All Chapters of Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri: Chapter 41 - Chapter 50
60 Chapters
Part 41
Pagi ini aku terbangun dengan mata yang sembab. Tadi selesai mandi, aku berkaca dan mataku terlihat bengkak. Ternyata bukan hanya hatiku yang berantakan, tapi wajahku kini terlihat sama mengerikannya juga. Meskipun sudah menggunakan concealer untuk menyembunyikan lingkar hitam di bawah mata, tapi tidak banyak membantu. Semalaman aku terus menangis. Hatiku masih terus merasa sesak setiap mengingat foto itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku, foto yang diambil dari sisi samping itu, menampilkan Jendra dan Tari. Tidak perlu melihatnya 2 kali, terlihat jelas wajah dan postur tubuh itu milik Jendra. Aku yang sudah pernah melihatnya shirtless ataupun saat mengenakan baju, aku langsung mengenali bahwa itu Jendra. Aku ingin menyangkal tentang kebenaran foto itu, tapi semuanya tampak nyata. Dan ancaman yang dilontarkan Tari, membuatku tidak mempunyai pilihan lain. Aku juga memikirkan bagaimana nanti aku menghadapi Jendra. Aku ingin segera mengkonfrontasinya, meskipun aku tahu na
Read more
Part 42
"Ya halo?" jawabku. "Mbak Dela masih belum jauhin mas Jendra?Jangan dikira aku ga ngawasin mbak ya." Aku menghapus air mataku yang kembali menetes, "aku butuh waktu buat bicara sama Jendra." Terdengar suara Tari yang tergelak, "butuh waktu?tadi mbak udah ketemu sama mas Jendra, kenapa ga bilang langsung aja, ngapain di tunda-tunda." "Gak semudah itu Tari." "Mbak jangan anggap ancaman aku cuman gertakan aja ya, kalau sampai kesabaranku hilang. Tinggal tunggu saja kabar kehancuran mas Jendra di media massa. Aku sudah pernah bilang, aku gak masalah kalau harus hancur bareng mas Jendra." "Jangan macem-macem kamu Tari." Ucapku geram. "Makanya jangan buat kesabaranku habis. Aku tunggu kabar selanjutnya." Panggilan Tari berakhir. Aku menatap kosong ke depan, semakin kalut setelah menerima telepon dari Tari. Lama terdiam, tiba-tiba suara bell berbunyi, aku berjalan menuju pintu untuk membukanya. "Selamat malam, pesanan atas nama Dela."
Read more
Part 43
Namun, dugaanku salah. Ternyata Jendra masih belum tidur. 5 menit setelah pesanku terkirim, dia langsung meneleponku. Aku yang tidak sanggup bicara dengan Jendra, memilih mengabaikannya. Puluhan kali panggilan masuk, sampai akhirnya dia mengirim pesan. Jendra : Sayang?Sayang, angkat telepon aku. Becanda kamu gak lucu ya. Aku hanya membaca dan mengabaikan pesannya. Kembali ada pesan masuk dari Jendra. Jendra : Jangan kayak gini, jelasin maksud pesan kamu sayang. Please, kita baru mulai, kenapa kamu tiba-tiba bilang kayak gitu. Kamu gak bisa ngambil keputusan gegabah Dela. Pesan dan panggilan dari Jendra terus masuk ke dalam ponselku. Aku takut saat berbicara dengan Jendra akan membuatku menyerah. Malam ini aku matikan ponselku. Aku yakin Jendra tidak akan kesini, karena besok dia masih harus bekerja. ***Ternyata perkiraanku lagi-lagi salah, pulang kerja aku menemukan Jendra di depan pintu aparte
Read more
Part 44
Setelah kepergian Jendra kemarin, sama sekali tidak ada pesan atau telepon darinya. Pagi ini aku memutuskan untuk mengajak Shela membeli sarapan di luar. Aku ingin menghirup udara segar, agar bisa mengurangi sesak di hatiku. Aku menunggu Shela di lobby, karena tadi dia bilang sudah siap. Saat menunggu Shela, ada pesan masuk dari Mama yang menanyakan kabarku. Dan tentu saja aku menjawab bahwa aku baik-baik saja, dan meminta maaf karena beberapa minggu ke depan mungkin aku tidak bisa pulang. "Ya Ampun Del, mata lo parah banget sih bengkak kayak gitu." Begitu sampai Shela langsung terkejut melihat keadaan mataku. Aku mengedikkan bahu, "ntar juga kempes sendiri, tadi udah gue kompres kok." "Sumpah lo nangis berapa lama sampek bengkak gitu?semalem gue samperin lo gak mau." Semalam Shela meneleponku mengajak untuk beli makan diluar karena dia melihatku seharian kemarin lemes dan tidak bersemangat, jadi dia berinisiatif mengajakku keluar untuk refreshing. Namun saa
Read more
Part 45
"Dela, sini nak." Papa memanggilku untuk mendekatinya. Aku duduk dihadapan papa, tak lama mama menyusul dan duduk di samping papa. "Apa bener kamu pacaran sama nak Jendra." Tanya papa langsung to the point. Aku menatap Jendra yang sekarang juga sedang menatapku. "Kami udah ga ada hubungan apa-apa Pa." "Kami sedang bertengkar, ada salah paham diantara saya dan Dela. Tapi saya serius dengan ucapan saya untuk segera menikahi Dela." Aku menatap tajam pada Jendra, namun dia tak juga gentar. Papa menghembuskan nafas berat, "Nak Jendra, kalau ada salah paham diantara kalian bisa kalian selesaikan terlebih dahulu. Mengenai keinginan Nak Jendra untuk menikahi Dela, saya serahkan sepenuhnya keputusan pada Dela. Apa orangtua Nak Jendra udah tahu tentang keluarga kami? Jendra menggangguk dengan yakin, "sudah om, Mama saya sudah tahu. Dan keluarga saya sudah setuju." Aku membuang muka dan berdecih sebal. "Ya sudah kalian selesaikan dulu kesalahpahaman
Read more
Part 46
Mau tak mau akhirnya Tari membuka lebar pintunya dan mempersilahkan kami masuk. Jendra masuk ke dalam masih dengan menggenggam tanganku diikuti oleh Aldo dibelakangku. Wajah Tari terlihat semakin kesal saat aku melewatinya. Tanpa dipersilahkan tuan rumah, Jendra mengajakku duduk di sofa, Aldo berdiri di sampingnya. Tari mengambil duduk tepat depan kami. "Apa ancaman yang kamu lemparkan pada Dela sampai dia jauhi aku?" Tanya Jendra tanpa basa basi, nada bicaranya pun terdengar dingin. Tari menatapku nyalang, seolah menuduhku mengadukannya. "Gak udah natap Dela kayak gitu, bukan dia yang ngadu. Jelas-jelas tadi kamu sendiri yang bilang di telepon." Lagi Jendra membuka suaranya. "Aku bakalan sebarin foto itu kalau mbak Dela gak jauhin mas Jendra." "Cih," Jendra berdecih kesal. "Dari mana foto itu, perasaan pas kita ngobrol berdua gak ada orang lain disana." "Mas gak perlu tahu." "Oke, aku bakal cari tahu sendiri. Kamu siap-siap aja terima akibatnya."
Read more
Part 47
Jendra memarkirkan mobilnya di parkiran basement. Masih setia dengan diamnya, ia berjalan mendahuluiku menuju pintu lift. Melihat sikapnya yang seperti itu, membuat nyaliku semakin menciut. Begitu sampai di dalam unitnya, Jendra langsung menarik tanganku dan membawaku ke dalam pelukannya, pelukan yang selama beberapa hari ini aku rindukan. Kami berpelukan cukup lama melepaskan rindu yang selama ini membelenggu kami, hingga akhirnya Jendra melepas pelukannya dan menatapku lalu berbicara,"Kenapa kamu ga pernah cerita tentang ancaman Tari?"Aku memalingkan wajah, "aku gak mau kamu tahu?" "Apa kamu bilang?aku ga perlu tahu?dan kamu dengan seenaknya bisa ngambil keputusan sepihak gitu?" Jendra berkacak pinggang di depanku, sedangkan aku hanya bisa menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. "Listen to me. Kalau sedari awal kamu bilang, aku bisa segera ngatasin ini semua Dela." Ucapnya. Aku memberanikan diri mengangkat wajahku, di dalam matanya terlihat
Read more
Part 48
Setelah makan malam, Jendra bersikeras agar sopirnya mengantar Mama dan Papa sampai ke Kota Aare, tapi tawaran itu ditolak Papa dengan bijaksana. Akhirnya, kami hanya mengantar Papa dan Mama sampai stasiun kereta sebelum pulang. Jendra berjanji akan pulang ke apartemennya setelah mengantarku kembali. Tapi, seperti biasa, janji tinggal janji. Karena saat aku turun dari mobil, Jendra ikut turun dan menggenggam tanganku lagi. Aku bertanya, “Papa Mama udah pulang, kamu ngapain, sih, ke sini lagi?” Jendra menyeringai. “Kenapa emang? Kan masih kangen.” “Hm, modus.” Jendra tergelak dan merapatkan tubuhku ke sisinya. “Dih, dibilang aku masih kangen kamu, nggak percaya. Mau aku buktiin?” Lirikan mata Jendra menggodaku. Membuat wajahku merona malu. “Draaa ... please-lah.” Aku memalingkan wajah dan menyandarkan kepalaku pada bahu Jendra. “Gombal terus dari tadi.” “Aku gak gombal. Beneran, aku masih kangen,” ucap Jendra manja. Begitu kami tiba di dep
Read more
Part 49
Entah jam berapa ini, aku merasakan leherku basah oleh kecupan-kecupan, membuatku tanpa sadar mengerang. Aku membuka mata perlahan, menolehkan kepala ke samping, tampak Jendra sedang membenamkan kepalanya di leherku. "Dra?" panggilku bermaksud memyuruhnya berhenti. Namun, oleh Jendra diartikan lain. Bukannya berhenti, dia malah semakin membenamkan wajahnya di leherku dan sesekali menggunakan lidahnya, membuatku kegelian. Setelah puas, Jendra mengangkat wajahnya ke depan wajahku. Matanya menatapku lembut, memberikan senyumnya sebelum dia mulai menyesap bibirku. Aku yang mendapatkan serangan tiba-tiba hanya bisa mencoba mengimbanginya. Tubuh Jendra yang berada tepat di atasku semakin menempel pada tubuhku. Kurasakan tubuh bagian bawahnya yang menegang di antara dua pahaku membuatku terkesiap. Aku melepas ciuman kami, dan menggelengkan kepala. Jendra menatapku penuh tanda tanya. Aku mengambil jeda menarik napas setelah ciuman panjang kami. "Stop, Dra, kamu harus bis
Read more
Part 50
Aku langsung mengikuti arah telunjuk Jendra, dan panik saat melihat Dinda di sana. Jangan bilang tadi dia lihat Jendra menciumku. Sekali lagi aku memukul lengan Jendra. "Aduh! Sakit, Sayang. Kenapa aku dipukul lagi, sih?" "Udah tahu ada Dinda di sana, kenapa tadi cium-cium?" omelku. "Tenang, Sayang, Dinda gak bakalan tahu. Kaca mobil ini gelap, yang dari luar gak bisa lihat kita. Ya udah, yuk, kita turun sebelum Dinda nyamperin kita ke sini." Mengembuskan napas panjang, aku akhirnya ikut turun bersama Jendra. Jendra menungguku di depan mobil, lalu mengulurkan tangannya untuk aku genggam. "Kak Dela, akhirnya ke sini juga. Aku udah kangen tahu sama kakak." Dinda langsung memelukku begitu aku berdiri di depannya. Meskipun baru bertemu satu kali dan beberapa kali berkirim pesan dengan Dinda, aku merasa sudah dekat dengannya. "Maaf, ya, kakak lagi sibuk banget akhir-akhir ini." "Sibuk menghindari Mas lagi, tuh," cibir Jendra yang langsung aku hadiahi de
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status