Keesokan harinya …Baru saja keluar dari kamar mandi, aku mendengar ponselku bergetar.Aku buru-buru memeriksanya, khawatir ada sesuatu yang mendesak.“Tante Iva?” gumamku.Pasalnya, sangat jarang tante Iva meneleponku. Kalau penting, dia pasti mengirimkan pesan.Ting!Ketika aku hendak mengetikkan pesan, tante Iva sudah mengirimkan pesan terlebih dahulu.“Selamat pagi, Lilian. Maaf, Tante mengganggu sepagi ini. Apa Lilian masih suka mie ayam? Hari ini Tante rencana mau masak”Deg!Mendadak hatiku merasa sangat sedih, mengingat mie ayam buatan tante Iva itu salah satu menu makanan kesukaan Finn. Sepertinya aku tidak akan bisa menikmatinya karena itu akan membuatku menangis. Tetapi, aku tidak mungkin menolak tante Iva, bukan?Dengan tangan yang gemetar, aku berusaha membalas pesan. “Mie ayam, kesukaan Finn.”“Tante mengerti. Seandainya itu akan membuatmu sedih, kamu bisa makan menu yang lain, yang tak kalah enaknya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah ya!” balas tante Iva dengan mengirimk
“Sambil menunggu masakan semuanya matang, cobain ini … risoles ala Tante Iva.” Tante Iva datang menghampiri kami sambil membawa satu piring berukuran besar, berisi risoles.“Wah, saya sudah lama tidak makan risoles,” ujar Cheryl dengan mata berbinar.“Lilian suka risoles?” Tatapan Tante Iva beralih padaku.“Ini cemilan kesukaan Lilian, Tante,” celetuk Cheryl.“Oya? Kok Finn tidak pernah cerita ya,” sahut Tante Iva.“Berhubung di sini tidak pernah lihat risoles dan saya tidak bisa membuatnya, saya memilih untuk melupakan risoles,” jawabku sambil tertawa.Om Danendra, Tante Iva, dan Cheryl pun ikut tertawa.“Cobain dulu ya … kalau cocok, lain kali Tante bagi seandainya kebetulan buat,” ujar Tante Iva.Aku mengangguk, lalu mengambil satu risoles dan mulai menikmatinya.“Bagaimana?” tanya Tante Iva.“Saya suka, Tante! Ini enak,” jawabku kegirangan. Terlalu senang akhirnya bisa menikmati risoles lagi, rasanya aku ingin melompat-lompat sambil bertepuk tangan.“Benarkah?” tanya Tante Iva rag
“Cheryl sudah ada pria yang disukai atau belum nih?” tanya Om Danendra dengan senyum khasnya yang mirip dengan Finn.“Pasti banyak donk, Pa. Cheryl itu gadis yang cantik dan pandai,” sahut Tante Iva.“Bisa saja, Tante. Buktinya sampai sekarang saya masih jomblo,” canda Cheryl.“Itu karena kamu belum membuka hati saja,” ujar Tante Iva tepat sasaran.Sementara Om Danendra dan Tante Iva sibuk berbincang dan bercanda dengan Cheryl, aku yang mendadak teringat akan Finn hanya bisa sesekali tersenyum untuk menanggapi.“Ayo, tambah lagi, Li! Makan yang banyak ya,” ujar Tante Iva, membuatku yang sedang melamun ini terkesiap.“Iya, Tante,” sahutku tersenyum.“Lilian dan Cheryl boleh anggap Om dan Tante seperti orang tua kalian sendiri ya. Begitu ada pria yang mendekati, kalian bisa cerita,” ujar Om Danendra.“Cerita apa pun … kami siap mendengarnya,” tambah Tante Iva.“Iya, Om, Tante,” sahut Cheryl.Sementara aku melihat ke arah piring, pura-pura sibuk makan. Hatiku benar-benar terasa campur ad
“Siapa?” tanya Om Danendra dan Tante Iva kompak. Rupanya mereka benar-benar ingin tahu.Aku menghela napas pelan sambil melirik ke arah Cheryl, yang kebetulan juga melirik ke arahku dengan senyum iseng khasnya.Kenapa sahabatku ini selalu saja membicarakan hal yang tidak penting?“Cheryl, sepertinya harus kamu yang cerita deh,” paksa Tante Iva.Aku masih menatap Cheryl dengan pandangan yang aku sendiri tidak mengerti.“Kalau kalian tidak mau cerita, itu artinya hanya Om dan Tante yang menganggap kalian anak sendiri. Sedangkan kalian hanya sekadar bersikap baik dengan kami.” Perkataan Om Danendra menyiratkan rasa kecewa dan itu membuatku praktis merasa bersalah.Lagi-lagi aku menghela napas pelan, memikirkan cara untuk bercerita.“Akan lebih baik kalau Lilian yang cerita, Tanta,” ujar Cheryl, masih menatapku.“Jadi, begini … kemarin saya mendadak pergi ke Pulau Sentosa sendirian. Rencana saya, setibanya di sana mau mengirimkan foto, sekaligus memberi tahu Cheryl, agar dia menyusul saya
“Lalu … kita harus bagaimana, Ryl?” tanyaku. Saat ini tubuhku sudah mulai sedikit gemetaran, dan aku tetap berusaha untuk fokus sebelum traumaku kambuh.“Enggak bagaimana-bagaimana,” jawab Cheryl membuatku praktis menoleh ke arahnya.“Tidak perlu takut! Ada aku dan ada orang kepercayaan om Danendra yang mengawasi kita. Kita pasti aman,” bisik Cheryl.Aku mengangguk samar. Namun, aku tidak bisa menutupi rasa gugup.“Li, tenang! Jangan terlihat gugup!” Cheryl kembali mengingatkanku.“Iya,” jawabku.Setelah menghembuskan napas pelan beberapa kali, aku pun membuka pintu cafe.Melihat kami berdua datang, Keenan langsung tersenyum dan melambaikan tangannya.“Hai! Maaf menunggu lama.” Itu suara Cheryl yang mendahuluiku menyapa.Cheryl pasti tahu kalau aku masih sangat gugup.Cheryl menarik kursi di hadapan Keenan. Sedangkan aku memilih untuk duduk di sebelah Cheryl.“Mau minum?” Keenan menawari.“Tentu saja,” jawab Cheryl sambil melambaikan tangannya, memanggil seorang pelayan cafe.“American
Suasana di antara aku, Cheryl, dan Keenan mendadak terasa canggung. Keenan mungkin bingung dan khawatir salah bicara, sehingga kami akan semakin mencurigainya. Sementara aku dan Cheryl juga merasa tidak enak hati sudah mencurigai Keenan. Akan tetapi, Keenan memang seseorang yang paling mencurigakan. Tidak salah kalau Cheryl menginterogasinya, bukan?“Jadi, apa tujuanmu ingin mengajak kami bertemu?” tanya Cheryl membuka pembicaraan.“Kita sudah pernah pergi bersama sebelumnya dan aku sudah menganggap kalian temanku, tak ada salahnya kita bertemu,” jawab Keenan.Aku mengangguk samar.“Apa kalian percaya dengan alasanku?” tanya Keenan. Raut wajahnya terlihat memelas.“Entahlah,” jawab Cheryl.Sahabatku satu ini memang benar-benar jujur dan apa adanya, sampai sering kali dia lupa menjaga perasaan orang lain.“Begini saja ….” Keenan terlihat mengambil dompet di saku celananya, lalu dia mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada kami.“Setidaknya kalian tahu alamat tempat tinggal dan ka
“Itu ban mobil kamu kempes!” seru Cheryl yang rupanya juga ikut memperhatikan.Aku, Cheryl, dan Keenan buru-buru berjalan mendekat ke arah mobil. Akan tetapi, Keenan terlihat berjalan lebih cepat dan setengah jongkok di samping mobilnya.Benar yang aku lihat, ban mobil bagian depan, sebelah kanan sudah kempes.Keenan bangkit berdiri, lalu melihat ke arah kami. Raut wajahnya terlihat bingung, tapi dia masih berusaha tenang. “Kalian pulang dulu saja. Aku masih harus mengganti ban,” katanya.“Eee, tidak apa-apa, biar aku bantu!” sahut Cheryl, yang buru-buru ke mobil untuk meletakkan tas.Aku akui, meskipun wanita, Cheryl cukup jago mengganti ban mobil. Tinggal di Singapura memang membuat kami lebih mandiri. Sebisa mungkin belajar melakukan semua hal sendiri.Sementara aku yang tidak tahu cara mengganti ban, hanya bisa terpaku, memperhatikan Keenan yang sudah membuka bagian bagasi mobil.“Lilian, kamu kenapa?” tanya Keenan membuatku terkesiap.“A-apa ada orang yang berniat jahat padamu?”
“Tidak apa-apa. Ternyata di area sini cukup banyak orang yang suka lari pagi,” jawab Keenan, yang kemudian mulai berlari, menyusul Cheryl yang sudah cukup jauh berada di depan kami.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling sejenak, lalu ikut berlari, berusaha menyejajarkan langkahku dengan Keenan.“Apa kamu juga suka lari pagi?” tanyaku.“Tidak. Aku lebih suka menggunakan fasilitas yang ada di apartment untuk olahraga,” jawab Keenan.Aku mengangguk dan kembali fokus untuk berlari, karena bicara sambil berlari akan membuatku lebih cepat lelah.Setelah berlari sekitar tiga puluh menit lamanya, kami berhenti di sebuah kursi kosong yang ada di depan salah satu mall, yang biasa menjadi tempat pengunjung mall menunggu taxi.“Kamu larinya cepat sekali, Ryl,” ujarku sambil mengatur napas.“Aku hanya mulai terlebih dahulu, bukan lebih cepat,” jawab Cheryl.Aku duduk sambil meluruskan kaki, diikuti oleh Keenan yang duduk di sampingku.“Hari ini lebih banyak orang yang lari pagi, dibandingkan min