adam setelah melihat dokumen itu. Adam kemudian menandatangani kembali dokumen itu di tempat yang seharusnya. Setelah itu, Adam memutuskan untuk rehat sejenak dengan meminum segelas kopi. Dia menyandarkan kepalanya dengan mata tertutup. Akibat ulahnya sendiri, kini dia harus menanggung semua beban pikiran ini. Adam tak mau kehilangan Hana dan juga tidak mungkin membebaskan Alya karena dia sekarang juga menjadi tanggung jawabnya. "Ya Allah, aku harus apa?!" keluh Adam sambil mengu
"Sekarang maumu apa, Alya? Kenapa kamu sampai nekat pergi dari rumah? Jika kamu ada apa-apa di jalan bagaimana?" ucap Adam dengan nada kesal. "Aku mau ikut Mas Adam cari Mbak Hana. Jika aku ditinggal di rumah sama Bi Imah saja, aku mending pergi dari sini. Gak ada gunanya juga, kan? Toh aku ini cuma istri siri," sahut Alya dengan memalingkan muka. "Ya Allah, Al, kenapa kamu gak ngerti juga, sih? Aku harus jelaskan apa lagi sama kamu, Al? Tolonglah, Al, jangan seperti ini!" Kedua tangan Adam menangkup kedua tangannya di depan Alya. Bahkan, Adam tak segan-segan duduk bersimpuh di depan Alya. Alya tampak tak peduli dengan yang dilakukan Adam itu. Dia masih merasa hadirnya di rumah Adam tidaklah diharapkan. Dia hanya sebagai biang kerok masalah antara Adam dan juga Hana. "Jujur sama Alya. Mas Adam mau kemana?" ucap Alya masih dengan muka berpaling. "Allahu Akbar! Masih yang itu, Al? Oke, aku jujur. Sore ini, Mas mau nyusul Hana ke rumah orang tuanya. Puas, kan?" jawab Adam. Pada akhi
Saat melintas di daerah tempat tinggalnya dulu, tiba-tiba saja terlintas sebuah ide dari Alya untuk mengulur waktu. "Mas ..." panggil Alya dengan suara sedikit dibuat-buat. "Ada apa, Al? Adakah yang sakit? Perlu kita berhenti di klinik?" jawab Adam yang khawatir mendengar suara lemas Alya. Adam langsung menepikan mobilnya di tepi jalan dan menyentuh badan Alya. Alya menggeleng pelan. "Gak usah, Mas. Aku takut jika nantinya malah kamu sampai di rumah orang tua Mbak Hana jadi terlambat gara-gara aku. Aku hanya pusing sedikit kok, gak perlu khawatir," sahut Alya lirih. Sebuah akting yang bagus untuk seorang Alya. Dia sangat lihai dalam hal itu. Tentu saja tak sulit bagi Alya melakukan itu karena dia sudah sering melakukannya. "Gak bisa gitu dong, Al. Kita istirahat dulu saja kalau begitu. Aku takut kamu dan anak ini kenapa-napa." Adam terlihat sangat khawatir melihat tubuh Alya yang lemas. "Maaf, ya, Mas. Harusnya aku tadi mendengarkan kamu untuk tetap tinggal di rumah. Sekarang,