Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja.
Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.”
DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya.
“Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup.
Leo duduk di depan Dar
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Akhirnya hujan turun. Setelah hampir seminggu dinanti-nanti, hari ini kota ini basah juga. Memulai pagi diawal Oktober, mengukir senyum di wajah sebagian penduduk kota. Walau aktivitas mereka tak secara langsung bergantung pada air hujan. Entah. Mungkin beberapa dari mereka pecinta hujan. Tapi bagi Dara, hujan ini tak lain sebagai penyejuk kota, penghapus debu-debu hasil aktifitas kota seminggu terakhir. Beruntung ia sampai di halte bus lebih cepat hingga tak harus kehujanan. Perjalanan menuju kantor Dara menggunakan bus memakan waktu sekitar 15 menit. Cukuplah untuknya melihat-lihat sekitar, menambah pengetahuannya tentang kota ini, walau dengan rute yang sama setiap hari. Namun selama setahun berada disini, Dara sudah cukup banyak mengetahui tempat-tempat wajib seperti supermarket, warung makan, mall, bahkan pasar terdekat dari kosnya. 
Dara bersandar santai di kursi rotan depan rumah Leo. Memandang bebas ke hamparan bunga di halaman tepat di depannya. Hal yang paling menarik perhatian Dara adalah jalan kecil yang hanya seukuran dua orang dewasa bersisian di tengah taman itu, mengingatkannya akan bentuk halaman rumahnya di Kalimantan. Rasa yang ia dapatpun sama persis seperti saat melewati halaman rumahnya sendiri. Berjalan di jalan kecil dengan kiri kanan berhias hijau rumput dan warna-warni bunga, Dara bagai merasa di negeri dongeng. Belum lagi di seberang jalan adalah area persawahan yang saat ini didominasi warna hijau. Membuat siapa saja yang duduk di tempat Dara sekarang betah berlama-lama. Sejujurnya seperti inilah rumah impian Dara, walaupun sedikit berbeda dengan apa yang ia selalu ceritakan pada orang lain. Dulu Dara menginginkan rumah yang apabila ia membuka j
Kali ini giliran Dara yang duduk termenung sendiri di dalam kafe kemarin. Saat tersadar dari lamunannya, ia telah mendapati Leo duduk manis di depannya. Dara seperti tahu apa yang akan Leo bahas. “Pak Firman bilang kau adalah adik kelasnya?" Ucap Leo to the point, menyampaikan pertanyaannya. “Pak Firman? Klienmu kemarin?” Dara balik bertanya, memasang wajah berpura-pura berpikir. Leo tak bergeming. Sia-sia. Leo pasti sudah tahu, pikirnya. Darapun kembali dengan wajah normalnya, membalas pertanyaan Leo tadi dengan sebuah anggukan. “Berarti Kak Gio mengenalnya?” Tanya Leo lagi. “Ya. Aku lihat mereka makan siang bersama tadi.”
Dara menatap keluar jendela kafe. Menatap kosong pada orang yang berlalu-lalang. Apa yang sedang ia pikirkan? Sebagian kecil penasaran tentang apa yang akan Firman bicarakan, sebagaian yang lain adalah kebingungan tentang dirinya sendiri. Kenapa ia bisa sesenang itu bertemu Firman disaat ia masih kesal dengan sikap Gio yang benar-benar tidak peduli. Pertanyaan sebenarnya adalah, benarkah ia merasa senang? Mungkinkah, pelampiasan? Dara menggeleng, menepis pikirannya. Pelampiasanpun tidak boleh. Andai saja ia bisa meralat ekspresi girangnya kemarin. Sayang sudah terlihat oleh beberapa temannya termasuk Leo. “Tidak boleh menyukai Firman. Kau mana tahu, jangan-jangan dia sudah punya istri.” Ucapnya dalam hati. Firman yang baru datang menatap Dara dengan aneh. “Kena
Tok...tok... “Kak Anton?” Panggil Dara di depan kamar Anton. Pintu terbuka dari dalam. Si pembuka pintu menampakkan wajahnya. Dahi Dara berkerut, wajahnya sempurna menunjukkan ekspresi bingung. “Apa aku salah rumah?” pikirnya. “Anton sedang keluar.” Kata orang itu. “Oh, dia hanya bertamu,” katanya dalam hati. “Oh, ya. Aku tunggu diluar saja.” Kata Dara lagi yang hanya dibalas dengan anggukkan oleh lawan bicaranya. Darapun segera menuju teras, menunggu Anton pulang. Selang berapa menit, “Dara?” Sapa Anton. “Eh, Kak. Ini aku mau mengembalikan
Dua minggu setelah novel Dua Hujan rilis. “Leo...” Sebuah kepala menyembul dari belakang Leo, menampakkan wajahnya yang penuh siasat. “Temani aku, yuk!” “Kemana?” Leo menjawab sambil terus fokus memasukkan barang-barang ke dalam ranselnya untuk dibawa pulang. “Ikut saja.” Si pembuat pertanyaan tak memerdulikan jawaban Leo. Ia langsung berlari keluar kantor dengan menganggap Leo akan membuntuti langkahnya. Dan benar saja. Tanpa membantah, Leo mengekor di belakang Dara. Ia naik bis yang sama dengan Dara, dan turun dimana Dara memilih untuk turun, hingga akhirnya mereka masuk ke sebuah toko buku. Leo hanya mengikuti langkah Dara yang terlihat serius menyusuri rak demi rak buku. “Nah, ini dia.” Seru Dara sembari menarik sebuah buk