Semua Bab Silakan Menikah Lagi, Mas!: Bab 21 - Bab 30
106 Bab
Bagian 21. Ngeri
Tubuhku oleng ke depan. Namun, sedikit lagi aku tersungkur ke kolam renang, sebuah tangan mencekal kedua lenganku. Tubuh kecil ini lantas tersentak ke belakang dan menubruk sesuatu. Sebuah tangan mengunci leherku. Oh, berarti yang ada di belakangku ini tubuh manusia.“Kamu kangen sama aku?” Suara bariton yang sedikit serak terdengar sangat dekat di telinga. Sapuan napasnya terasa hangat menerpa dari balik hijab. Aku terpejam, merinding dibuatnya.Ah, ralat. Bukan manusia yang ada di belakangku ternyata, tetapi raja iblis yang hidup di tubuh manusia bernama Aqsal Aderald.“Lepas!” Aku berontak.“Katakan, apa kamu merindukanku sampai nyanyi kayak gitu?”Aku meludah ke samping. “Cih, amit-amit!”Mas Aqsal mengeratkan kunciannya di leherku, membuat aku terbatuk-batuk dan kesulitan bernapas.“Lalu siapa yang kamu rindukan? Katakan!” Dia mulai bergerak liar dari balik hijab.“Mas, a-ku cu-ma nya-nyi,” ujarku terputus-putus.Aku menyikut perutnya keras hingga cengkeraman lengannya di leherku
Baca selengkapnya
Bagian 22. Aku menginginkanmu
Aku cepat-cepat keluar dari kolam renang, menuju di mana handuk berada. Aku memilih yang berbentuk kimono. Lantas masuk menuju kamar.Bagaimanapun juga, aku terus memikirkan perkataan Mas Aqsal. Apa yang akan dilakukannya untuk menghukumku? Jangan-jangan, ah, itu tidak boleh terjadi.Aku sekali disentuh Mas Aqsal dan aku pastikan itu tidak akan terulang lagi. Biarlah kebutuhan biologinya dipenuhi oleh Dinda saja. Sebab sungguh perlakuannya membuat trauma.Aku tidur di kamar Mama, semoga dia tidak senekat itu melakukannya.**Beberapa hari sejak Mas Aqsal pergi yang katanya gudang kebakaran itu, kami jarang bertemu meski tinggal serumah. Ancamannya kala itu juga tidak terbukti. Mungkin karena aku berlindung di kamar Mama. Aman.“Mas Aqsal nggak pernah pulang, ya. Mbak Sa?” tanyaku kepada Mbak Sa pagi ini setelah sarapan.“Pulang, kok, Mbak. Mbak berangkat kerja saat beliau belum keluar kamar. Saat Mbak pulang kerja, beliau belum pulang. Kan, habis pulang kerja Mbak di kamar Nyonya teru
Baca selengkapnya
Bagian 23. Aqsal Mabuk
Mas Aqsal masih terpejam saat suara seraknya terucap. Ketika ingin meloloskan diri, aku gagal. Kungkungannya terasa kian kuat.“Lepas! Aku bukan Dinda,” desisku. Bukannya melonggar, kunciannya justru mengetat.Aku mencoba mengendalikan rasa takut dan trauma. Jika berontak malah membuat pria ini makin menjadi, akhirnya tubuh ini kubuat sesantai mungkin.Tenang, Niha, tenang. Aku harus bisa menguasai keadaan.Mas Aqsal memiringkan tubuh, otomatis tubuhku ikut miring.Mumpung Mas Aqsal sedang mabuk, aku ingin mengorek lebih dalam perasaannya. Mungkin dia juga tidak sadar kalau yang dipeluknya aku, bukan Dinda atau wanita lain yang mungkin biasa dibelinya di luaran sana. Ini kesempatan baik.Beberapa hal belakangan yang dilakukan kepadaku dan yang terlihat saat bermesraan dengan Dinda, mematahkan asumsiku kalau pria ini penyuka sesama. Mas Aqsal sepertinya pria normal yang punya nafsu dengan lawan jenis. Hanya saja, dia terlalu dingin dan kasar. Mungkin, tetapi aku belum tahu pasti.Setel
Baca selengkapnya
Bagian 24. Teka-Teki Dinda dan Aqsal
Keinginan berangkat pagi aku urungkan. Akhirnya aku menuju kamar Mama. Rasa sedih, kecewa, marah, hilang jika sudah melihat wajah tak berdaya Mama Elena.Dulu, saat Mama masih sehat, sikap Mas Aqsal hanya sebatas dingin, tidak kasar seperti ini. Walaupun tak ada kehangatan dalam pernikahan kami, setidaknya dia bersikap manis kepadaku saat di depan mamanya. Kini, semua telah berubah. Tidak berubah menjadi lebih baik, tetapi justru makin buruk.“Mama makan dulu, ya,” ucapku, sambil menyendok susu ke mulutnya. Beliau menurut.Walaupun tidak sepenuhnya aku yang merawat beliau, tetapi selalu aku sempatkan berinteraksi dengannya. Entah itu menyuapi makan, kadang memandikannya, atau bahkan mengganti popoknya.“Mama harus sembuh, nanti kita sama-sama ke baitullah. Mau?” tanyaku. Beliau terlihat mengangguk-angguk, lalu bulir air menetes dari matanya. Racauan tak jelas juga keluar dari mulutnya. Mungkin beliau bahagia, atau terharu. Entahlah.Aku dan Mama memang pernah punya keinginan umrah ber
Baca selengkapnya
Bagian 25. CCTV
Aku kembali menghubungi Sasi untuk memastikan apakah Mama masih ada di rumah atau sudah dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi, panggilan dan pesan tidak ada yang direspons. Mungkin wanita itu sedang sibuk mengurus Mama. Aku pun memutuskan untuk pulang dulu saja.“Halo, Mbak Fatim. Titip konfeksi. Mama kolaps, saya mau ngurus mama dulu,” ucapku kepada Fatim melalui telepon.Sepeda motor kulajukan dengan kecepatan penuh. Sepanjang perjalanan, aku terus berdoa semoga Mama tetap baik-baik saja.Begitu tiba di rumah, ternyata Mama sudah tidak ada.“Mama dibawa ke rumah sakit mana, Mbak Sa?”“Dibawa ke rumah sakit kayak biasanya, Mbak. Mbak Niha langsung ke sana saja. Sakitnya Nyonya ini kayak mendadak gitu,” jawab Mbak Sa.Aku pun langsung menuju ke rumah sakit di mana Mama biasa ditangani. Di jalan, air mataku terus berderai. Sungguh, aku belum siap jika harus kehilangan Mama.Mama memang sering kejang, tetapi biasanya Sasi bisa menangani dengan baik. Namun, jika parah, perawat itu tidak ber
Baca selengkapnya
Bagian 26. Kelicikan Dinda
Tepat ketika ucapanku berakhir, tenaga medis membawa Mama keluar dari ruang inap.“Urusanku sama kalian berdua belum selesai.” Mas Aqsal menunjukku dan Dinda bergantian, lalu mengekor mengikuti ke mana Mama dibawa. Dinda ikut serta mengejar pria itu.Kepalaku terasa pusing, tubuhku tidak bertenaga, mata berkunang-kunang. Kududukkan tubuh di kursi tunggu. Menghadapi mereka ternyata menguras banyak energi.Dinda, jangan pernah berpikir aku ini wanita lemah dan bo*oh!Aku mengoperasikan ponsel Mama yang baru beberapa hari ini tersambung dengan CCTV yang terpasang di beberapa sudut rumah. Ini juga bertujuan agar aku dengan mudah mengumpulkan bukti kekerasan Mas Aqsal jika sewaktu-waktu menggugat cerai.Aku mengirim rekaman ke Mas Aqsal di mana Dinda menyuapi Mama dengan kasar, lalu berbisik sesuatu entah apa. Sasi terlihat masuk, lalu mengambil alih susu dan menyuapi Mama dengan telaten. Setelah itu, Mama istirahat. Tidak lama berselang, Dinda kembali membawa makanan sejenis makanan lunak
Baca selengkapnya
Bagian 27. Ups!
Dengan mengumpulkan kembali kekhusyukan yang berserak, aku memilih melanjutkan salat. Toh, Tuhanku lebih utama dari segalanya. Urusan duniawi, pikir nanti.Setelah salam, aku tidak langsung berdiri dan mengejar Dinda. Namun, aku bersujud. Kutumpahkan segala kegamanganku kepada-Nya.“Allah, tolong hamba. Tetaplah selalu menyertai langkah hamba.”Setelah zikir dan berdoa sebentar, aku pun melepas mukena. Hatiku sudah sedikit tenteram karena ingat masih memiliki rekaman itu di kartu memori yang terpasang di CCTV. Setelah salat, aku akan langsung pulang untuk mengamankannya. Semoga tidak keduluan Dinda.“Iblis bertemu iblis. Memang cocok kalian berdua,” gumamku.Dari musala, aku mencari Dinda untuk meminta ponselku kembali, tetapi wanita itu tidak ada. Aku lantas menemui Sasi di depan poli syaraf untuk memberinya uang agar membeli makan sendiri. Pasti Mas Aqsal tidak akan kepikiran memberinya makan.“Titip mama,” pesanku kepada Sasi sebelum benar-benar pergi.Tiba di rumah, aku langsung b
Baca selengkapnya
Bagian 28. Tembakan
“Kalau kamu butuh pendampingan hukum mau melaporkan suamimu ke polisi atau menggugat cerai dia di pengadilan agama, Om siap bantu,” ujar papanya Asti suatu malam.Entah apa yang diceritakan Asti kepada orang tuanya hingga mereka sepertinya tahu banyak tentangku.“Aku sangat ingin, Om. Tapi aku nggak punya bukti kuat kekerasannya dan lagi pula, surat nikahku ditahan.”“Itu bisa dibicarakan sama pengacara nanti. Besok temuilah pengacara kenalan Om. Kamu bisa konsultasi.”“Om, terima kasih. Maaf kalau aku merepotkan dan menjadi benalu di rumah ini. Aku janji secepatnya nyari tempat baru.”“Kamu jangan bicara seperti itu. Saya dan orang tuamu sudah kenal baik. Ke Jakarta sini juga, Om yang ngajak. Kamu tanggung jawab Om. Di sini saja sama Asti. Dia nggak ada temannya juga di rumah.”“Iya, Ha. Kalau pernikahanmu sudah tidak sehat, memang harus dilepaskan. Pikirkan kesehatan mentalmu.” Mamanya Asti menimpali.“Tuh, mama papaku aja udah ngasih alarm kalau pernikahanmu itu toksik. Jadi, jalan
Baca selengkapnya
Bagian 29. Diabaikan
“Mas!” Aku berteriak. Pandanganku dan Mas Aqsal bertemu. Entah mengapa, aku takut jika pria ini yang terluka, mengingat ucapan Sasi yang pernah kudengar. Namun, sesuatu yang aneh justru kurasakan pada tubuhku.Basah dan sakit. Rasa sakitnya makin lama makin menjadi.“Aah ....” Aku terduduk. Cekalan tangan Mas Aqsal terlepas. Kupegangi dada kanan, sumber rasa sakitnya. Kuraba di sana, basah. Telapak tangan kulihat, berwarna merah. Itu berarti, aku yang terluka.“Niha!” Suara bersahut-sahutan memanggil namaku. Mas Aqsal jongkok di sampingku.Dor!Lagi, suara tembakan terdengar.“Mas Aqsal!” Dinda berteriak heboh. Dia menubruk tubuh Mas Aqsal dari belakang.Masih bisa kulihat, seorang pria menyeret paksa Dinda.“Mas Aqsal, tolong aku!” teriak Dinda yang terus dipaksa ikut pria asing tersebut.Mataku terus mengawasi Mas Aqsal. Pria itu sepertinya bingung. Bergantian dia melihat ke arahku dan Dinda.Mas Aqsal berdiri, tetapi aku mencekal lengannya. Aku masih sempat mengambil memori card da
Baca selengkapnya
Bagian 30. Ustaz Sauqi
“Suara pria? Suaraku mungkin,” jawab Nizam. “Enggak. Tadi Mbak kayak denger kamu bertengkar atau bergumam dengan orang laki-laki.” Nizam diam. “Mbak salah denger mungkin. Atau mungkin Mbak saat dalam keadaan bawah sadar, jadi bawaannya gitu.” Aku mengangguk-angguk. “Mungkin.” Akan tetapi, aku mendengar meski tidak terlalu jelas. Atau hanya perasaanku saja? “Zam, Mbak haus.” “Udah bisa buang gas? Kata Dokter tadi, Mbak harus membatasi minum dan makan sebelum bisa buang gas.” Aku mengangguk. “Udah, barusan.” Dengan sigap, Nizam mengambil botol air mineral. Dia membantuku minum. “Kamu nggak sekolah?” “Izin dulu sampai Mbak diperbolehkan pulang.” “Tapi kamu sudah kelas tiga, jangan kebanyakan absen. Nanti kamu ketinggalan banyak pelajaran.” “Pelajaran bisa dikejar, Mbak. Tapi kalau nyawa atau keselamatan Mbak yang kayak kemarin, aku nggak bisa mengejarnya kalau sampai terjadi hal yang tidak kuinginkan. Untung Kak Asti mengabariku langsung setelah Mbak tertembak. Saat itu juga,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status