Semua Bab Pelakor Yang Diundang Suamiku: Bab 41 - Bab 50
117 Bab
BAB 41
BAB 41Mas Hanif kembali menelponku, entah apa yang dia inginkan sebenarnya. Kuabaikan saja panggilannya, tak peduli jika nanti ia mengamuk dan mengirim pesan caci maki, toh, dia tak akan bisa menemuiku. "Mama!"Anna datang menenteng goodie bag di tangannya. "Ada sesuatu buat Mama!" ucapnya.Aku mengernyit, "kamu beli apa?" Gadis itu menghenyakkan diri di sofa, lalu mengeluarkan isi di dalam goodie bag, satu set gamis berwarna peach. "Bagus, untuk Mama?" tanyaku. Anna mengangguk, "pasti cantik kalau Mama pakai ini!" Aku mengusap kepalanya, usiaku sudah tak lagi muda. Sudah seharusnya menutup aurat secara sempurna, memberikan contoh yang baik untuk anak perempuanku. "Anna juga mau belajar menutup aurat kalau di rumah," ucapnya. "Kita belajar bersama ya, Nak." Ia mengangguk seraya memelukku. "Terima kasih hadiahnya sayang, Mama suka!" Waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru saja aku hamil dan melahirkan, kini anak-anak sudah beranjak dewasa. Aku tak pernah melewati setiap fas
Baca selengkapnya
BAB 42
BAB 42Mas Hanif tak lagi menghubungiku, mungkin ia menyerah karena aku tak mudah masuk perangkapnya. Dia pikir aku tak tahu, bahwa dirinya kini tengah terlilit masalah yang begitu banyak. Pagi ini anak-anak sudah berangkat ke sekolah lebih cepat, sementara aku juga bergegas pergi ke butik. Perasaanku sejak bangun tidur tak nyaman, seperti ingin menangis tapi tak tahu apa yang ingin kutangisi. Sesampainya di butik, aku langsung masuk lewat pintu belakang karena memang belum jam buka. Aku langsung masuk ke dalam ruanganku, ponsel sejak tadi terus berdering. Panggilan dari ibu mertua, kenapa beliau menelponku pagi-pagi begini? "Halo?" ucapku setelah mengangkat panggilannya. Terdengar isak tangis Ibu di sana, membuatku semakin kebingungan. "Ibu kenapa?" tanyaku. Ibu terisak-isak, tak lama terdengar suara keributan di seberang sana. Suara Lia tengah memaki-maki seseorang, apa Ibu dan Lia sedang ribut? "Tolong Nak, Ibu takut. Lia kerasukan iblis jahanam. Dia hampir membunuh Ibu!"
Baca selengkapnya
BAB 43
Aku mengernyit sambil menahan perih di kepala dan disekujur tubuhku. Saat membuka mata, aku sudah berada di ruangan serba putih. Apakah ini di rumah sakit? Hal terakhir yang kuingat adalah, saat sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan saat kami ada di perempatan. "Ra-raisa..." "Mama..." Aku menoleh, mendapati Anna tengah menangis dan juga Aldi yang tampak mengembun kedua bola matanya. Aku mencoba tersenyum, meski sekujur dan tak bisa kugerakan. "Tante Raisa mana, Nak?" tanyaku terbata. "Tante Raisa ada di ruangan ICU, Ma. Ma, kenapa sampai kaya gini, Ma? Ya Allah, sembuhkanlah Mama," ucap Anna sambil menangis. Aldi menepuk pundak adiknya itu. Aku bersyukur ada dia, setidaknya bisa menghibur sang adik dikala sedih melihatku begini. Ya Allah, Nak, Mama juga tak mau begini. Ah, bagaimana dengan paket yang ada di dalam mobil Raisa? "Mobilnya rusak parah, Ma," ucap Aldi. "Polisi sedang ngusut kasusnya. Dan pelakunya adalah..." "Siapa, Nak?" tanyaku tak sabar. "Om Fajri,
Baca selengkapnya
BAB 44
Akhirnya kuceritakan pada Ayah tentang gaun pengantin itu, beliau terkejut setelah mengetahui pelakunya. "Anak-anak Wiyani sangat keterlaluan, kita harus tempuh jalur hukum!" geram Ayah.Aku mengangguk, tapi lelaki itu masih dalam keadaan kritis kemugkinan jika sadar ia tak akan bisa kembali normal dan akan menghabiskan waktu seumur hidup di atas kursi roda."Kamu di sini dulu, ya. Ayah mau ngurus sesuatu!" ucap beliau meninggalkanku di kamar perawatan Raisa. Kami berdua saling tatap, tak menyangka akan mengalami tragedi mengerikan ini. Terlebih Raisa, di saat tengah membutuhkan dukungan dari suami dan keluarganya, ia malah ditalak karena tak lagi bisa memberikan anak. "Jangan merasa bersalah, ini sudah jalan takdir yang harus kulalui. Aku baik-baik saja," ucap Raisa membuka pembicaraan.Lisannya berkata baik-baik saja, tapi sorot matanya mengatakan hal lain. Tak ada wanita yang baik-baik saja diceraikan oleh pasangannya. "Maaf ya, seandainya -" "Enggak usah berandai-andai, Vania
Baca selengkapnya
BAB 45
"Nanti dia nggak bakal ngadu sama suamimu?" tanyaku saat kami mengelilibgi Mall lagi. Kali ini tujuan Raisa adalah toko mainan. Wanita itu begitu berekspresi hari ini. Senyum lebar tetap tercetak jelas di wajahnya. "Aku nggak peduli, Van. Yang terpenting adalah anak-anakku saja saat ini. Nggak peduli mantan suamiku itu bakal marah atau apapun. Lagian aku sudah muak. Andai dia memarahiku karena perbuatanku ke istri barunya itu, ya bagus dong. Biar kukeluarkan semua unek-unek saat bersama Mas Rangga dulu," ucap Raisa sambil mengambil lego. Aku mengangguk-angguk, lalu mengambil boneka. Tak memiliki anak kecil, tapi aku memiliki anak perempuan. Kubelikan saja untuk Anna, siapa tahu bisa mengobati hatinya. Pulang dari Mall, Raisa mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Ia ingin menunjukkan bukti-bukti perselingkuhan Mas Rangga dengan Kikan, dan juga mentransfer file-file itu padaku sebagai cadangan. "Gila! Si Kikan ini nggak ada bedanya sama induknya," ucapku saat melihat foto-foto
Baca selengkapnya
BAB 46
Hanif menunduk melihat tatapan mengintimidasi dari atasannya, dalam hatinya ia terus merutuk. Kehidupannya benar-benar kacau sekarang, karir yang ia bangun dengan susah payah kini tengah berada di tepi jurang.  "Saya perhatikan kinerjamu mulai menurun ya, Hanif. Bahkan di lapangan banyak sekali kesalahan fatal karena kamu tidak fokus!" ucap Remon seraya membuka map di hadapannya, lalu melemparkan ke arah Hanif.  "M-maaf, Pak."  Remon menyentak napas kasar, "begitu banyak peraturan perusahaan yang sudah kamu langgar, Hanif. Membuat saya rugi secara materi karena kinerjamu yang menurun."  Ayah beranak dua itu memainkan jemarinya, pikirannya benar-benar kalut. "S-saya akan memperbaiki kinerja saya, Pak." lirih Hanif.  Remon menggeleng, "ini pesangon kamu, dan ini surat pemberhentiannya. Saya tidak bisa mempertahankan karyawan yang tidak konsisten dalam bekerja."  Hanif membelalak, "Pak tolong beri say
Baca selengkapnya
BAB 47
Kring! Panggilan masuk ke telepon Wiyani. Ia mengusap air mata yang sedari tadi mengalir tanpa disadarinya. "Assalamu'alaikum, Van." Ia terharu. Meski sudah bukan menjadi menantunya, tapi ikatan batin mereka berdua seakan masih kuat. Padahal tadi, Wiyani seakan ragu untuk menghubungi mantan menantunya itu. Sejujurnya ia rindu. Pada Vania, Aldi, dan terutama Anna. "Wa'alaikum salam, Bu. Apa kabar?" tanya Vania. "Alhamdulillah, baik, Van. Kenapa nggak pernah main?" Vania diam, ia bingung hendak menjawab apa pertanyaan mertuanya itu. Karena Ayahnya melarang untuk menghubumgi Wiyani. Tapi, ia juga ingin tahu kabar mertuanya itu. "Bu, maaf kalau mulai sekarang, Ibu tak bebas menemui Vania dan anak-anak. Ayah melarang kami," ucap Vania. "Iya, Van, Ibu tahu kok. Asal kalian tetap sehat, Ibu sudah tenang." Vania tersenyum mendengar jawaban mertuanya itu. Setelahnya ia menutup panggilan. Ia menatap layar telepon, lalu memblokir nomor mertuanya. "Ayah tahu, nggak baik sebenarnya. Tapi
Baca selengkapnya
BAB 48
"Benar katamu Lia, kenapa aku membuang berlian hanya untuk batu sungai sepertimu?" Mendengar ucapan sang suami, membuat Lia murka. Dirinya benar-benar direndahkan di rumah ini. "Pungutlah lagi berlian itu kalau bisa!" ejek Lia, seraya berlalu. Wiyani memijit kepalanya yang semakin pening, "inilah sebabnya kenapa dulu Ibu tak pernah merestui hubunganmu dan Lia." "Sekarang nikmatilah kehidupanmu bersama wanita yang kamu cintai," sambung Wiyani seraya berlalu. Hanif terduduk di sofa, rasa cinta yang menggebu di hatinya pada Lia kini sudah tak ada lagi. Ia seolah mati rasa menjalani rumah tangga bersama istri keduanya. Hidupnya berantakan, karirnya hancur, tak ada lagi ketenangan di rumahnya. Ia baru sadar telah mengundang iblis betina masuk ke dalam rumahnya. Sekarang semuanya telah hancur dan tak ada yang bisa diselamatkan. Ia kehilangan dua buah hatinya demi Kikan yang ternyata bukan anak kandu
Baca selengkapnya
BAB 49
Rima yang merupakan anak bungsu keluarga Wiyani, meminta izin pada suaminya untuk mengunjungi sang Ibu yang sudah setahun ini tak pernah mereka datangi. Alasan utamanya, karena pekerjaan Reza- suami Rima yang membuatnya seakan terkurung di Palembang sana. Sebagai pengusaha batu bara, Reza harus mengecek usaha yang baru dirintisnya tiga tahun yang lalu, tepat setelah mereka menikah. "Berapa lama kamu di sana? Kamu tahu sendiri kan, kalau Mamaku membutuhkan bantuanmu?" ucap Reza. Rohmah, Mamanya Reza menderita sakit stroke. Ini alasan kedua Rima tak bisa pergi meninggalkan Palembang. Reza tak mau menggunakan jasa suster untuknya karena tak percaya. Pernah kejadian, ketika Reza bekerja dan Rima tengah fokus mengurus anaknya yang bayi, suster yang mengasuh Rohmah ternyata malah menyiksanya. Sejak saat itu, Rima yang mengambil alih pekerjaan suster itu. Meski memiliki asisten rumah tangga, nyatanya Rima tetap saj
Baca selengkapnya
BAB 50
"Kamu menantangku, Lia? Satu saja keluar ucapan itu dari mulutku, maka habis riwayatmu!" Melihat Hanif yang sangat marah, membuat Lia ketakutan. Wanita itu berlari menuju kamarnya, dan menguncinya dari dalam. "Astaga, aku kan cuma mengancam saja. Bisa gawat kalau aku cerai sama dia," ucap Lia sambil menggigiti kukunya. Ia tak mau kalau sampai kehilangan Hanif. Selain karena ia masih mencintai lelaki itu, juga karena tak ingin kehilangan sumber uang. Setidaknya, meski Hanif kini tak kaya lagi, tapi ia masih bisa memanfaatkannya. Hanif menyugar rambutnya. Kini ia berasa tengah berada di ujung tebing. Pekerjaan tak dapat, namun setiap hari banyak telepon masuk dari penagih utang. Sejujurnya, Wiyani tak tega pada sang putra. Tapi, jika ia membantu Hanif lagi, pasti anaknya itu akan tergantung padanya. Terpaksa, Wiyani diam di kala putranya kesusahan. "Rima nanti akan meminta alamat rumahnya Kak Vania. Kangen sama keponakan, Bu." "Iya, Rim. Minta lah. Ibu sudah tak punya muka mau me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status