Semua Bab Zee 'n Zeino: Bab 11 - Bab 20
101 Bab
11. Senja di Panorama
Tatapan mata Zefanya dan Zeino bertemu tatkala daun pintu yang memisahkan mereka terkuak. Keduanya menarik garis senyum di wajah mereka. “Kak Zeino duduk dulu ya, aku mau ambil tas.” Seiring anggukan, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang berada di teras rumah. Sementara Zee melangkah masuk untuk meneruskan niatnya. Selang berapa lama kemudian, gadis pemilik rumah yang tampak berpenampilan santai dengan rambut tergerai, menghampiri dengan membawa segelas air minum. “Diminum dulu, Kak.” “Kamu yakin bisa datang ke pestanya itu, Zee?” tanya Zeino setelah menyeruput setengah air di dalam gelas. “Hmm apa maksudnya bertanya seperti itu?” gumam Zee yang mengira ada niat lain dari pertanyaan itu.  “Kebetulan hari itu, aku jadwal pagi. Acaranya malam 'kan, ya?” Zei
Baca selengkapnya
12. Kata Artikel
Permulaan hari telah jauh merangkak sejak kokok pertama ayam jantan terdengar. Geliat anak cucu Adam yang mulai berpencaran di muka bumi untuk mencari rejeki ditemani sang mentari yang menyemangati. Sinar penguasa hari itu turut membias di sela jendela kamar Zeino. Perlahan kelopak mata pemuda yang masih bergelung memeluk guling, mengerjap. Pandangan pertamanya di pagi hari tertuju pada jam bundar kecil yang terletak di atas nakas. Hoam! Seiring hawa napas pagi yang masih menyisakan kantuk, tangan Zeino meraih telepon genggam yang berdampingan dengan jam bekernya. Ia memeriksa aplikasi pesan yang menampilkan notifikasi kabar belum terbaca. Senyum merekah ketika mendapati gadis yang menemaninya menikmati senja di Panorama mengirim sebuah pesan yang tercatat pada pukul enam pagi. Pemuda itu mengabaikan tumpukan pesan lainnya yang juga belum terbaca. Kak Zeino, semangat ya revisinya. Jangan lupa sarapan dulu.
Baca selengkapnya
13. Kelinci, Kutilang dan Singa
Gadis dalam balutan dress berwarna hitam dengan blazer berlengan tiga perempat dan rambut dipilin menyerupai croissant itu, melangkah meninggalkan area kantor Front Office untuk menuju loker terlebih dahulu sebelum ke kantin karyawan. Sesampai di ruang yang biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang pribadi sekaligus area istirahat karyawan, Zee melepas blazernya dan mengganti sepatu berhak tingginya dengan sepatu tak bertumit. Jam istirahat yang biasanya hanya bisa ia nikmati untuk setengah jam dari satu jam jadwal seharusnya, cukup melepaskan penat di kaki dengan mengganti sepatunya selama makan. Memakai sepatu bertumit tinggi memang salah satu hal yang harus dibiasakannya sejak bekerja di hotel, selain stocking berwarna hitam karena seragam long dressnya berbelahan tinggi dari bagian kaki hingga setengah paha. Tak lupa gadis itu meraih telepon genggamnya, sambil duduk
Baca selengkapnya
14. Keluarga Ayah dan Kenangan
Arloji di pergelangan tangan kiri Zefanya telah menunjukan pukul lima sore ketika ia menepikan sepeda motor matic-nya di sebuah perkarangan rumah bergaya kolonial. Sebuah rumah bercat putih dengan aksen pecahan batu berwarna hitam menghiasi tembok teras. Bangunan yang telah berdiri kokoh sejak zaman penjajahan itu merupakan kediaman keluarga almarhum ayah gadis itu.Berdampingan dengan bangunan tua yang masih terawat itu berdiri sebuah rumah bertingkat yang lebih modern dan megah. Di sana tinggal kakak tertua dari ayah mereka, Om Peter. Sementara di rumah lama tinggal adik bungsu ayah mereka, Tante Mauren yang belum menikah sampai saat ini, bersama keluarga Om Niko dan nenek mereka yang telah renta.Sambil menenteng kotak karton yang berisi bakpao isi kacang merah, Zefanya membuka pintu pagar samping rumah yang biasanya tidak dikunci. Dari pagar tersebut, Zee bisa langsung menuju paviliun di mana kamar Nenek Ruwina berada.Sep
Baca selengkapnya
15. Ciuman?
Bersemu merah pipi Zefanya ketika anggota gengnya Lulu, Rayesa dan Lampita menggoda gadis itu setelah menerima telepon dari Zeino. “Ehem – ehem.” “Jangan lupa maem ya, Sayang.” “Love you, muach muach.” “Love you too, muach!” Bersahutan ketiga gadis centil yang masih sibuk mengurus skripsi itu bertingkah seolah-olah sedang menerima sambungan telepon dari pacar masing-masing. Tentunya mereka sedang mengolok Zefanya. “Ish, apaan sih!” balas Zefanya sambil melangkah kembali ke atas ranjangnya. Keempat gadis yang seumuran itu sedang melewatkan sore hingga malam di rumah Zefanya. Mereka sengaja datang selepas gadis itu selesai bekerja. Tentu saja kedatangan mereka menyambangi rumah gadis itu untuk meminta bantuan mengenai segala hal yang berhubungan dengan skripsi. “Jadi udah baikin nih? Mesra banget kayaknya.” Rayesa menatap dengan mengedipkan sebelah matanya. Zefanya hanya tersenyum tak menjawab. Ia langsung memaink
Baca selengkapnya
16. Nasib Pelayan
Pantulan di kaca rias setinggi badan yang terdapat di sudut loker menampilkan bayangan Zefanya yang telah rapi dengan seragam kerjanya. Ruang ganti sekaligus tempat istirahat karyawan wanita itu tentunya sudah ramai oleh pekerja yang mendapat shift pertama.Semua karyawati dari berbagai departemen atau outlet berlomba untuk segera menuntaskan sesi mematut diri sesuai standar grooming. Mereka berpenampilan professional sesuai dengan jabatan masing-masing. Baik itu dari bagian housekeeping yang bertugas membersihkan kamar, sampai ke bagian Front Office yang menjadi penyambut tamu."GRO? Pelayan?" cecar Mauren waktu Zee berkunjung beberapa hari yang lalu.Memang benar, setinggi apapun jabatan seseorang di sebuah hotel, sebut saja general manager, dia tetaplah seorang pelayan. Karena prinsip utama dalam jasa keramah-tamahan atau hospitality adalah melayani. Hingga tak ada yang salah dari perkataan Tante Mauren itu, ketika ia mengomentari p
Baca selengkapnya
17. Zee, kamu di mana?
Zeino Ardhana, pemuda yang belum mengunjungi barbershop selama tiga bulan terakhir sehingga ujung rambutnya mulai menjangkau kerah baju kemeja berwarna hitam yang dipakainya, terlihat sedang memasang arloji di pergelangan tangan kirinya. Petunjuk waktu itu telah sampai pada jadwal rencana keberangkatannya ke hotel tempat berlangsung pesta ulang tahun Talita.Bergegas ia meraih benda-benda yang tak mungkin ia lupa, dompet, handphone, kunci mobil, sekotak rokok dan tentunya pemantik api. Setelah memastikan semua masuk ke saku baju dan celananya, pemuda itu segera keluar dari kamar.Sesampai di ruang tengah kediamannya, Zeino melihat ayahnya sedang berada di sana dalam balutan busana yang juga rapi seperti dirinya. Tak lama kemudian, ibunya menyusul. Wanita yang terlihat anggun itu tersenyum melihat pada putra keduanya.“Zeino, kamu udah siap juga?” tanyanya sambil menatap tampilan Zeino.“Papa, Mama mau ke mana?” selidik pemuda itu“Tent
Baca selengkapnya
18. Bertemu Tak Menyapa
Empat pasang mata di meja VIP menatap dengan senyum semringah pada kedua muda-mudi yang sedang menuju ke arah mereka. Langkah Zeino mengekor Talita si gadis yang sedang merayakan ulang tahun pada malam itu dengan pikiran yang masih tertuju pada Zefanya.Sesampai di meja bundar yang telah ditata dengan berbabagai macam peralatan makan serta dekor bunga hidup di bagian tengah, Zeino menganggukan kepala pada papa mamanya dan tentu saja orangtua Talita.Pemuda itu hanya menarik seulas garis tipis di wajahnya ketika mama Talita memuji dan mengatakan jika Zeino makin terlihat gagah. Ia tak terlalu menghiraukan percakapan sahut menyahut antara dua keluarga yang sudah menjadi kolega bisnis sejak lama.Berbeda dengan Talita yang tak bisa menyembunyikan raut bahagia mendengar celotehan orang tua mereka yang membahas masa lalu. Masa di mana ia dan Zeino pernah terlibat dalam kegiatan bersama di usia belia.“Kamu makin ganteng
Baca selengkapnya
19. Teman?
Zeino kembali ke ballroom dengan tangan hampa. Namun setelah mendengar informasi yang ia terima jika Zefanya sedang bekerja, ia mulai merasa tenang. Kekhawatirannya jika ada hal buruk menimpa gadis itu perlahan sirna, berganti rasa sesal. Ketidaksukaannya dengan pekerjaan Zee yang tak menentu, membuatnya berpikir ulang. Entah bagaimana membuat kamu mengerti, jika pekerjaan ini bukan satu-satunya di dunia, Zee. Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyajikan dessert, Zefanya segera menghadap pada Pak Willy, manajer yang bertanggungjawab pada malam itu. Beruntung ia hanya diperbantukan sebagai pramusaji tak sampai harus clear up atau membersihkan seluruh meja dari perlengkapan makan yang telah terpakai. “Good job, Zefanya. Tadi kamu luwes sekali. Seperti yang sudah terbiasa.”“Thank you bantuannya ya, Zefanya, Putri. Kedua gadis dengan postur yang seimbang itu
Baca selengkapnya
20. Tumbang
Sang fajar telah lama menyingsing, membawa hari baru setelah malam panjang yang melelahkan. Hari Minggu pagi ini, terasa berbeda. Zefanya yang biasanya telah meninggalkan kamarnya dalam keadaan rapi untuk menunaikan kewajibannya, hari ini masih menggelung dalam selimut. Kedua lengannya memeluk erat boneka anjing ukuran besar berwana cokelat tua yang ikut merasakan hangatnya kain putih tebal yang melilitnya. Bertambah hangat karena suhu tubuh gadis yang memeluknya sudah berada di ambang batas normal.Tok!Tok!Tok!Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar seiring seruan suara yang memanggil penghuninya.“Zee!”Perlahan daun pintu terkuak. Kartika datang menghampiri ranjang. Wanita paruh baya itu lalu menyibak helaian rambut yang menutup separuh wajah putrinya. Lama ia menaruh punggung tangannya di dahi gadis itu.“Badan kamu panas. Kamu demam, Zee!”Zefanya menggeliat, perlahan kelopak matanya menge
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status