"Apa kau sedang mencari kambing hitam, Tuan?" Andrina mengulang pertanyaannya. "Tidak!""Lalu?" tanya wanita itu lagi dengan menaikkan sebelah alisnya."Ini semua gara-gara kau menunjukkan lekuk tubuhmu kepadaku," ujar Gavin dengan nada rendah.Baik Andrina maupun Erick sama-sama menganga tak percaya mendengar pernyataan Gavin. Kedua orang itu tampak sibuk dengan pikiran masing-masing."Apa Tuan Gavin mulai tergoda denganku? Itu artinya ...," batin Andrina menyeringai senang."Apa Gavin mulai sembuh? Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Gavin tidak boleh seperti itu, dia harus tetap seperti ini," pikir Erick gelisah."Apa yang telah kau lakukan, Andrina?" Erick bertanya penuh geram pada gadis di sampingnya. Matanya melotot tajam seolah ingin menguliti tubuh wanita itu hidup-hidup."Tidak ada. Aku hanya menjalankan tugas dari Nyonya Divia""Asal kau tau, Tuan Erick. Semalam, aku berhasil tidur satu ranjang dengan Tuan Gavin. Dia mendekap erat tubuhku," ucapnya dengan dibuat se-sensual mun
[Dhika, kakak belum bisa jenguk kalian tapi kakak sudah transfer uang bulanan.][Bagaimana keadaan bapak? Jauh lebih baik, 'kan? Jangan sampai telat untuk menebus obat bapak! Pastikan sesuai resep yang Kakak berikan waktu itu.][Kalian jaga diri baik-baik. Setelah pekerjaan selesai, kakak akan segera menjenguk kalian.]Andhika menghela nafas panjang setelah membaca sederet pesan yang dikirimkan sang kakak. Lebih dari dua mingguan Andrina belum menjenguk mereka, sedangkan ayahnya terus menanyakan kakaknya dengan alasan 'rindu.'"Sebenarnya, pekerjaanmu apa sih, Kak Na? Apa tidak bisa meluangkan waktu beberapa jam saja untuk menjenguk bapak?""Hei, Dhik."Andhika tersentak ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Dilihatnya, seorang pemuda seusianya mendudukkan diri di sampingnya."Gimana ada kabar?" tanya Andhika."Maka dari itu aku menemuimu, ada sesuatu yang akan kau sampaikan padamu.""Cepatlah! Tidak usah bertele-tele," ujar Dhika dengan tidak sabar."Yang kau minta waktu
''Bagaimana, Pak? Boleh 'kan aku bekerja? Aku janji tidak akan melupakan semua tugasku. Pemilik restoran memberi keringanan, waktu kerjaku hanya sampai pukul tujuh malam," ucapnya dengan harap-harap cemas.Sandi terdiam sejenak terlihat seperti memikirkan sesuatu sebelum menjawab pertanyaan putranya.''Bagaimana jika kakakmu tahu, Dhika? Dia pasti tidak akan setuju." Bukannya langsung menjawab, pria itu malah balik bertanya kepada putranya.''Aku melakukan ini diam-diam, Pak," lirihnya.''Aku tidak tega membebani Kak Na terus-menerus. Aku ingin membantu. Dengan bekerja setidaknya, aku bisa menabung untuk biaya kuliah, nanti," sambung Andhika dengan menundukkan kepala.Ada rasa nyeri menelusup di hati pria baya itu. Sandi merasa telah menjadi orang tua yang gagal untuk kedua anaknya. Kondisi tubuh yang ringkih menahan sakit membuatnya tak bisa memforsir tenaga untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dia berusaha menahan air mata agar tidak jatuh di hadapan putranya.''Baiklah," jawab Sa
''Kamu siapa? Apa saya mengenalmu?" Seorang wanita muda menatap aneh pemuda itu.''Ma-maaf, Kak. Saya kira kakak saya," jawab Andhika dengan menahan malu karena salah sasaran.Wanita itu mengangguk saja, kemudian pergi meninggalkan dirinya tanpa sepatah kata pun.''Apa wanita itu ya, yang sejak tadi aku amati? Tidak-tidak, bukan dia."'Aku yakin jika yang kulihat tadi kakakku tengah bersama seorang pria. Lalu, kemana perginya? Siapa pria itu?" Banyak pertanyaan yang berkelebat dalam benaknya.Berbagai pikiran buruk mulai bersarang benaknya. Timbul sebuah kecurigaan mengenai pekerjaan sang kakak. Namun, Andhika tak ingin ambil pusing. Dia memutuskan untuk menanyakan masalah ini ketika bertemu kakaknya nanti.----------------''Kita mau kemana,, Tuan?'' tanya Andrina dengan mengikuti langkah lebar atasannya.Gadis itu tampak terseok-seok karena pakaian yang dia pakai juga sepatu hak tinggi yang membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.''Kau ikut saja. Jangan banyak bertanya! Kau mau
"Huh, tau begini ... Ogah! Aku diajak kemari," gerutu Andrina.Dia menatap malas dua manusia sesama jenis di depannya tengah bermesraan menikmati waktu berdua. Tanpa memedulikan kehadirannya, seakan dirinya ini hanyalah sebuah manekin bernafas.Telinganya terasa panas ketika mendengar tawa kecil dari mulut Erick yang tengah bermanja dengan kekasihnya. Dia juga harus menahan mual ketika melihat mereka melakukan sesuatu yang tidak semestinya dilakukan oleh sesama pria.Terkadang, Andrina tidak habis pikir, apa untungnya menjalin hubungan seperti itu. Bukankah lebih enak menjalin hubungan dengan wanita, bisa grepe-grepe, bisa melakukan sesuatu yang memuaskan. Kalau pisang sama pisang begitu, apa mereka puas?''Eh, apa yang kupikirkan? Ya ampun, Andrina sadar ... sadar, Drina. Gara-gara dua manusia abnormal itu pikiranmu jadi tak karuan," batin gadis itu dengan memukul pelan kepala bagian samping dengan kepalan satu tangannya.''Hei, Wanita Si*lan! Kenapa kau seperti itu? Dasar aneh," te
''Permisi, Tuan-tuan ... Saya ingin memberikan ini atas pesanan seseorang yang ditujukan untuk ruangan ini."Kedatangan seorang pelayan pria mengalihkan perhatian kedua pria yang berada di ruangan tersebut. Keduanya kompak mengernyit bingung mencoba menerka-nerka apa isi di dalam kereta dorong makanan itu."Apa ini?" tanya Erick yang tidak bisa lagi membendung rasa penasaran."Apa benar di sini ada yang bernama Erikson Liem?""Iya, saya sendiri.""Ini kiriman dari penggemar Anda, Tuan," ujar pria itu seraya membuka penutup stainless pada tempat bawaannya.Baik Gavin maupun Erick sama-sama terkejut saat melihat dua botol wine mahal kesukaan mereka. Namun, Erick tak ingin ambil pusing. Dia mempercayai mentah-mentah ucapan pelayan pria itu."Letakkan saja di sini. Setelah itu kau boleh pergi," titah Erick.Si pelayan pun menurut, dia mengerjakan sesuai perintah. Setelah selesai, dia segera pamit undur diri.Andrina yang sedari tadi mengintip di balik pintu hanya terkikik sendiri. Dia seg
''Kau sangat tampan, Tuan. Tapi sayang...."Andrina memandangi wajah lelap pria yang berada di atas ranjang. Jemari lentiknya menyusuri garis wajah pria tampan itu.Wanita mana yang tidak tertarik dengan pria setampan Gavin. Dia pun sempat terpesona dengannya sejak pertama kali bertemu. Siapa yang menyangka jika pria berpostur sempurna ini mempunyai orientasi seksual yang menyimpang, bahkan tanpa rasa malu menunjukkan perilakunya secara terang-terangan.''Apa yang membuatmu seperti ini, Tuan?"''Seandainya, aku bisa membuatmu kembali normal. Dengan senang hati, aku akan membantumu. Tapi sayang ... jangankan tertarik, melirik pun tidak." Wanita itu tersenyum kecut saat mengingat usahanya selama beberapa bulan terakhir ini.''Tapi, tenang saja. Aku akan membuatmu normal dengan caraku."Andrina segera beranjak dari tempatnya, menuju lemari pakaian untuk mengambil baju misinya. Pakaian yang biasa digunakan wanita pekerja malam, kini melekat sempurna pada tubuhnya.Dia terus memandangi pant
"Apa yang kau lakukan, Andrina," teriak Gavin yang terkejut ketika melihat sang sekretaris berada pada tubuh bagian bawahnya.Pria itu menarik paksa rambut panjang itu hingga terdengar ringisan pelan dari si empunya.''Lancang kau, Andrina," geram Gavin tepat di depan wajah Andrina.''Sssh, lepas, Tuan ... Sakit," rintihnya diiringi desisan tertahan.''Siapa yang menyuruhmu?"''Tidak ada, Tuan. Inisiatif saya sendiri," jawab Andrina dengan suara tertahan.''Jangan bohong, Andrina!" Suara Gavin menggelegar di kamar itu, matanya memerah menandakan dia sedang berada pada emosi level tertinggi.''Tidak, Tuan. Saya hanya ingin membuat Anda sadar."''Awww...," pekik Andrina ketika Gavin menghempaskan kasar tubuh mungilnya ke lantai.Dia hanya bisa menahan ngilu pada area panta* dan lengannya.''Kau benar-benar murahan. Aku menyesal telah mempekerjakan wanita sepertimu," hardik Gavin dengan menunjuk wajah sekretarisnya.''Aku juga menyesal telah mengizinkanmu tinggal di sini. Kemasi barang-b