Felipe mengelus kepala Rindu. Dia tersenyum memandang Rindu yang terlihat mulai mengerti tapi masih ada tatapan bingung di sana."Iya, makanya mereka perlu waktu untuk bicara. Supaya bisa saling mengerti dan bisa baikan lagi,” kata Felipe menambahi penjelasannya."Oke, aku paham." Rindu mengangguk-angguk.Ketiganya kemudian hanya duduk dan saling diam."Kak, aku lapar,” ujar Rindu setelah beberapa waktu."Ah, iya Kita tadi ga jadi makan malam, kan? Kita ke dapur yuk, lewat pintu samping saja, mudah-mudahan belum dikunci," ajak Wuri.Bertiga mereka ke dapur, lewat pintu samping. Untunglah bisa masuk. Wuri mengambilkan Rindu makan. Gadis kecil itu makan dengan lahap, kelaparan benar tampaknya.Dari ruang depan tidak terdengar suara orang bicara keras. Bahkan suara tangis juga tidak ada lagi. Wuri dan Felipe penasaran apa yang terjadi dengan Rudy dan Ratu."Kak, kenapa ayah panggil ibu Kakak, Aning, tapi kak Felipe panggil bu Ratu?" tanya Rindu sementara masih mengunyah."Oo … Nama ibu R
Mata Maureen menatap Randy yang berdiri agak jauh darinya. Senyum tersungging di bibir pemuda manis itu."Ada bunga di hatiku. Bunga yang indah terus mekar, meski musim kering. Membuat aku bisa segar lagi seperti baru disiram air, seperti yang kamu lakukan pada bunga-bunga di taman ini," ucap Randy.Hati Maureen perlahan berdesir. Dia tidak suka digombalin, tetapi entah mengapa dia merasa tersanjung juga dengan ucapan Randy."Kamu pandai merayu ternyata. Untungnya aku bukan cewek yang mudah GR. Gombalan kamu ga ngefek." Maureen mencibir. Dia melanjutkan menyiram tanamannya.Randy tersenyum, berdiri memperhatikan Maureen. Tidak berpikir beranjak. Dia suka sekali di dekat Maureen. Selalu nyaman melihat gadis periang ini. Jujur saja, Maureen yang malah kikuk dibuatnya."Kenapa nih cowok masih berdiri di situ?" batin Maureen. Dia mematikan kran air, merapikan slang, dan menyimpannya lagi. Selesai sudah acara berkebun.Berbalik badan, Maureen berjalan ke arah teras. Beberapa langkah di dek
Minggu tiba. Jam 10 kurang 10 menit, Randy sudah datang di rumah keluarga Gio. Dia menunggu Maureen. Hatinya grogi juga. Padahal Maureen bukan cewek pertama yang dia ajak jalan berdua. Tapi mengapa rasanya lain sekali? Tidak seperti yang sudah-sudah."Bro!” Felipe nongol. “Ahai! Ganteng amat hari ini. Weh ... mau jalan sama adikku?""Iya. Kami mau jalan hari ini." Randy tersenyum."Hmm …” Felipe mencermati Randy. "Baju dan celana match … Jaket keren punya. Stylish banget ... Harumm ...” Felipe mendekatkan wajahnya ke muka dan badan Randy."Heh, jangan usil. Usaha ini," ujar Randy. Dia mengerutkan keningnya."Udah izin papa?" Felipe mulai menginterogasi."Udah." Randy menjawab mantap."Jelas peraturannya?" lanjut Felipe bertanya."Sangat." Randy manggut-manggut."Good. Bawa pulang Maureen tanpa tergores." Felipe memandang Randy tajam dengan ucapan dilafalkan satu-satu dengan tegas."Beres.” Randy mengacungkan jempol.Maureen muncul. Randy dan Felipe memperhatikan gadis cantik yang maki
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama