Semua Bab A Wife's Diary: Bab 51 - Bab 60
92 Bab
Dua Garis Merah
Pagi itu, tidak seperti biasanya, aku merasa lemas dan pusing. Hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Kepala terasa teramat berat, tubuh gemetar dan mual di bagian perut. "Mamah kenapa?" tanya Mas Fadil yang terlihat sudah rapi. "Nggak tahu, masuk angin kayaknya," jawabku asal. "Periksa ke dokter, yuk!""Nggak usah, istirahat sebentar juga sembuh."Mas Fadil yang sadari tadi menoleh ke arah jam dinding pun bergegas pergi untuk bekerja. Tinggalah, aku terbaring seorang diri. Si sulung datang membawa semangkuk bubur yang dibeli di depan jalan. Baru saja makan beberapa suap, tiba-tiba perut ini terasa mual. Aku berlari ke kamar mandi. Semua yang kumakan akhirnya berpindah ke lantai kamar mandi. "kenapa, mah? Jangan-jangan, hamil," ujar Luna seraya bergidik. Aku menoleh dan tersadar seketika. Berjalan menuju ke depan kalender yang tergantung di dinding. Baru sadar jika sudah dua bulan ini tid
Baca selengkapnya
Kelainan janin
Entah kenapa hati ini menjadi mudah sakit dan tergores. Hal-hal sepele pun bisa membuatku terluka dan menangis. Seperti saat Mas Fadil tidak membelikan makanan yang aku pesan. Hati ini pasti terasa sakit dan dongkol. Akhirnya, mendesak bulir-bulir bening meleleh tanpa bisa ditahan. Mungkin suamiku bukan sengaja untuk tidak membelikan makanan yanga aku pesan. Namun, terkadang, jenis makanan yang diminta agak sulit didapatkan. Hampir setiap hari, ada saja makanan yang ingin dibeli. Kondisi tubuh ini yang belum stabil membuat selera makan berubah-ubah. Makanan yang dulu menjadi favorit, bisa sangat dihindari pada saat seperti ini. Sebenarnya, pengalaman hamil ke tiga anak yang lain pun tidak jauh berbeda dengan yang sekarang. Akan tetapi, tetap saja, tubuh ini seperti merasakan hal yang asing dan membuatku tidak nyaman. Hari yang semakin sore membuat perutku terasa kosong karena seharian tidak satu butir nasi pun yang masuk ke dalamny
Baca selengkapnya
Salah Diagnosa
Semenjak usia kandungan tujuh bulan. Aku mulai rajin memeriksakan diri ke dokter. Hari itu aku berencana untuk periksa di rumah sakit favorit kami. Setelah mengantri lama, kami pun mendapat giliran. Masuk ke sebuah ruangan bercat putih. Berbekal hasil USG sebelumnya, akhirnya aku kembali di USG. "Posisinya sudah bagus, plasenta nya juga udah naik," ujar sang Dokter sambil memutar-mutar sebuah alat yang telah diolesi cairan dingin di atas perutku. "Jadi gimana, Dok? Apa saya bisa melahirkan di sini?" Pengalaman saat persalinan Fariz di tempat ini membuatku nyaman dan ingin kembali melahirkan di sini. Namun, jawaban dokter membuatku patah hati. "Posisi bayi normal, Ibu juga riwayat melahirkan normal semua, sebaiknya cari bidan terdekat saja.""Kalau pengen lahiran di sini nggak bisa?""Boleh, tapi tidak ditanggung sama asuransi. Jadi bayar sendiri. Di Rumah sakit itu khusus untuk yang memiliki kendala, sepe
Baca selengkapnya
Antara Hidup Dan Mati
Aku segera menghubungi Mas Fadil. Memberitahukan bahwa anaknya akan segera lahir. [Aku sudah di klinik, sudah pembukaan empat][Allhamdulilah, aku segera putar balik ke sana]Chat pun berakhir karena sakit di perut mulai terasa kembali. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling.  Terlihat beberapa wanita hamil sedang menunggu sambil meringis seperti diriku. Mereka di dampingi suami dan kerabatnya. Aku hanya tersenyum getir melihat diriku yang seorang diri di klinik ini. Selang beberapa menit Ibu datang bersama adik bungsuku. "Sudah pembukaan berapa sekarang?" tanya Ibu khawatir. "Nggak tahu, belum periksa lagi.""Suami kamu sudah dihubungi?""Sudah."Aku kembali duduk, para petugas klinik tampak memakai APD atau alat perlindungan diri. Aku hamil di masa pandemi menyerang, sebuah penyakit yang datang dari negeri tirai bambu yang telah mewabah ke seluruh wilayah  Indonesia. Kami pun diwajibk
Baca selengkapnya
Drama Persalinan
Di dalam ruang persalinan bayi sungsang. Dua orang dokter,  dua bidan dan dua perawat mengerumuni diri ini. Aku dibaringkan dengan posisi kaki terbuka lebar. Kedua kaki diangkat dan diletakkan di sebuah penyangga, persis seperti di film-film barat. Aku pasrah mengikuti semua perintah Dokter. Mas Fadil dan Ibu terus menemani,  menatapku dengan ekspresi cemas, tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka seolah terhipnotis dengan suasana tegang dan kepanikan petugas kesehatan. Dokter kembali berteriak agar aku tidak mengejan. Aku pun juga tidak ingin mengejan, tapi bayi yang ada di dalam sini, terus mendorong untuk keluar. "Tahan, Bu. Jangan ngerjain dulu!' hardik seorang Dokter. Aku tidak bisa berkata-kata apa-apa lagi, hanya mengangguk perlahan dengan isyarat. Tenaga sudah habis untuk menahan bayi agar tidak mendorong keluar. " Pakai maskernya!" bentak seorang dokter saat masker yang aku pakai mulai merosot ke bawa
Baca selengkapnya
Pelayanan Yang Buruk
Aku masih terbaring lemah, terkulai di atas ranjang ruang persalinan. Mas Fadil pergi ke ruang bayi, sedangkan ibu sudah pulang ke rumah. Di dalam ruangan itu, hanya ada aku seorang diri. Merasakan sisa-sisa sakit pasca melahirkan. Perut masih terasa mulas dan melilit. Tapi, tidak seorang pun yang datang menghampiri. Netraku mengedar ke sekeliling. Tenggorokan terasa kering, hanya ada teh hangat yang diberikan Ibu di atas nakas yang berada di samping ranjang. Namun, sekedar untuk menggapai  plastik teh hangat itu pun , rasanya begitu sulit. Tubuh ini rasanya lemas tak bertulang, untuk begeser demi menggapai teh hangat pun rasanya tidak berdaya. Aku masih menahan sakit, bekas jahitan dan bekas melahirkan. Aku hanya bisa beristigfar di dalam hati, sambil nunggu seseorang datang membantu. Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya seorang petugas keamanan datang bersama seorang suster yang membawa berkas-berkas di tangannya. Sang suster dan p
Baca selengkapnya
Pengaduan ke LSM
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Perasaan gelisah, memikirkan sang buah hati yang belum mendapatkan setetes pun ASI sedari lahir. Perut tiba-tiba terasa kosong dan perih, tidak satu butir nasi pun yang masuk ke dalam perut pasca melahirkan.Tubuh ini semakin lemah dan lemas. Aku berusaha untuk menggapai kantong plastik yang berisi makanan yang telah dibeli dari toko swalayan oleh Mas Fadil. Tidak tega rasanya untuk membangunkan lelaki yang tampak tidur terlelap itu. Dia sudah capek seharian mengurus diriku dan sang bayi. Aku menatap nanar sepotong roti yang tersisa dan memakannya perlahan, sambil membayangkan bayi kecil yang belum sempat merasakan ASI. Sesaat kemudian, Mas Fadil tampak terbangun dan menatapku heran. "Ayah lapar?" tanyaku seraya menatapnya lekat. Ia terlihat mengangguk pelan. Aku pun membagi du potongan roti yang masih tersisa. Kami kelaparan di rumah sakit itu, jangankan untuk penunggu pasien untuk pasiennya pun tidak ada yang diberi
Baca selengkapnya
Pulang ke rumah
"Lalu, apa Ibu dikasih snack setelah melahirkan?"  tanyanya kepadaku. "Boro-boro, Pak. Di Kasih minum aja nggak jawabku tegasLelaki berpostur gempal itu kembali melirik tajam ke arah karyawannya. " Saya sebagai Direktur Utama Rumah Sakit ini minta maaf atas kelalaian karyawan kami. Tapi alangkah baiknya jika Ibu langsung mengadu ke ke pihak kami langsung. Bisa ke bagian informasi. Kami jadi malu karena ditegur langsung dari atas dan semua rumah sakit yang lain mengetahuinya."Sang Direktur Utama tampak kesal dan menatapku sedikit tajam. Ia mungkin menyayangkan laporanku atas pelayanan rumah sakit yang ia kelola. Akan tetapi, aku hanya ingin memberikan efek jera terhadap seluruh petugas Rumah sakit agar lebih profesional dan tidak menyepelekan pasien. Bukan pertama kalinya pasien yang mengeluh akan buruknya pelayanan rumah sakit tersebut. Sebelumnya banyak yang mengeluh lewat kolom komentar di akun media sosial. Tapi, m
Baca selengkapnya
Masa nifas
Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan sebuah kandang burung ukuran besar yang dibeli oleh Mas Fadil. Padahal untuk menutupi biaya melahirkan saja, kami harus meminjam uang kepada saudaranya. Entah apa yang dipikirkan lelaki yang sudah memiliki empat orang anak itu.  Langkahku terhenti tepat di depan kandang burung.  "Ini apa, Mas?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.  " Oh, itu buat kandang burung. Biar ayah ada kegiatan, nggak mainan HP terus," jawabnya polos tanpa rasa berdosa.  "Oh, kirain buat kandang apa," sahutku sambil tersenyum tipis.  Biarlah Mas Fadil menyalurkan hobi barunya. Daripada harus selalu sibuk dengan gawai, mungkin hobi barunya bisa membuat dia lebih betah di rumah. Aku pun masuk di papah oleh Mas Fadil ke dalam rumah.  Di depan pintu, tampak Luna dan Kia berdiri untuk menyambut sang penghuni baru. Aku m
Baca selengkapnya
Rencana Buat Si Sulung
Kehadiran anak ke empat membuat Mas Fadil semakin betah di rumah. Ia pulang tepat waktu dan selalu ikut membantu mengurus bayi kecilku.  Hobinya memelihara burung, semakin hari semakin menjadi. Bukan hanya satu atau burung. Kini, ia memiliki hingga dua belas ekor burung yang berharga di atas setengah jutaan.  Aku tidak menghalangi atau pun melarang hobi barunya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama burung-burung kesayangan saat berada di rumah dan terlihat lebih jarang bermain gawai. Satu hal yang aku mau, Mas Fadil tidak lagi stalking atau mencari tahu tentang perempuan menakutkan itu.  Aku hanya mencoba untuk berpikir positif dan ikut menikmati hobi baru Mas Fadil.  "Yah, kenapa beli burung banyak-banyak, kan repot ngurusinya?" tanyaku pada suatu malam, saat kami sedang bersantai bersama anak-anak.  "Nggak repot, kok. Burung-burung itu sebagai per
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status