All Chapters of Petaka Dua Garis: Chapter 41 - Chapter 50
65 Chapters
41
Bagian 41            Sepanjang malam, kami habiskan dalam kamar hotel dengan penuh gelora desah asmara. Kini aku bebas mengekspresikan rasa cinta dan rinduku pada Mas Yazid. Begitu pula dengan dirinya. Kami tak malu maupun sungkan. Sekadar erang atau lenguh, aku keluarkan tanpa merasa risih. Malam ini aku benar-benar hanyut dalam hasrat yang membara. Tak seperti biasanya. Selayaknya aku baru saja menemukan sesuatu yang berbeda pada suamiku itu. Dan tentu saja, setelah puas saling bertukar peluh, kami jatuh tidur dalam keadaan yang sangat lelah. Hari ini sangat di luar kebiasaan. Tiga kali bercinta dalam tempo kurang dari 24 jam. Aku sampai geleng-geleng kepala. Kok bisa?            Paginya aku dan Mas Yazid terbangun dalam keadaan matahari telah meninggi. Kami sama-sama kaget. Sebab belum mandi junub dan menunaikan salat Subuh. Tanpa pikir panjang, suamiku la
Read more
42
Bagian 42            Sepanjang perjalanan dari hotel menuju rumah sakit tempat Abi dirawat, tak hentinya aku membaca doa untuk kesembuhan lelaki tua yang meskipun akhir-akhir ini sering membuat kami terluka. Dua puluh menit menerobos jalanan yang lumayan padat merayap akibat serbuan para pekerja menuju kantor, cukup membuatku merasa deg-degan luar biasa. Pertama, kami akan kembali berjumpa Ummi dan Abi. Kedua, kondisi bapak mertuaku itu sedang tak baik-baik saja. Ketiga, bagaimana nantinya reaksi mereka jika melihat aku kembali bersama Mas Yazid setelah apa yang terjadi semalam. Campur aduk perasaan di dalam kalbu. Gundah, cemas, takut, semuanya teraduk jadi satu. Membuat aku semakin tak keruan.            Akhirnya kami tiba di depan gedung berlantai empat dengan halaman parkiran yang sangat luar. Tepat di tengah halam parkir, terdapat air mancur dan kolam ya
Read more
43
Bagian 43Tiga bulan kemudian ....            Sejak kejadian tumbangnya Abi akibat hipertensi, Dinda dan Azka sama sekali tak memberi kabar. Sibuk kami mencari, tetapi keduanya menghilang bagai ditelan bumi. Sempat kutemui Lubna untuk mencari keberadaan lelaki itu. Namun, Lubna berkali-kali mengatakan tak tahu. Mungkinkah Azka telah berpesan pada sahabatnya tersebut untuk menyembunyikan keberadaanya dari kami? Entahlah. Yang jelas, saat wisuda mereka dihelat pun, lelaki itu sama sekali tak muncul batang hidungnya.            Sarfaraz yang semula rindu pada om dan mamanya, perlahan mulai kembali ceria dan seakan baik-baik saja meski tanpa mereka. Kami merawatnya dengan baik dan penuh cinta. Tak pernah sekali pun bocah itu dimarahi. Bahkan Ummi dan Abi tak segan untuk mengajak tidur bersama pada malam-malam tertentu.     
Read more
S2: 1
SEASON 2Bagian 1Setibanya di rumah Ummi dan Abi, kami buru-buru ke ruang makan untuk menjumpai keduanya. Ternyata, mereka sudah hampir selesai santap pagi bersama sang cucu.            “Kalian kemana, sih? Kok baru ke sini?” Ummi tampak sedang mengelap bibirnya dengan tisu. Wanita berkaftan warna hitam dengan hiasan payet di dadanya itu terlihat agak marah.            “Sudah. Duduk dulu kalian.” Abi ikut berkata. Lelaki tua itu tersenyum ramah ke arah kami.            “Ummi, Abi. Kami ada kabar.” Mas Yazid begitu antusias. Dia menyikutku untuk mengeluarkan buku pink dan test pack yang tersimpan dalam tas selempang. Segera aku membuka ritsleting tas, kemudian merogoh test pack dan berniat untuk menunjukkannya pada mereka.   
Read more
S2: 2
Bagian 2Keluarga besarku di kampung sangat bahagia kala mendengarkan kabar ini. Tak hentinya Ayah dan Ibu mengucap syukur sembari menangis kala kutelepon tentang kabar kehamilan ini. Keduanya memberikan doa agar kehamilanku berjalan dengan lancar dan sehat.            Kehamilan pertamaku di usia 30 tahun setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama 7 tahun lamanya ini memanglah sangat mengejutkan. Betapa tidak. Tak ada satu pun terapi atau program yang kami lakukan dalam beberapa waktu belakangan. Semuanya hanya berjalan secara alami. Bedanya, sejak kepergian Dinda, keadaan keluarga Mas Yazid menjadi 180o bedanya dalam memperlakukanku. Tak ada lagi yang mempermasalahkan ketidakhamilanku. Semuanya hanya fokus untuk membuatku nyaman dan merasa bahagia di rumah ini.            Aku pun tak bakal menyangka dengan kehamilan yang sungguh datang secara tiba
Read more
S2: 3
Bagian 3Bukan kepalang bahagiaku dan Mas Yazid. Dua kantung yang berarti akan terisi oleh dua janin di dalam rahim ini. Ya Allah sungguh nikmat yang tak terduga. Berulang kali kami serempak mengucap syukur di hadapan dokter Barly. Lelaki bermasker bedah itu sampai ikut berbahagia kala mendengar cerita kami tentang perjuangan tujuh tahun ini.            Setelah selesai berkonsultasi dan mendapatkan resep dari dokter, kami memutuskan untuk menebus obat di apotek terlebih dahulu sebelum pulang. Lamanya antrean tak sama sekali membuat kami jenuh atau pun bosan. Hanya perasaan berbunga-bunga yang kami rasa berdua. Bahkan rasa lemah di badan ini tak datang barang sedetik pun.            “Mira, aku masih tidak percaya. Kita akan punya anak kembar!” Mas Yazid berbisik padaku sembari meremas jemari ini. Senyum dari pria yang rambut ikalnya sudah mu
Read more
S2: 4
Bagian 4Petang itu, kami berlima begitu buncah dalam haru yang bercampur bahagia. Ummi dan Abi memelukku begitu erat. Keduanya bahkan tak segan untuk menciumi pipi ini. Hangat sekali perlakuan mereka. Tak lupa, Sarfaraz yang kini kuanggap layaknya anak sendiri, juga memberikan ucapan selamat sekaligus kecupan di pipi.            “Bunda, adiknya mana?” Pertanyaannya sangat polos sekali. Membuatku sangat gemas dan semakin sayang padanya.            “Sabar ya, Mas Faraz. Sembilan bulan lagi adiknya akan lahir. Mas yang jagain ya nanti.” Aku menciumi pipi kanan dan kiri Sarfara yang kini tengah berada dalam gendongan Mas Yazid.            “Mana bisa? Kan aku masih kecil.” Tatapan Sarfaraz seperti kebingungan. Wajahnya terlihat cemas. Kami berempat sontak ter
Read more
S2: 5
Bagian 5Kami berlima telah sampai di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Betul-betul surga dunia bagi aku dan Ummi. Bagaimana tidak, di gedung tujuh lantai yang menyediakan segala jenis barang kebutuhan rumah tangga sampai material bangunan atau perabot ini begitu menyilaukan mata kaum ibu-ibu. Kami bisa berkeliling ke setiap sudut dan lantai hanya untuk sekadar cuci mata atau berbelanja.Mas Yazid sampai menarik tanganku ketika kami hendak masuk ke counter perlengkapan bayi dan anak yang berada di lantai tiga. "Belum waktunya. Nanti saja beli-beli barang bayi." Begitu ujarnya. Jangan ditanya, aku langsung mengecimus akibat kecewa."Padahal kan cuma mau lihat-lihat," kataku membela diri."Nanti saja, Mira. Orang zaman dulu bilangnya pamali." Abi pun ikut buka suara."Kami kan cuma ingin lihat, Bi." Ummi menimpali. Kami berdua kini kian sehati dan sejalan. Berbeda dengan Abi yang selalu lebih pro pada anak semata wayangnya."Lebi
Read more
S2: 6
Bagian 6Telingaku mendengar sayup-sayup kepanikan dari seluruh anggota keluarga. Terasa tubuh ini digotong oleh Mas Yazid. Dibawa dengan langkah agak buru-buru. Aku bukannya tak sadar, tetapi tubuh ini benar-benar lemas dan sulit untuk membuka mata.            “Mira, bertahanlah. Kita ke rumah sakit, ya?” Suara Mas Yazid begitu ketakutan. Kemudian suara-suara lainnya menyusul.            Tubuhku terasa terguncang-guncang saat Mas Yazid membawanya entah kemana. Terdengar olehku pintu suara lift yang terbuka. Aroma jeruk dari pewangi yang dipasang dalam ruangan kecil itu pun menguar, semakin membuat perutku terasa mual. Ya Rabbi, rasanya aku tak tahan lagi. Dari mulai rasa nyeri, mual, sampai pusing, semuanya campur aduk. Aku hanya ingin rebah. Istirahat dan memejamkan mata sembari meminum obat penghilang mual dan nyeri.  &
Read more
S2: 7
Bagian 7Di ruang rawat inap, tangis Mas Yazid dan kedua orangtuanya semakin tumpah ruah. Membuat aku seketika merasa pilu luar biasa. Bergantian mereka menciumi keningku. Memberi semangat agar aku kuat menjalani kehidupan.            “Mira, Ummi sungguh menyesal. Maafkan Ummi yang sudah mengajakmu berbelanja, Sayang. Tidak Ummi duga bahwa semuanya malah seperti ini.” Lama sekali Ummi memeluk tubuhku yang terkulai lemah di atas ranjang pesakitan. Beberapa kali air mata Ummi ikut menetes pipiku. Membuat jiwa ini semakin sedih dan turut ingin menangis.            “Sudah, Ummi,” liriku sembari perlahan mengangkat tangan untuk menghapus air mata beliau.            “Ummi minta maaf, Sayang.” Sekali lagi Ummi memohon maaf. Bagiku, beliau sama sekali tak salah.
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status