Semua Bab Ramalan Buku Merah: Bab 41 - Bab 50
108 Bab
- 40 -
Airen terbangun dari tidur siang karena perutnya terus berbunyi pertanda minta diisi. Kebetulan Airel juga sedang memasak di dapur, jadi aroma masakan Airel mampu menggoda indra penciumannya. Kemudian ia berjalan menuju dapur dengan tangan kanan masih memegang buku merah. Ya, sejak pagi ia memang berusaha memahami isi buku merah hingga tertidur."Aku lapar," ujar Airen terduduk lesu dan menempelkan pipinya di meja makan."Tunggu sebentar. Ini sudah siap dan tinggal disalin," balas Airel sambil mengambil dua piring kosong.Airen menegakkan posisi duduknya lalu meletakkan buku merah di atas meja. "Buku ini benar-benar sudah menguras energiku," keluhnya membuat Airel tersenyum simpul."Padahal dari tadi aku hanya melihatmu tidur di sofa," ledek Airel sembari meletakkan piring yang telah diisi dengan nasi goreng dan telur ceplok di atasnya."Aku betul-betul menyelidiki isi buku ini," sangkal Airen lalu memasukkan sendokan pertama ke mulutnya.Ai
Baca selengkapnya
- 41 -
Mira belum bisa menenangkan dirinya meski pemakaman Anggi sudah usai. Air matanya berulang kali berair tiap mengingat kenangan bersama sahabatnya itu. Ia tertunduk lesu saat melihat gambar dirinya dan Anggi dalam sebuah foto yang ada di atas pangkuannya. Dua gadis kecil tersenyum lebar seakan tidak pernah merasakan pahitnya hidup.Airel dan Airen duduk di samping Mira. "Kita akan lewati ini bersama, Anggi pasti akan sedih jika kau terus menangis." Airel menenangkan sembari mengusap-usap bahu Mira.Mira menyeka air matanya lalu melihat si Kembar bergantian. "Terima kasih," ujarnya. Lalu ia menunjukkan liontin biru yang sedang dikenakannya pada si Kembar. "Ini adalah pemberian dari Anggi, dengan ini aku akan selalu mengingatnya." Mira mengecup liontin yang berbentuk tetesan air itu dengan mata terpejam seakan merasakan kehadiran yang begitu dekat dari sahabatnya.Mira membuka matanya perlahan, terlihat dia berusaha tegar untuk tidak terus menangisi kepergian Anggi
Baca selengkapnya
- 42 -
Airel duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Matanya lurus menatap Edi yang ada di hadapannya. Sama dengan pertemuan sebelumnya, mereka hanya dipisahkan oleh dinding kaca yang dilapisi dengan terali besi."Aku sudah menduga kau pasti akan memintaku untuk datang lagi," ujar Airen tersenyum semringah.Padahal tanpa diminta Edi pun, Airel tetap akan datang. Namun semuanya seperti kebetulan yang telah diatur. Pada hari sebelumnya, Airel mendapatkan telepon dari sipir yang telah ia jadikan sebagai perantara dirinya dan Edi. Sipir itu mengatakan bahwa Edi ingin membicarakan hal yang penting dengan Airel."Sudahlah, Rel. Langsung ke inti permasalahannya saja, aku akan membantumu tapi aku tidak tahu hal apa yang kau ingin aku lakukan.""Baiklah," Airel menegakkan tubuhnya. Tatapannya menembus manik mata milik Edi lalu dengan anggun Airel berkata, "Apakah kau pernah melakukan hal buruk atau merugikan orang lain di masa lalu? Sehingga ada orang yang memiliki cuku
Baca selengkapnya
- 43 -
Airen terlihat fokus duduk di ruang tamu. Tangan kirinya memegang sebuah kertas yang sudah lecek dan tangan kanannya memegang buku merah. Matanya berkali-kali silih berganti menatap kertas itu lalu ke buku merah lagi. Tak lama kemudian senyumnya mengembang, ia menemukan sesuatu yang membuat usahanya tidak sia-sia.Airel datang dari arah dapur langsung duduk di samping adiknya. Ia meletakkan dua cangkir minuman favorit mereka, cokelat hangat. Melihat Airen yang tersenyum sendiri, membuat Airel penasaran."Apa yang telah kau temukan?" tanya Airel seraya menaikkan sebelah alisnya.Airen menyerahkan kertas yang lecek pada kakaknya. Airel melihatnya sekilas, kertas itu berisi tulisan, "Kafe Digulis sekitar pukul 15.00-16.00". Sesaat Airel mengernyitkan dahinya, ia tahu itu adalah kertas yang telah diberikan si peneror pada Anggi.Kemudian Airen meletakkan buku merah di hadapan Airel tepat di halaman lirik lagu Jeremy."Keduanya menggunakan tuli
Baca selengkapnya
- 44 -
Airen masih tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Puluhan foto-foto Kirana disimpan oleh Alfie, bahkan beberapa foto tampak kemesraan di antara mereka berdua. Airen merasa heran dengan kedekatan itu. Ada hubungan seperti apa antara ibunya dengan Alfie? Bukankah mereka hanya berteman?Selain foto-foto itu, Airen juga menemukan sebuah kotak cincin berwarna biru dongker, warna kesukaan ibunya. Ia membuka kotak itu dan tampak sebuah cincin emas di dalamnya. Ia pun mengeluarkan cincin itu dan melihatnya lebih detail. Terukir nama ibunya di bagian dalam cincin.Ada apalagi ini? Setelah foto mesra, sekarang malah ada sebuah cincin, apakah mereka pernah menikah? Atau mereka menjalin hubungan di belakang ayah? batin Airen kian penasaran.Kemudian Airen mengecek barang lainnya, ada dua buah kertas—satunya tergulung dan satunya lagi terlipat dua—di bawah tumpukan foto. Ia membuka kertas yang terlipat dua dan berukuran lebih besar dari kertas s
Baca selengkapnya
- 45 -
Airel berjalan lesu mendatangi Alfie. Ia masih tidak tahu harus percaya pada siapa. Apakah kepada kembarannya atau lelaki beruban yang ada di dekatnya? Airel menarik kursi lain lalu duduk di samping Alfie. Matanya lekat menatap Alfie yang duduk tersandar sembari tangan kanan memegang dada."Tidak semua yang dikatakan Airen adalah kebenaran, meski beberapa hal Paman tidak bisa menyangkal," Alfie mulai bersuara dengan mata sengaja terpejam. Ia seakan merasakan sakit teramat dalam yang menghujam dadanya. "Yofi benar, harusnya aku tidak memendam terlalu lama rahasia ini. Semuanya bak bola salju yang kian hari semakin membesar. Dan hari ini bola itu telah menghantam Airen."Airel tidak memberikan respon apa-apa. Ia hanya duduk terdiam di dekat Alfie. Selain memberikan waktu untuk pamannya menenangkan diri, Airel masih berusaha untuk memahami perselisihan yang tengah terjadi dari dua sisi."Paman memang menyukai ibumu bahkan sebelum ia mengenal ayahmu. Ia satu-satunya
Baca selengkapnya
- 46 -
Wanita itu menarik kursi karyu yang ada di depan Airen. Ia meletakkan tas bahunya di meja lalu langsung duduk. "Apakah kau sedang menunggu seseorang?" tanya wanita itu pada Airen lalu memberi kode pada pelayan untuk menghampirinya. "Tidak, aku hanya datang sendiri," balas Airen berusaha menutupi kecanggungannya. Wanita itu tampak tak enak hati. "Apa kau butuh waktu sendiri?" Airen tersenyum tawar. "Hanya kebetulan memang sendiri. Bagaimana denganmu?" Belum sempat wanita itu menjawab, seorang pelayan yang telah dipanggilnya datang menghampiri. "Satu cappucino less sugar dan roti bakar manis dengan topping keju," ujarnya memesan makanan dan minuman. "Kau tidak ingin menambah pesanan lagi, Rel? Aku yang akan mentraktirmu, anggap saja sebagai salam perkenalan dariku." Airen berusaha terus tersenyum meski otaknya sedang berpikir. Airen tidak mengerti maksud wanita yang terus memanggilnya Airel itu. Salam perkenalan? Apakah mereka
Baca selengkapnya
- 47 -
Seulas senyum kecil terukir di bibir Mira, ia memberikan sambutan hangat pada Airel yang baru tiba di kafe. Mereka telah membuat janji bertemu di kafe Digulis, tempat dimana untuk pertama kali mereka saling kenal. "Kenapa Airen tidak ikut?" tanya Mira yang hanya melihat Airel datang seorang diri. Biasanya mereka selalu bersama dan tidak akan berpisah jika bukan urusan penting. Airel tidak langsung menjawab dan terdiam beberapa saat. "Apa Airen sakit?" Mira kembali bertanya. "Airen kabur dari rumah," jawab Airel singkat membuat Mira terkejut. "Apa sebabnya ia kabur? Kalian bertengkar ya?" "Panjang ceritanya, lebih baik kita bahas tentang Anggi saja dulu," pinta Airel dan berusaha tenang. "Tapi, Rel. Kenapa kita tidak mengutamakan Airen dulu?" "Paman Alfie juga sedang mencari Airen. Jangan terlalu khawatir dan membuat kita jadi gegabah. Kita harus tenang untuk menghadapi hal-hal semacam ini." Mira mengangguk samar
Baca selengkapnya
- 48 -
Sudah beberapa hari Airen tinggal dengan Inggit. Itu artinya beberapa hari juga dia telah meninggalkan rumah. Namun informasi mengenai ayahnya belum ia dapati. Semua ingatannya seakan hilang tanpa jejak. Memang tidak banyak kenangan yang ia ukir bersama sang ayah. Saat berumur enam tahun ia sudah tidak pernah tau keberadaan ayahnya itu.Untuk sementara, tersurut pikiran Airen mencari ayahnya. Ia tak mungkin harus membuang banyak waktu untuk melakukan hal yang minim akan petunjuk. Ia harus memikirkan bagaimana ke depannya untuk bisa bertahan. Tak mungkin ia terus menjadi parasit di kehidupan Inggit. Setidaknya ia harus mendapatkan penghasilan sendiri sebelum isi tabungannya habis. Hal itu mengingatkannya pada Airel yang sering mengatakan bahwa suatu saat mereka harus bisa hidup mandiri tanpa siapa pun.Airen meraih kameranya yang terletak di atas meja. Ia melihat galeri foto untuk melepas rindunya pada Airel. Ia tersenyum sendiri ketika melihat gambar dirinya dan Airel
Baca selengkapnya
- 49 -
Airel terduduk dan tertunduk lesu. Berhari-hari ia mencari Airen namun tidak membuahkan hasil apa-apa."Apa kau tetap tidak mau meminta bantuan pada kepolisian?" tanya Alfie yang duduk di hadapan Airel."Aku hanya tidak ingin masalah ini terpublikasi. Itu akan membahayakan Airen.""Tapi hilangnya Airen sudah melebihi dari 2x24 jam. Paman tidak ingin kita banyak membuang waktu," ujar Alfie penuh khawatir.Setelah mempertimbangkan ucapan Alfie akhirnya Airel setuju. "Baiklah, aku akan meminta bantuan pada Inspektur Yoga." Jemari Airel langsung menari di gawainya mencari kontak inspektur muda itu lalu melakukan panggilan."Halo, Rel," jawab Inspektur Yoga dari seberang telepon.Airel membalas sapaan itu dan langsung menceritakan perihalnya. Inspektur Yoga sempat terkejut mendengar Airen yang kabur dari rumah. Namun setelah dijelaskan dengan singkat oleh Airel, ia pun akhirnya mengerti. Kemudian Airel memutuskan sambungan setelah Inspektur Yoga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status