Share

Dua Sisi Kehidupan

"Bahagia?" Nania mengulang kata itu dengan nada terkejut. "Bahagia? Saya tak paham dengan pertanyaan anda."

Kebahagiaan bagi Nania adalah hal samar yang hampir tak pernah dia rasakan. Hidupnya terlalu sulit ketika dia memutuskan untuk mulai menjadi istri dari seorang Dono.

Kehidupan Nania semakin tak karuan saat wanita itu memutuskan untuk kawin lari dengan Dono saat dia masih berada di kelas satu SMP. Membayangkan hari lalu dimana Nania membuat keputusan terburuk sepanjang hidupnya itu membuat Nania menyesal hingga saat ini.

Dan sekarang, di depan Nania, seorang pengusaha kaya menanyakan apakah Nania bahagia?

Nania tersenyum pahit dan bertanya-tanya jawaban apa yang terbaik untuk dia katakan?

"Boleh saya bertanya juga kepada anda?" Nania tak berani menatap Brata, tapi dia tahu jika pria itu tak lepas dari tubuhnya. "Apakah anda bahagia dengan hidup yang anda jalani?"

Brata tersenyum nyinyir. "Yah, saya punya harta, saya tak kelaparan, dan saya selalu mendapat apa yang saya mau." Jawaban Brata mendapat respon dingin dari Nania.

"Saya tahu anda punya segalanya, tapi, apakah anda bahagia?"

Kediaman mengisi keduanya. Nania dan Brata sama-sama membaca apa yang mereka pikirkan dan tak siap dengan jawaban yang mereka sendiri mengetahuinya.

"Maaf, saya hanya mencoba mencari kesamaan di antara kita, tapi rasanya, saya sudah bertindak terlalu berlebihan."

Nania undur diri begitu saja dari hadapan Brata, sementara Brata tersenyum dengan siluet Nania yang menghilang.

"Wanita yang menarik," gumam Brata.

***

Dono berjalan mendekati Nania dan merenggut apa yang wanita itu bawa. Dia tampak bahagia tanpa tahu jika Nania gelisah setengah mati. Wanita itu gelisah pada apa yang baru ia alami bersama pria aneh bernama Brata.

"Kalau kita dapat uang sebanyak ini, kamu gak perlu lagi keluar ke jalan malam-malam. Kamu bisa buka salon aja, atau justru tidur di rumah sampai waktunya menemui boss itu lagi." Dono seperti anak-anak yang hanya tahu kesenangan atas dirinya sendiri.

"Tidur?" Nania bergumam.

"Aku tak tahu apa bisa tidur setelah ini. Bayangan pria aneh itu akan jadi mimpi di sepanjang tidurku."

Yang tak Nania ketahui, Nania tanpa sadar merasakan ketertarikan setiap kali mengingat sosok loyal si pemberi uang.

***

"Tumben kamu pulang siang, Brata?" Seorang wanita dengan rambut tertata menuruni tangga rumah mewahnya. Dia adalah tipikal wanita yang terlihat luar biasa meski hanya mengenakan baju murah. Orang-orang di sekitarnya memanggil wanita itu dengan nama Nyonya Martha dan bersumpah tak mau terlibat masalah dengannya, karena Ibu dari Brata itu gemar melenyapkan setiap nama yang tidak ia suka.

Brata sendiri hanya mampu melirik tanpa menjawab. Ada hal yang membuatnya tak fokus bekerja dan memilih pulang, dan dia tak mau Ibunya tahu tentang hal itu.

"Tadi Evani datang dan menitipkan sesuatu untukmu. Ibu letakkan barangnya di atas ranjang."

Brata terdiam. Bayangan Nania yang semula mengisi otaknya tiba-tiba pudar setelah nama Evani disebut. Nama seorang wanita dengan kelas yang sama dengan Brata dan ditetapkan sebagai calon istri setelah beberapa kali mereka bertemu.

Barang yang Evani berikan dibungkus kantung dengan cetakan logo dari brand terkenal. Sudah dipastikan wanita itu habis berjalan-jalan hingga mengingat Brata sebagai objek pemberiannya.

Evani memang sempurna sebagai seorang wanita, tapi seperti wanita yang lain, hati Brata tak memiliki rasa sedikit pun.

Tangan Brata menelusuri isi dari kantung kertas itu dan mendapati sebuah dasi berwarna maroon di dalamnya. Dasi itu lebih bernilai ketimbang sosok Evani sendiri yang ternyata bersembunyi di sisi lain kamar Brata dan bergerak untuk meraba tubuh Brata dengan jari lentiknya.

"Kau di sini?" Brata bertanya dan melepaskan jari-jari Evani yang berkuku mahal, tapi gadis itu terus menggerayanginya dan bahkan menangkap wajah Brata untuk sekedar diberi satu kecupan, yang tentu saja segera Brata hentikan pergerakannya.

"Aku merindukanmu, sayang." Evani mendekati Brata dan membuat pria itu limbung di ranjang. Kesempatan itu membuat Evani semakin nakal dan bahkan merayap mendekatinya.

Inilah yang membuat Brata tak terlalu menempatkan Evani sebagai prioritas seperti halnya semua wanita di dekatnya. Wanita-wanita itu dan Evani terlalu agresif dan tak ragu menggunakan tubuh mereka untuk merayu.

Berbeda dengan Nania. Walau Nania tak lebih dari wanita tunasusila, tapi air mata yang luruh di wajah wanita itu membuat Brata semakin yakin kalau dia berbeda, kalau Nania sebenarnya jenis wanita lain yang tengah terperangkap takdir kejam hingga mau melakukan pekerjaan yang mengerikan.

"Bisa kau lepaskan aku?" Tangan kekar Brata menangkap seluruh wajah Evani dan mendorongnya menjauh. Dia sangat tak bernafsu dan butuh jarak dari sisi Evani untuk bernafas.

Evani mendecak. Penolakan ini bukanlah yang pertama kali, dan walau pun terganggu, Evani tak bisa marah karena dia tak mau Brata hilang rasa dengannya.

"Aku mendapat berita kalau kau membawa seorang wanita ke perusahaan. Siapa dia?" Evani beralih ke cermin panjang di sudut ruangan dan membenahi letak kemejanya yang sengaja tak diberi kancing. "Kukira kau sedang berhasrat, tapi bukannya memanggilku, kau malah memanggil pelacur."

"Siapa yang memberi tahumu?"

Evani menengok dan menilai ekspresi kaku di wajah Brata. "Sekertarismu. Kenapa? Kau akan memecatnya?" Brata tak bicara. Dia benar-benar tak bernafsu bahkan untuk sekedar marah. "Aku tak menghalangimu berkencan dengan banyak wanita, sayang. Hanya saja, tolong perhatikan reputasimu. Kau tak bisa membawa gadis dari jalanan ke ruang kerja. Itu sangat tak profesional."

Suara Evani hanya bagai dengung yang tak Brata perhatikan. Dari pada mendengarkan wanita itu, Brata justru memasuki kamar mandi dan mencoba menenangkan diri dengan bantuan air hangat. Sampai Evani muncul ke dalam ruang shower dengan tak mengenakan satu pun benang pun dan masih berusaha menggoda Brata.

"St ... Aku hanya sedang membutuhkanmu. Tak lebih." Evani menunduk dan berusaha bersikap seseksi mungkin.

Dan Brata berpasrah sembari menunggu Evani bosan dengan dirinya.

***

"Mas, kenapa Mas gak beli minyak dan beras? Stok makanan kita sudah habis."

Nania tak berani memandang wajah Dono saat dia bicara. Dia tengah bingung karena puluhan juta uang yang ia dapat dari Brata seperti tak berbekas.

"Sudah kubelikan ponsel baru dan bayar hutang dengan Pak Asep. Kamu kan bisa dapat uang lagi kalau bertemu dengan si boss kaya itu."

Nania sebenarnya kesal. Keuangan rumah tangganya tak pernah membaik, bahkan ketika dihujani dengan banyak rejeki. Tangan Dono terlalu mudah menghamburkan uang, selain itu, dia juga berhutang pada banyak rentenir demi menutupi gaya hidupnya.

Bodohnya Nania, dia hanya bisa kembali ke kamarnya, mengunci pintu, dan menutup mata demi menghilangkan rasa lapar yang ia tahan sejak kemarin malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status