Share

Wanita di Balik Rumor Pelakor
Wanita di Balik Rumor Pelakor
Penulis: Haiuv

Hadiah Terpahit

“Kamu nggak bisa giniin aku, Sak!”

Perempuan dengan rambut sebahu itu berusaha keras mengangkat kedua tangannya agar mencapai lengan kiri pria yang duduk di sampingnya. Seutas tali yang melilit tangannya membuat perempuan itu kesulitan untuk melampiaskan kemarahannya.

“Kenapa aku nggak bisa?” Pria di sampingnya itu berteriak tak kalah nyaring dari balik kemudi.

“Kamu dengarkan, tadi, aku udah talak kamu di depan semuanya. Jadi, mulai sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi. Kita bukan suami istri lagi. Masih kurang jelas?”

“Nggak bisa gitu, dong. Kalau pun kamu udah talak aku, aku belum boleh keluar dari rumah kamu selama masa iddah.”

“Kamu berharap aku udah menanam benih di rahim kamu? Jangan mimpi, Aurora. Kamu nggak akan pernah aku biarin jadi ibu dari anak-anakku. Kalaupun kamu hamil, aku yakin itu bukan anakku. Entah kenapa dulu orang tuaku bersikeras menjodohkan aku dengan kamu. Aku yakin kamu dulu yang paksa mereka, kan?”

“Jaga omongan kamu, Sakti!” Aurora membasahi pipi Sakti dengan saliva yang meloncat tiba-tiba dari mulutnya. Hati Aurora sakit diceraikan di hari ulang tahun pernikahan kedua mereka dan semakin parah setelah mendengar ucapan Sakti yang lancang itu.

Mobil tiba-tiba berhenti. Muka Sakti berubah merah padam. Tangannya dengan kasar mendorong pintu mobil lalu secepat kilat tubuh jangkungnya sudah berdiri di pintu kiri mobil. Tanpa menunggu hujan reda Sakti langsung membuka pintu dan menarik Aurora keluar dari mobilnya.

“Auh …!” Aurora mengaduh saat Sakti mendorong tubuhnya hingga terjatuh di atas rerumputan yang basah. Tubuhnya basah. Begitu juga dengan Sakti.

“Aku sudah muak sama kamu. Semua kelicikan kamu bikin aku kehilangan Malika. Sekarang waktunya kamu terima akibatnya, Aurora.” Sakti melempar telunjuk menghujani Aurora dengan kemarahannya.

Setelah puas Sakti langsung masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Aurora begitu saja. Aurora kini sendirian di pinggir jalan, jauh dari bangunan, hanya pepohonan rimbun dan semak sejauh mata memandang.

“Sakti!!!” teriak Aurora memanggil pria yang roda mobilnya meninggalkan jejak di depan Aurora. Sakti sudah pergi. Teriakannya tidak bernilai lagi.

Dengan langkah tertatih dan tangan yang masih terikat tali ke depan, Aurora berjalan menyusuri bibir jalan di bawah serbuan hujan. Air matanya tak lagi ketara. Menyatu dengan air yang jatuh membasahi pipi.

“Aku harus ke mana sekarang? Nggak mungkin aku balik ke rumah itu, harga diriku udah mereka permainkan,” gerutu Aurora seorang diri.

Diceraikan di depan keluarga besar dan teman-temannya tentu menjadi hal paling memalukan bagi Aurora. Sakti dengan teganya menjatuhkan talak kepada Aurora saat perayaan anniversary pernikahan mereka.

“Kalau tau dia bakal lakuin itu, nggak bakalan aku susah-susah nyiapin acara anniv segala. Sakti, awas ya kamu!” Aurora masih terus berusaha melepas ikatan yang perlahan mulai longgar.

Bukan tanpa alasan Sakti mengikatnya seperti itu. Aurora tadi sempat ingin mengamuk dan berontak sesaat setelah Sakti menalaknya. Maka, untuk menghentikannya Sakti dengan tega mengikat paksa tangan Aurora lalu menyeretnya pergi meninggalkan acara. Semua tamu memperhatikan Aurora dengan kasihan dan menahan tawa.

Byur!!

Baru saja berjalan kembali setelah berhasil melepaskan tali tersebut, sebuah kendaraan roda empat melintas dengan kecepatan tinggi menerjang genangan air tepat di samping Aurora. Alhasil, gaun mahal yang kini membalut tubuhnya jadi kotor.

Aurora ingin mengumpat, tetapi tidak jadi. Mobil tersebut sudah mengecil dari pandangannya.

Lelah berjalan, akhirnya Aurora sampai di sebuah masjid. Jamaah salat Ashar baru saja keluar melewati pintu masjid. Hujan hanya tinggal gerimis kecil. Sedikit ragu, Aurora memasuki area masjid untuk berteduh dan rehat sejenak.

“Kalau ke masjid auratnya ditutup dong, Mbak,” tegur seorang perempuan menatap Aurora miring.

Aurora hanya bisa diam dan bergeming di teras masjid. Beberapa jamaah pria yang melewatinya menatap tidak nyaman dan segera menjauh.

“Kayaknya kamu bukan orang sini. Mau ke mana?” tanya perempuan itu lagi menurunkan nada bicaranya.

“Iya, Buk. Aku lagi nyari tempat buat tinggal sementara.” Aurora menjawab lantang. Memang itulah yang ia butuhkan sekarang.

“Wah, kebetulan kalau gitu. Saya punya kos-kosan dekat sini. Masih ada satu kamar yang kosong. Tertarik?” Aurora tercenung. Padahal tadi ia hanya menjawab asal agar tidak terkesan sebagai seorang terbuang yang bingung.

"I—ibu beneran?” tanya Aurora memastikan.

Wanita itu mengangguk dan segera mengajak Aurora ikut dengannya. Di tengah jalan Aurora sempat ingin mundur dan kabur sebab baru ingat kalau ia tidak membawa uang sama sekali. Namun, wanita itu dengan baik hati melirik cincin di tangan Aurora dan diminta sebagai jaminan sampai Aurora bisa membayar biaya sewa kamar nantinya. Cincin nikah dari Sakti sore itu akhirnya berpindah tangan, ditukar dengan sepetak kamar tiga kali tiga meter di sebuah rumah sederhana dalam gang.

“Omong-omong, kamu dari mana, dandanannya heboh begitu?” Wanita tersebut memperhatikan pakaian Aurora yang seperti kurang bahan itu dengan tatapan aneh. Aurora hanya bisa ngedumel dalam hati.

Begitulah kemudian dalam beberapa jam kehidupan Aurora berubah drastis. Saat pikirannya masih mencerna kejadian yang berlangsung cepat itu, Aurora kemudian dihadapkan dengan masalah berikutnya. Soal perut yang harus diisi dan perjalanan hidup yang masih berlanjut.

“Aku harus kerja. Cincin itu terlalu mahal ditukar sama kamar sumpek ini.” Aurora memasang tekad di hari berikutnya. Dengan tubuh berbalut daster lusuh pinjaman pemilik kos, Aurora mengusap layar ponsel, mengirimkan lamaran kerja ke beberapa situs perusahaan.

Sampai tiga hari berikutnya, setelah puas mengisi lambung dengan mie instan, Aurora mendapat kabar lamaran kerjanya diterima di sebuah perusahaan lokal meski hanya sebagai office girl. Aurora tetap senang. Lagi-lagi ia harus menebalkan muka meminjam pakaian formal dari pemilik kosan yang juga memiliki anak seumuran dengannya.

“Nah, gitu dong, cari kerja. Saya suntuk juga liat kamu keluar masuk dapur cuma masak mie instan, mana itu mie punya saya. Belum lagi daster-daster mahal saya malah jadi kamu yang pakai,” omel wanita tersebut menyerahkan sepasang pakaian formal ke tangan Aurora.

Aurora hanya bisa tersenyum tipis. Agak risih diomeli begitu.

Tidak sulit bagi Aurora untuk menemukan gedung kantor yang dimaksud. Dengan kepala terangkat dan langkah panjang penuh percaya diri Aurora memasuki ruangan interview diantar seorang satpam.

Seorang wanita duduk mematut laptop yang menyala di depannya begitu Aurora tiba dalam ruangan. Sejenak Aurora terpaku menatap sosok yang cukup ia kenali itu. Kakinya membeku di ambang pintu. Sampai wajah yang setengah menunduk itu kini terangkat menatap Aurora.

“Aurora Ridha Zetana.”

“Nggak nyangka ya, kita ketemu di sini.  Aku udah denger lho, soal hadiah anniv spesial dari Sakti buat kamu. Selamat ya,” sambut wanita tersebut panjang lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status