Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membangunkan Hana di malam hari. Hana memang tidur lebih awal dari biasanya karena dia kelelahan bekerja. Saat melirik ke arah jam dinding, jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam."Siapa yang bertamu malam-malam begini?" gumam Hana sambil menyingkap selimut yang menutup tubuhnya. Hana sedang berada di rumah seorang diri karena Adam sedang bekerja di luar kota satu minggu untuk urusan bisnis barunya. Terlihat sosok laki-laki yang sangat dia kenal dibalik pintu. "Lho bukannya itu Mas Adam?" gumam Hana yang mengintip dari balik tirai. Hana Salsabila menikah dengan Adam dua tahun lamanya. Malang nasib Hana, setelah melahirkan, Hana mengalami komplikasi yang menyebabkan dokter terpaksa memotong salah satu saluran tuba falopi milik Hana. Harapan Hana untuk hamil lagi pun semakin kecil dengan satu tuba falopi. Tapi, hal itu tidak lantas membuat Hana terpuruk terus menerus karena ada anak yang harus dia besarkan. Kanaya. Nama anak perempuan Hana dan A
"Ceraikan aku, Mas," lirih Hana tapi masih jelas terdengar di telinga Adam."Yes! Inilah yang aku harapkan," ucap Alya sangat pelan hingga tak dapat terdengar oleh Adam dan Hana.Kalimat yang tak pernah dibayangkan akan dia ucapkan pada Adam. Hana terpaksa melakukannya karena dia tidak siap dipoligami. Hana sekuat hati menahan agar air matanya tidak keluar. Walaupun di dalam hatinya, dia hancur berkeping-keping. Belum lama dia sembuh dari rasa sakit akibat operasi dan kehilangan anak, kini luka itu kembali mengangga akibat perbuatan Adam suaminya."Tidak akan! Sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istri pertamaku," balas Adam tegas. "Kenapa kamu begitu egois, Mas? Aku sangat terluka oleh sikapmu ini," ucap Hana menahan tangis. "Aku masih sangat mencintaimu, Hana. Dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun," sahut Adam. Hana pun mencebik, dia tidak percaya dengan ucapan Adam. Buktinya, Adam tega melakukan pernikahan lagi tanpa berterus terang kepadanya. "Turuti saja kemau
Setelah mencium kening Alya, Adam keluar dari kamar Alya dan menutup pintunya secara perlahan. Ya, Adam hanya bisa sebatas mencium kening dan juga memegang tangan Alya. Untuk selebihnya, Adam tahu aturan. Dia menikahi Alya hanya agar nama baik keluarga Alya tidak tercoreng karena Alya hamil di luar nikah. Sesuai dengan ketentuan agama Islam, nantinya jika bayi itu lahir, mereka harus mengulang ijab dan qobul. Adam berjalan menuju ke kamar miliknya dan Hana. Dia menata hati untuk memberikan penjelasan kepada Hana sejelas-jelasnya agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman. Tok! Tok! Tok!"Hana ... Sayang, tolong buka pintunya, Han, aku mau bicara. Kamu jangan salah paham dulu. Tolong dengarkan penjelasanku dulu, Han," ujar Adam sembari mengetuk pintu kamarnya. Adam terus saja membujuk Hana agar mau membukakan pintu. Adam pun juga khawatir dengan kondisi Hana. Dia memang salah karena sejak awal tidak jujur dengan Hana soal masalah ini. Adam tahu betul sifat Hana. Hati Hana sangatlah sen
PYAAARRRSebuah gelas kaca jatuh dan serpihannya berantakan di lantai. Dan Alya pun terkena serpihan kaca itu."AAWW!" teriak Alya sangat kencang. Karena terkejut mendengar teriak Alya, Hana langsung menghampirinya dan ternyata kaki Alya berdarah terkena pecahan kaca. Di waktu yang sama, Adam juga buru-buru menghampiri Alya."Kamu kenapa, Al?" tanya Adam sambil menuntun Alya ke kursi.Dengan sangat hati-hati, Adam membersihkan luka dan mengobatinya. Hal itu pun di saksikan oleh Hana. Jangan tanya lagi bagaimana sakitnya. "Kenapa bisa jadi begini, sih, Al? Kamu butuh apa?" tanya Adam lagi setelah selesai memberi obat pada luka Alya."Alya minta tolong Mbak Hana buatkan susu, Mas. Tapi, dia menolaknya. Jadilah aku buat sendiri. Aku gak sengaja menyenggol gelas itu, Mas," jelas Alya sambil menangis. Alya berpura-pura di depan Adam. "Apa benar kamu gak mau buatkan susu untuk Alya, Han?" tanya Adam yang masih memakai sarung dan peci. Seperti biasanya, selesai sholat subuh, Adam akan me
Laki-laki tampan dan gagah itu duduk bersebelahan dengan Pak Burhan. Acara pun segera dimulai setelah kedatangan laki-laki itu. Saat di tengah acara, tiba-tiba Luna menyenggol lengan Hana."Han! Hana ..." ucap Luna lirih. "Ada apa, sih, Lun? Dengerin tuh Pak Burhan lagi bicara," sahut Hana lirih juga. Dia tengah menyimak isi pidato Pak Burhan yang berisi perpisahan. "Laki-laki itu sejak tadi melihatmu terus. Kamu gak merasa apa?" ucap Luna sambil melirik ke arah laki-laki yang ternyata mereka tunggu yaitu Pak Marvin. "Gak usah ngaco kamu, Lun. Mana? Gak ada tuh!" Ketika Hana mencoba melihat Pak Marvin, laki-laki itu membuang muka dan sepertinya salah tingkah. "Iya beneran, Han. Aku dari tadi perhatikan dia. Jangan-jangan naksir kamu, Han?" terka Luna."Ehm ... ehm ..." Pak Burhan berdehem sambil memperhatikan Luna dan Hana. "Apa yang ingin Ibu Luna dan Ibu Hana sampaikan? Sejak tadi saya perhatikan mengobrol terus," ucap Pak Burhan. Hana dan Luna m*ti gaya. Mereka saling berpand
"Anak ini belum dijemput, ya, Bu? Sudah sore menjelang maghrib, lho, ini, Bu," ujar Marvin yang saat itu hendak pulang. Hana memandangi langit yang sudah mulai senja. Dan benar saja, hari sudah mulai sedikit gelap dan dia belum pulang juga."Iya, Pak. Sebentar saya coba hubungi mamanya Sela. Tadi Beliau bilang kalau memang terlambat," kata Hana. "Ya Allah ... ponselku mati. Gimana ini?" gumam Hana yang baru sadar. "Ada apa, Bu Hana? Ada masalahkah?" tanya Marvin yang melihat Hana kebingungan. "Ponsel saya baterainy habis, Pak. Padahal nomor dari Mama Sela ini ada di sana. Biar saya bawa pulang dulu saja Sela, Pak. Nanti biar saya kabari mamanya kalau sampai di rumah.""Bu Hana tahu alamat rumah anak ini? Kalau tahu, biar saya antar saja. Gimana?" Marvin menawarkan bantuan. "Tahu, Pak. Tapi, apa tidak merepotkan, Pak?" balas Hana."Gak mau, Bu Gulu, Cela takut," rengek Sela tiba-tiba. Wajar saja jika Sela takut. Marvin baru pertama kali ke yayasan itu dan anak-anak belum banyak y