Semua Bab Rahim Penebus Dosa: Bab 21 - Bab 30
35 Bab
KEDATANGAN TAMU
Aku :Kangeeeeeeen!Pulang dong MasGak ada kamu, gak ada yg enak dipeluk Aku membekap mulut, malu sendiri membaca chat yang kukirimkan pada Jevin.“Gatel banget, sih, gue? Iiii!” Aku bergidik, merasa jijik pada diri sendiri.Ini adalah hari ke dua Jevin berada di Jepang. Katanya, sih, ada pertemuan dengan calon investor yang tertarik ingin memberikan modal tambahan kepada Stencilindo. Aku tidak bertanya dia pergi bersama siapa karena teringat dengan syarat pernikahan. Aku juga tidak ingin menanyakan berapa lama dia di sana. Aku takut jika mengetahuinya maka aku akan menghabiskan hari untuk menghitung mundur waktu yang terasa lambat. So, kupikir lebih baik tidak tahu daripada terus menunggu.Aku meletakkan HP-ku di meja, lalu mengambil remote untuk menyalakan TV. Kebetulan saat TV menyala, drama favoritku sedang tayang, Mr. Queen. Aku langsung excited dan memasang mode menyimak. Ya, walaupun aku tid
Baca selengkapnya
GARA-GARA DEWA, VIVIAN, JEVIN
'Ini yang bikin masalah siapa, kenapa malah gue yang tanggung jawab jelasin ini dan itu? Tck! Salah gue juga, sih. Harusnya gue enggak ikut-ikutan masalah beginian. Jadi ribet sendiri, ‘kan?'Akhirnya kupaparkan semua informasi yang kuketahui, baik itu dari Jevin atau pun Vivian. Dewa menyimak dengan serius, bahkan tak bergerak bagaikan patung yang tengah berpikir keras.Setelah ceritaku selesai, Dewa merapatkan punggung ke sandaran, lalu mengurut dahi. “Berarti itu anak saya,” gumamnya rendah, tapi masih terdengar sangat jelas di telingaku. Spontan saja aku terbelalak, terkejut dengan pengakuan itu. “Saya dan Vivian memang pernah melakukan ‘itu’ sebelum nikah. Tapi, saya enggak pernah tau kalau dia hamil. Pantesan aja dia mendesak minta dinikahi. Ternyata ....”Aku malas meminta Dewa menjelaskan skemanya secara mendetail. Aku memilih untuk diam sebentar untuk memahami maksud ucapannya barusan.'Jadi, anak yang di
Baca selengkapnya
DISORIENTASI WAKTU, MOMEN, DAN TEMPAT
Akhirnya aku merasakan bagaimana rasanya melahirkan seorang diri, tanpa suami dan keluarga. Sialnya, aku lupa membawa dompet dan sengaja meninggalkan HP gara-gara kesal dengan Jevin. Gara-gara tak ada satu pun kartu identitas yang kubawa, akhirnya pelayanan yang kudapatkan sangatlah terlambat. Di saat aku sibuk bergelut dengan rasa sakit, seorang suster wanita malah gentol menayaiku nama, alamat, dan nomor HP keluarga yang bisa dihubungi."Sakit, bangsaaat!"Itulah umpatan frontal yang beberapa waktu lalu kuucapkan lewat mulut. Ya, aku memang semarah itu pada si suster. Aku lagi kesakitan, loh! Kenapa harus ditanya-tanya hal yang bisa ditanyakan nanti? Sepertinya kemarahanku meluber ke mana-mana. Semua tim medis tidak ada yang benar di mataku.Aku membenci perawat tua berkacamata yang bawelnya sudah seperti host acara gosip! Aku juga membenci perawat laki-laki yang menusuk jarum infus di tanganku dengan tidak berhati-hati. Sepertinya dia menyamakan
Baca selengkapnya
UNEK-UNEK
Jevin diam, tidak berkata apa-apa dan tidak bergerak ke mana-mana. Wajah yang biasanya kosong dari ekspresi itu sekarang justru terlihat menahan amarah. Tulang rahangnya mengencang dan kedua tangannya menggumpal erat.'Apa dia mau mukul gue?'Dugaan itu sirna seiring dengan kepalan tangan Jevin yang perlahan terurai. Aku melihat dengan jelas bagaimana dia mengembuskan napas sembari menunduk. Sepertinya dia sedang berusaha mengusir kemarahannya.“Kenapa masih di sini?”'Brengsek banget lo, Jena! Kenapa lo ngomong sekasar itu, sih? Sebenarnya lo kenapa?'“Keluar sana! Susul mantan lo! Ambil anak lo sekalian!”Air mataku mengalir deras dari kedua sudut mata. Sepertinya bantal yang menjadi alas kepalaku harus dijemur setelah ini agar kering dan tidak membentuk pulau-pulau kuning gara-gara ketumpahan air mataku.“Maaf, saya enggak bakal ke mana-mana!” tolaknya sambil menyimpan kedua tangan dalam saku cel
Baca selengkapnya
KARAMEL PANAS
“Tolong dicatat baik-baik, saya enggak pergi berduaan sama Vivian. Saya sama Yudha, Atha, Vinsent, dan Gibran.”Aku terdiam mendengar fakta itu. Kupikir dia pergi sendiri. Ternyata semua director setiap divisi juga ikut.“Asal kamu tau, Vivian bukan menyusul saya. Dia ke Jepang karena satu-satunya negara yang dia rasa nyaman untuk menenangkan diri adalah Jepang. Saya sama dia cuma kebetulan nginap di hotel yang sama.”“Kebetulan ...” cibirku sambil tertawa. Alasan klise yang sering digunakan orang terpojok.“Kayaknya apa pun yang saya katakan terdengar seperti lelucon buat kamu, tapi itulah kenyataannya. Kalau kamu enggak percaya ...” dia berhenti untuk mengeluarkan HP dan memberikannya padaku, “... kamu bisa cek semua chat di HP saya.”“Buat apa? Paling yang secret-secret udah lo hapus,” jawabku sembari menempelkan benda pipih itu ke dadanya. Setelah itu kuhapus
Baca selengkapnya
HABANERO
Kesalahan yang dilakukan Jevin adalah pembelajaran berharga untukku. Jangan berjanji kalau tidak yakin bisa menepati. Jangan memberi harapan hanya untuk menyenangkan orang lain.Sekarang Jevin harus menanggung akibat dari janji yang dia buat. Vivian ternyata tetap menginginkan bayi yang kulahirkan. Bahkan Dewa yang semula mengecam perbuatan mantan istrinya sekarang malah ikut-ikutan menginginkan bayiku. Alasan mereka sederhana. Dewa memang sudah menalak Vivian, tapi orang tua mereka belum mengetahui permasalahan ini. Mereka sepakat rujuk dengan pertimbangan Mama Dewa dan Papa Vivian yang memiliki riwayat penyakit jantung.“Coba aja aku punya riwayat pernah mati suri atau serangan ginjal akut, mungkin aku juga bisa pakai alasan itu buat mempertahankan bayiku,” kataku pada Jevin yang duduk di pinggir ranjang sambil mengurut pangkal hidung. Ini adalah kali pertama aku melihat Jevin tampak tertekan menghadapi satu permasalahan.“Orang bego aja tau
Baca selengkapnya
FIGURAN
“Sorry, saya enggak bisa nepati janji.”Ucapan pembuka dari Jevin disambut gelengan kepala Vivian. Sejak lima menit yang lalu, Vivian dan Dewa datang ke kamarku. Tepatnya, Jevinlah yang memanggil mereka untuk menyelesaikan permasalahan anak yang masih mengambang.Vivian dan Dewa duduk di sofa, sementara Jevin berdiri tanpa menyandar pada apa pun. Dia berdiri tidak jauh dari ranjangku. Kedua tangannya terkantongi dengan baik.Aku nyaris tertawa saat tadi Vivian masuk kamar masih mengenakan bantalan fake pregnant. Besar perut palsunya itu kalah kecil dibandingkan perut asliku sebelum operasi. Hal yang membuat perutku tergelitik adalah cara berjalannya yang benar-benar meniru perempuan hamil, sedikit mengangkang dan memegang belakang pinggang seakan perut palsu itu benar-benar berat dan menyulitkannya dalam berjalan.Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah apakah atribut itu masih diperlukan mengingat Dewa sudah mengetahui semua keboho
Baca selengkapnya
J DAN L
“Boleh gendong enggak?”“Boleh, Mbak. Tapi saya kasih tarif, ya. Sejam 10 juta. Biar saya makin kaya, Mbak. Mau beli Disneyland Hongkong soalnya.”Vivian terkekeh. “Sejuta, mah, gampang.”“Uwuw! Susah, ya, tawar-menawar sama menantu sultan, berapa aja dihajar asalkan pengin.”Aku dan Vivian tertawa bersama. Tentu saja obrolan tadi hanya bercanda. Mana mungkin aku menjadikan Levin Putra Adendra—putraku—sebagai alat penghasil uang? Toh, aku juga tidak kekurangan uang.Setelah 48 jam dikurung di inkubator dan menginap 3 hari di rumah sakit sambil menunggu pulihnya tenagaku, hari ini aku dan Levin sudah diperbolehkan pulang. Keluarga besarku mempersiapkan syukuran besar-besaran untuk menyambut kepulangan kami. Ya, sekalian dengan acara tasmiyah dan akikah katanya.Acara diadakan di kediaman Papaku, mengingat aku harus tinggal sementara dengan Mamaku untuk mempelajari cara merawat b
Baca selengkapnya
TAJAMKAN KEPEKAAN
Sebenarnya aku tahu bahwa Jevin tipe lelaki yang masa bodoh dengan omongan orang. Kalau hanya dikatai ‘enggak kreatif’ dan ‘malas mikir’ kurasa hal itu tidak termasuk dalam kategori hinaan baginya. Lihatlah sekarang, wajahnya flat seperti biasa.Aku memberikan klarifikasi seperti tadi hanya sekadar menanggapi ucapan Dewa saja. Kasihan, ‘kan, kalau dia sudah berusaha memancing obrolan, tapi tidak ada yang mematuk umpan yang dia berikan?“Anak-anak desain nungguin di bawah, mau pamitan,” kata Jevin saat hendak mengambil alih Levin yang masih menyusu.“Lah? Mereka belum pulang, ya?”Kurasa sangat wajar jika Jevin mengabaikan pertanyaan yang jawabannya sudah terang benderang. Jelas-jelas Jevin baru saja bilang bahwa mereka mau pamitan, jadi bukankah itu artinya mereka belum pulang?Sekarang Levin sudah berpindah tangan kepada Jevin. Aku melepas apron setelah memastikan kancing bajuku sudah tertutup
Baca selengkapnya
MENGENDALIKAN FIRASAT
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa box Levin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutri bawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status