Semua Bab My Favorit Servant: Bab 31 - Bab 40
106 Bab
Bab 31. Pelukan Arinda
Alrix menghalau anjing kecil itu ke dalam kandang, khawatir jika dia akan terus mengikutinya sampai ke dalam kamar Tuan Mudanya. Anjing kecil itu menyalak manja, seakan tak ingin di tinggal olehnya dan ingin selalu mengikuti kemanapun Alrix pergi. Namun, Alrix hanya mengusap kepalanya dan menutup pintu kandang kecil berisi beberapa ekor anjing yang ada di teras villa. Selepas mengurus anjing yang terus menyalak, pria yang memiliki sifat sabar itu melangkah lebar. Menaiki tangga untuk menyusul Tuan Mudanya ke kamar. Saat baru berbalik ke lorong kanan, dia melihat Deondra tengah berdiri tegak di depan pintu. "Kenapa Tuan Muda tidak langsung masuk?" batinnya bingung, menghentikan langkahnya tak jauh dari sana. Dia melihat tangan Deondra terangkat, seakan tengah menghalangi seseorang agar tak keluar dari sana. "Sedang apa kau di kamarku?" Terdengar suara Deondra yang seakan bicara dengan seseorang. Alrix menajamkan lagi pendengarannya.
Baca selengkapnya
Bab 32. Membunuh Kau Dan Dia
Alrix menggeleng tak percaya saat melihat apa yang sudah terjadi di hadapannya. Dia beralih pada kepala pelayan yang ada di sampingnya, yang langsung menunduk sopan. "Kau tahu bahwa Tuan Muda sudah mulai memiliki perasaan pada gadis ini, bukan?" Alrix bertanya yang langsung di pahami maksudnya oleh Kepala pelayan. "Jadi, simpan dulu rahasia ini dari para pelayan lain. Buatlah alasan yang jelas tentang hubungan kedua orang ini agar mereka tidak curiga pada Arinda. Kau mengerti?""Mengerti, Tuan."  Kepala pelayan itu mengangguk lagi, lalu undur diri saat mendapat perintah lewat gestur wajah. Kembali melihat kearah Tuan Muda dan Arinda. Dua sosok itu sedang diam satu sama lain, saling menatap dengan wajah datar, seperti sesama teman, bukan seperti pelayan pada majikan. "Bagaimana ceritanya kau bisa di kejar anjing-anjing itu, Arin?" Alrix mendekat, membuat Arinda mencebikkan bibirnya karena kesal mengingat insiden yang baru saja di ala
Baca selengkapnya
Bab 33. Jangan Mengandalkan Ego
Arinda duduk di antara batu-batu sungai berair hangat tak jauh dari villa. Memandangi arus sungai yang mengalir, terbelah saat menghantam bebatuan yang di lewatinya. Kakinya terjuntai menyibak air, tak ada niatan mau ikut mandi seperti teman-temannya yang lain. "Bagaimana keadaan Ayah?" gumamnya menatap langit yang membiru. Lima hari ini hanya itu saja yang dia pikirkan. Seusai pertanyaan Alrix, dia seperti berencana untuk mengunjungi Ayahnya dalam waktu dekat. Dia ingin menatap wajah ayahnya, bicara dan mengadu tentang semua rasa sakit yang di alaminya. Walaupun tahu ayahnya takkan menjawab ataupun mendengar, setidaknya ada seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya. "Kamu tidak ikut mandi?" Seseorang menegurnya, membuat Arinda mendongak. "Eh, tidak, Kak. Aku tidak biasa mandi di tempat terbuka seperti ini," balasnya sambil tersenyum. Pelayan pria itu balas tersenyum kecil. Dia duduk di batu yang bersebelahan dengan
Baca selengkapnya
Bab 34. Melepas Jaket
Deondra sudah lebih dekat dengan gadis itu, hanya tinggal melompati bebatuan agar bisa sampai di tengah sungai. Di tatapnya sejenak wajah Adinda yang tengah diam memandangi air sungai. Sayup-sayup dia juga mendengar riuh rendah suara para pelayan wanita lain yang tengah berenang di sisi belakang tempat Arinda duduk. Menoleh lagi kearah Alrix, sekretarisnya itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya mantap. Seakan meyakinkan Tuan Mudanya untuk terus melanjutkan langkah. Baiklah, menepis semua ego dan gengsi yang ada di dalam hatinya. Deondra akhirnya melompat ke atas batu dan mendekati Arinda. Gadis itu terlihat masih belum sadar dengan kedatangannya. Bahkan saat Deondra melihat bahunya yang tersingkap akibat terjangan angin, dia langsung melepaskan jaket yang di pakainya dan melemparkannya ke pangkuan Arinda. Gadis itu terperanjak, langsung mendongak kearah Deondra yang tengah berdiri di dekatnya. Dia refleks bangkit dan menyeka air mata yang masih
Baca selengkapnya
Bab 35. Siapa Gadis Itu?
Masih terdiam tanpa ada yang berniat membuka suara. Arinda menoleh kearah Deondra yang duduk nyaman di sampingnya. Dia sudah kesal sekarang, sedang apa Tuan Mudanya di sini kalau bicara saja tidak mau! "Sedang apa Anda di sini berlama-lama, Tuan? Tidakkah Anda takut para pelayan lain-""Apakah mereka berani membuat kesimpulan tentang diriku?" Deondra menyahut, memotong ucapan Arinda yang sudah dia ketahui akan di bawa kemana. "Lagipula, kau yang akan di untungkan jika terjerat gosip bersamaku. Sepertinya kau tidak akan merasa rugi untuk hal itu," lanjutnya seraya tersenyum angkuh. "Aku justru malas sekali berurusan denganmu." Suara cibiran terdengar jelas oleh Deondra. Di tatapnya wajah Arinda yang tengah melihat kearah depan. "Kau benar-benar tidak tahu diri, ya?" Deondra bertanya dengan nada sinis, membuat kerutan di dahi Arinda timbul. "Soal apa, ya, Tuan?" "Cih, baru kali ini aku menolong seseorang dan tak m
Baca selengkapnya
Bab 36. Kasih Sayang Tuhan
Deondra merenung di balkon kamarnya, menatap puncak bukit yang menghijau akibat hutan yang masih terjaga. Sesekali kicau burung terdengar nyaring, angin berhembus, dedaunan jatuh. Hatinya serasa hidup, tak seperti di kota yang hanya berhadapan dengan realita. Puncak ini, terkenal akan keindahannya. Hanya saja, perkampungan warga ada satu kilo meter dari jarak villa. Maka dari itu hanya satu-satu orang yang di lihatnya selama di sini. Membawa cangkul dan memakai topi anyaman bambu, menuju perkebunan mereka di sisi bukit. Alrix memasuki kamarnya saat tak mendengar suara perintah, padahal dia sudah mengetuk pintu. Di tangannya, sekeranjang buah strawberry segar terlihat menggiurkan. Meletakkannya di atas meja, Alrix melihat Arinda yang masih tak sadarkan diri. "Berapa lama lagi gadis ini sadar? Apakah dia baik-baik saja?" batinnya bertanya, lalu menghela napas. "Tuan Muda?" Alrix mengambil lagi keranjang itu lalu berjalan kearah balkon dan mendapati Deondra di
Baca selengkapnya
Bab 37. Kesadaran Arinda
Beberapa hari lagi menuju dua bulan sejak mereka pulang dari liburan di atas puncak. Arinda masih sama seperti gadis tiga bulan lalu. Masih berusaha untuk melupakan rasa sakit dan menerima semua kenyataan yang sudah terjadi padanya. Sadar bahwa Deondra selalu berusaha mendekati dan menarik perhatiannya, tapi hati yang retak tak mudah lagi merasakan kagum apalagi cinta. Bukankah semua itu hanyalah tinggal menunggu kata menerima? Jika sekali saja dia menerima pesona Deondra dan menerima perlakuan baiknya, maka tinggal menunggu waktu dia akan kembali jatuh dan tersakiti. Hari ini, sudah hampir menjelang siang. Arinda tengah mengepel rumah dengan kain. Dia berjongkok, melayangkan tangannya kekiri kanan untuk menggapai lantai yang harus di bersihkan. Selama ini, dia selalu mendapat tugas-tugas kecil, sekedar membantu dan juga menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan. Entah perasaannya saja atau tidak, yang pasti ini semua ada kaitannya dengan Deondra dan Alrix yang sedikit berubah
Baca selengkapnya
Bab 38. Mengunjungi Ayah
"Saya akan menemui Ayah nanti sore, sekaligus menemui sahabat saya. Apakah Tuan Muda tidak marah jika saya selalu pergi?" Bangkit dari duduknya, Arinda mensejahterakan dirinya dengan Alrix. "Santai saja, Tuan Muda tidak marah. Lagipula kau pergi setelah semua tugasmu selesai. Hanya saja satu hal yang harus kamu ingat, jangan pulang terlalu malam." Arinda mengusap air matanya, lalu tersenyum kecil. "Baik, saya akan selalu mengingatnya. Terima kasih, Tuan. Saya pamit bekerja lagi," ujarnya sambil menunduk. Alrix mengangguk mengizinkan. Membiarkan Arinda melangkah keluar dari ruangan yang membuat Deondra harus menyembunyikan tubuhnya di balik lemari hias yang ada di dekat sana. Dalam persembunyian, dia dapat melihat Arinda yang terus berjalan menuju dapur. Sesekali tangannya terangkat seperti menyeka air mata. Deondra keluar dari balik rak. Dia mengusap rambut dan wajahnya dengan gusar untuk mengurangi perasaan bersalah. Memasuki ruan
Baca selengkapnya
Bab 39. Menangislah
Melangkah keluar kamar, Arinda membenarkan letak surainya sambil berjalan menuju dapur. Dia menemui kepala pelayan yang hanya mengangguk saat melihat Arinda sudah dekat.Sebelumnya dia sudah tahu dari Alrix, jadi tidak perlu banyak-banyak bertanya. "Eh, Arin." Langkahnya terhenti, melihat kepala pelayan yang memanggilnya. "Ada apa, Kepala?" tanyanya sopan, mengikuti langkah Kepala pelayan yang mulai mendekat. "Boleh titip Youghyt? Aku ingin membuat salad buah. Kebetulan habis," ucapnya sambil mengulurkan uang. "Oh, boleh. Satu saja, Kepala?""Hmm." Dia mengangguk, melihat penampilan Arinda dari atas sampai bawah. "Hati-hati, jangan pulang terlalu malam." Pesan terakhir membuat Arinda mengangguk sopan. "Baik, saya pergi dulu, Kepala. Mudah-mudahan ada kabar baik setelah dua minggu kemarin," balasnya membuat gumam Amin terdengar. Setelah itu, Arinda kembali melangkah menuju pintu d
Baca selengkapnya
Bab 40. Pengaduan
"Kamu benar," ucap Arinda, tersenyum lebih lebar. "Aku akan menangis setelah merasa lelah. Tapi hanya menangis, belum saatnya aku menyerah, bukan?" Frielza tersenyum, diikuti Reta. "Kalau bisa jangan menyerah. Terus berjuang, kalahkan kekejaman takdir yang menimpamu." Arinda mengangguk, lalu menghela napasnya untuk menghilangkan segala rasa sesak. Entah mengapa, setelah mendengar penuturan kedua temannya ini, hatinya seakan lega, tidak ada beban yang berat lagi di sana. Memang, saat terkena musibah, tempat bersandar amat di butuhkan untuk berkeluh kesah. Selain itu, dia juga bisa mendapat pencerahan dan juga kata-kata yang mengandung penyemangat. Arinda bangga akan hal ini, bangga karena memiliki dua orang teman yang mencintainya tulus apa adanya. Saat sudah jatuh miskin beginipun, dua temannya itu masih mau berteman dengannya. Tidak ada raut wajah jijik dan juga menjauh dari mereka. "Kita masuk sekarang, yuk! Setelahnya kita ke ca
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status