Tok...tok...
“Kak Anton?” Panggil Dara di depan kamar Anton.
Pintu terbuka dari dalam. Si pembuka pintu menampakkan wajahnya. Dahi Dara berkerut, wajahnya sempurna menunjukkan ekspresi bingung. “Apa aku salah rumah?” pikirnya.
“Anton sedang keluar.” Kata orang itu.
“Oh, dia hanya bertamu,” katanya dalam hati. “Oh, ya. Aku tunggu diluar saja.” Kata Dara lagi yang hanya dibalas dengan anggukkan oleh lawan bicaranya. Darapun segera menuju teras, menunggu Anton pulang.
Selang berapa menit, “Dara?” Sapa Anton.
“Eh, Kak. Ini aku mau mengembalikan buku.”
“Kau mencari alasan ya untuk menemuiku. Kan bisa kau titipkan saja?” canda Anton.
“Tidak sama sekali.” Dara menegaskan kalimatnya. “Aku cuma ingin berterima kasih secara langsung, berkat catatan kakak ulanganku jadi terbantu. Ini!” jelas Dara lagi sambil menyodorkan buku Anton. “Terima kasih Kak Anton. Daah...” kata Dara melambaikan tangan sambil berlalu meninggalkan rumah Anton. Anton hanya diam, bibirnya sedikit mencibir.
***
Di kantin... saat jam pelajaran pertama.
“Wah, kau mengikutiku ya Dara?” kata seorang anak laki-laki yang ternyata adalah Anton. “Atau mengikuti Gio?” katanya lagi tersenyum santai.
Dara yang diajak bicara tak bisa berkata apa-apa, hanya memandang aneh dengan kedua matanya kepada Anton. Ia langsung berlalu untuk memesan makanan kemudia duduk di bangku samping Anton, walau kesal dengan candaannya tadi.
“Kau tega Dara, makan enak disaat teman-temanmu sedang ulangan matematika.” Kata Anton membuka percakapan kembali.
“Namanya aku beruntung. Lagipula aku belum sarapan tadi pagi.” Balas Dara sambil mengambil pesanannya yang disaikan petugas kantin. Setelah mengucapkan terima kasih ia langsung menyantap makanannya.
“Resiko orang pintar.” Kata Gio tiba-tiba, tak terduga.
Dara mengangkat wajahnya menghadap Gio, menyelesaikan beberapa kunyahannya lalu menelannya. “Betul.” Jawanya singkat.
“Resiko orang pintar atau resiko orang cantik, Gio?” Goda Anton.
“Pintar.” Gio menjawab seolah-olah Anton bertanya karena tidak mendengar.
Dara pura-pura tidak mendengar. Dibiarkannya saja dua anak laki-laki itu menggoda dan digoda. Hingga salah satunya tiba-tiba berdiri.
“Mau kemana kau? Melarikan diri?” Cegah Anton.
“Baru ingat, aku ada kerja kelompok.” Jawab Gio.
“Alasan.” Anton masih menggodanya.
Gio terus berjalan tidak peduli dengan ocehan Anton.
Anton menghabiskan sisa minumannya, sambil menunggu Dara selesai makan agar bisa bicara lebih nyaman.
“Apa Kak Gio bercerita tentangku kemarin?”
“Ya, katanya kau seperti orang salah alamat.”
“Wah... bagaimana dia tahu pikiranku?” Dara takjub, sampai meletakkan sendok dan garpunya.
“Memang kau tidak pernah melihatnya?”
“Pernah, sering bahkan. Tapi aku tidak tahu kalau kalian dekat.”
“Ya, orang yang dekat dengan anak itu memang bisa dihitung dengan jari.” Kata Anton lagi.
***
Lagi-lagi sendiri. Sekembalinya dari kantin, Dara pergi ke perpustakaan, menyusuri beberapa rak buku, berharap ada satu dua buku yang dianggapnya menarik untuk dibaca. Sampai pada ujung sebuah rak, seseorang muncul dari sisi rak yang satunya, membuat mereka hampir bertabrakan. Keduanya kaget.
“Anton mana?” Tegur anak itu duluan.
“Kak Anton tadi pergi duluan.” Entah terlihat atau tidak, tapi saat ini Dara sedang merasakan perasaan yang aneh. Seperti malu. Sebab apakah? Apa mungkin karena cerita Anton tadi. Dara malu karena merasa diperhatikan.
Gio melanjutkan mencari buku kemudian mengambil salah satu dan langsung duduk di meja bagian pojok yang benar-benar kosong. Entah keberanian dari mana, Dara mengikutinya duduk di meja yang sama. Dara duduk di bangku yang berseberangan dengan Gio, namun tak langsung berhadapan, hingga arah duduk Dara dan Gio membentuk garis diagonal.
Dara mencoba membaca dengan santai sambil sesekali mempertanyakan perbuatannya. Apakah aneh di mata Gio?
Sementara Gio, untuk dibilang pura- pura membaca, aktingnya sungguh sempurna. Ia membaca dengan sebelah tangan memijat-mijat dahi. Wajahnya terlihat berpikir.
“Kenapa kau duduk jauh sekali disitu?” Kata Gio tiba-tiba. Dara dibuat kaget untuk yang kedua kalinya. Ia mulai tersenyum sambil memikirkan jawaban yang tepat.
“Takut mengganggu konsentrasi Kak Gio,” jawabnya masih tersenyum-senyum.
“Kalau takut menggangguku harusnya kau duduk di meja sebelah.” Balasnya lagi, memandang meja sebelah yang terlihat kosong.
Deg! Benar juga. Pikir Dara. Wajahnya terlihat malu. Namun tanpa Dara sadari, wajah Gio yang tadinya serius telah berubah menjadi tersenyum. Hangat, dan manis.
“Bercanda. Sini duduk didepanku. Kau tidak takut aku kan?” Kali ini Gio lebih santai.
Dara tidak bisa menjawab pertanyaan Gio. Kepalanya hanya menggeleng, tanda ia tidak takut dengan Gio. Dara tidak menyangka, Gio yang sejak Dara mengembalikan buku ke rumah Anton sampai terakhir mereka bertemu di kantin terlihat dingin, ternyata bisa sehangat ini. Senyumnya manis sekali.
Setelah duduk berhadapan dengan Gio, Dara berharap Gio tidak melanjutkan candaannya yang membuat Dara gugup itu. Karena sungguh, Dara juga tidak tahu alasannya.
“Kau sudah mendapat pasangan untuk tugas kelompok english club?” Tanya Gio lagi setengah berbisik setelah mendapat kode dari petugas perpustakaan untuk tidak terlalu berisik.
“Belum. Aku tidak hadir di pertemuan terakhir dan baru mendapat kabar ada tugas tadi pagi.”
“Aku juga belum. Bagaimana kalau kita satu kelompok?” Tawar Gio.
Apa orang ini serius dengan ucapannya? Mengapa ia berbeda dengan apa yang Anton katakan, pikir Dara. Namun sambil berpikir, ternyata kepala Dara sudah terlebih dahulu mengangguk.
Dara kewalahan. Sebenarnya Dara punya cukup banyak teman laki-laki. Sehingga tak ada alasan ia harus canggung di depan mereka. Namun bersama Gio, terasa berbeda. Ada hal yang membuat Dara ingin tahu, tapi juga takut.
Dara tidak lagi selera membaca buku yang dipegangnya. Tapi langsung keluar perpustakaan setelah duduk tak sampai lima menit, juga bukan hal yang tepat untuk dilakukan. Ia memutuskan untuk menunggu bel masuk saja. Pasti tidak lama lagi, pikirnya.
Belpun berbunyi. Dara dan Gio keluar dari perpustakaan. Kelas mereka searah, hingga mereka berjalan bersisian. Sampai di depan kelasnya, Dara meminta izin untuk masuk kelas duluan. Gio mengangguk pelan dan meneruskan langkahnya. Namun sial, Dara di sambut oleh Tiara si biang gosip.
“Kau cocok dengannya, Dar.” Katanya sambil memperhatikan Gio dari belakang. “Pacarmu?” tanyanya tanpa memelankan suarnya.
Jika telinga Gio masih normal, maka sudah pasti Gio mendengar perkataan Tiara karena jarak mereka dengan Gio hanya sekitar tiga langkah.
Dengan suara yang dibuat lembut Dara mencoba menjawab pertanyaan temannya itu, “Bukan, Tiara.”
Dua minggu setelah novel Dua Hujan rilis. “Leo...” Sebuah kepala menyembul dari belakang Leo, menampakkan wajahnya yang penuh siasat. “Temani aku, yuk!” “Kemana?” Leo menjawab sambil terus fokus memasukkan barang-barang ke dalam ranselnya untuk dibawa pulang. “Ikut saja.” Si pembuat pertanyaan tak memerdulikan jawaban Leo. Ia langsung berlari keluar kantor dengan menganggap Leo akan membuntuti langkahnya. Dan benar saja. Tanpa membantah, Leo mengekor di belakang Dara. Ia naik bis yang sama dengan Dara, dan turun dimana Dara memilih untuk turun, hingga akhirnya mereka masuk ke sebuah toko buku. Leo hanya mengikuti langkah Dara yang terlihat serius menyusuri rak demi rak buku. “Nah, ini dia.” Seru Dara sembari menarik sebuah buk
Hari masih sangat pagi. Dara berniat masuk ke ruangan manajernya—Gio, untuk meletakkan beberapa berkas yang diminta Gio kemarin. Tepat di depan pintu, Dara berhenti sebentar melihat pintu yang terbuka sedikit. Ruangan yang dikiranya kosong ternyata sudah dimasuki oleh empunya. Dan tak hanya sendiri, Gio sedang bercakap-cakap dengan seseorang.“Oh, Firman.” Pikirnya. Tanpa sadar Dara mencoba mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Sebab Dara tidak tahu dengan pasti bagaimana persisnya hubungan mereka. Dara hanya tahu anak yang dekat dengan Gio adalah Anton.“Jadi kau tidur di rumah adikmu lagi malam tadi?” Firman memutar-mutar kursi yang didudukinya di depan Gio.“Hah, Gio punya adik?” Dara semakin memfokuskan pendengarannya.“Ya, kasihan dia kutinggal terus. Lagipula ada yang ingin kudiskusikan dengannya.”“Hmm, terdengar familiar.” Pikir Dara.“Dia bukan a
Dara sengaja mengambi arah yang berbeda dengan Gio, menacari sendiri apa yang ingin mereka beli. Sebab jika tidak begitu, rasanya akan seperti suami istri yang mencari satu kado. Sedang mereka berniat membeli masing-masiing. Anak Anton laki-laki. Ini adalah ulang tahunnya yang ke-2. Sekitar lima belas menit berputar-putar di bagian pakaian, Dara masih juga bingung pakaian mana yang harus ia ambil. Walau sudah melihat fotonya, tetap saja ada keraguan. Takut ukurannya tidak pas. Akhirnya Dara putuskan mengambil yang ukurannya sedikit lebih besar. Kalau tidak muat sekarang, maka bisa dipakai nanti. Iapun membawa barang pilihannya menuju kasir. Terlihat Gio baru saja selesai dengan urusan kadonya, bahkan telah menjadi bingkisan cantik siap untuk diserahkan. Laki-laki memang praktis. Gio lalu mengisyaratkan kepada Dara bahwa ia akan menunggu di luar. &n
Riuh lagu ulang tahun masih terdengar di setiap sudut ruangan. Suara tawa dan tangis bocah juga masih terdengar. Namun bukan dari tamu, melainkan keluarga, karena saat ini acara memang sudah hampir berakhir. Dara masih berbincang-bincang dengan Anton dan Gio sebagai pelepas rasa rindunya akan masa-masa SMA dulu. Mereka duduk agak jauh di luar ruangan, agar tidak terganggu oleh suara musik. Di sebelah Anton duduk pula istrinya yang sesekali mengalihkan perhatiannya ke arah bocah yang sedang bermain bola di dekatnya. Rania namanya, biasa dipanggil Nia, begitu katanya tadi saat berkenalan dengan Dara. Nia rupanya orang asli kota ini. Anak yang bermain bola tadi, tiba-tiba datang menjatuhkan tubuhnya di pangkuan Ibunya. Bibir kecilnya mengeluarkan sedikit rengekan, pertanda mulai mengantuk. Segera diangkatnya tubuh kecil itu, ditawa
Leo melambaikan tangannya begitu melihat Dara yang baru memasuki area samping kafe. Leo memilih outdoor karena bisa langsung melihat danau yang cukup indah disini. Dara segera menghampiri Leo dan langsung duduk di depannya. Kepalanya menoleh kiri kanan memperhatikan sekitar, menyiapkan penilaian untuk tempat yang dipilih Leo itu. Dilihat dari sudut bibirnya yang terangkat ke atas, dapat dipastikan Dara menyukainya. Leo jamin itu. “Tumben sekali kau mengajakku ke tempat bagus begini.” Dara tak henti-hentinya tersenyum. Ia masih terpana oleh pemandangan di sisi danau itu. “Kau jangan pura-pura bodoh. Kau kan yang kemarin mengancamku?” Leo agak marah, tapi ia pasrah. “Apa terdengar seperti ancaman? Rasanya tidak.” Kata Dara dengan wajah t
Tiga orang pegawai kantor sedang duduk di kafe langganannya. Mereka sibuk menyeruput minuman masing-masing. Kafe sangat sepi. Entah kemana pelanggan-pelanggan setia mereka. Padahal di luar cuaca sangat panas. Harusnya mereka duduk disini sambil menikmati barang segelas es kopi. Begitu pikir tuan pemilik kafe. Dua orang pria dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Gio, Leo, dan Dara. Belum ada obrolan yang berarti. Barangkali karena salah satu atau beberapa di antaranya masih canggung. Harusnya tidak, bukan? “Kakak menunggu siapa?” Leo heran melihat Gio yang celingak-celinguk. “Ayahnya Bhara.” Gio menjawab sekadarnya. “Harusnya dia sudah disini.” Katanya lagi sambil terus menatap keluar.&nb
“Are you okay?” Leo datang menghampiri Dara yang duduk sendirian. Ia memandang ke arah yang sama dengan Dara, menyaksikan dua insan yang sangat berbahagia hari ini. Dara hanya melihat Leo sebentar. Kemudian tersenyum kecil lalu mengangguk. “Asal kau tahu, hari ini aku tulus berbahagia.” Dara bicara tanpa menatap Leo. “Ya, aku tahu, dan aku lega.” Jawab Leo. Ia sebaliknya. Ia berbicara sambil memandang Dara dengan cermat. “Lega karena?” Tanya Dara bingung. “Karena berkurang satu beban di hatimu.” Jawab Leo tersenyum.&nbs
9 tahun yang lalu... Gio masih terjaga di atas tempat tidurnya, walau sudah sejak satu jam yang lalu ia mencoba untuk tidur. Hari Minggu memang waktu yang tepat untuk menikmati tidur siang yang hanya bisa dilakukan seminggu sekali. Entah apa yang merasukinya, ia terus saja merasa kesal kepada Dara. Berulang kali ia membujuk pikirannya sendiri untuk tidak menyalahkan Dara. Tetap saja. Tertolak. Gio terus saja terpejam. Namun tidak tidur. Di luar, ayahnya sedang sibuk menelepon beberapa orang berganti-gantian. Suaranya terdengar samar namun seperti ada kekhawatiran disana. Kalau saja tidak didengarnya nama Leo, maka ia tak akan beranjak dari tempat tidurnya. Gio menghampiri ayahnya dengan pen