Gadis itu perlahan terbangun dengan topeng di wajahnya, dia menatap sekelilingnya, mata pada topeng itu kini bisa ikut melirik kesana-kemari layaknya mata manusia. Cuna menelan salivanya tanpa sadar melihat hal itu di sampingnya.
“Dewi Galuh Candra Kirana, ini saya … Raden Inu Kertapati.”
Keempat orang itu terdiam mendengar monolog dengan suara yang begitu menenangkan dan sopan keluar dari mulut Citra. Gadis yang sedang diperhatikan itu lalu dengan cepat menepuk topeng yang menempel di wajahnya sendiri, lalu mengerang kesal dan melepaskannya.
“Raden dari mana anjing?!” kesalnya membuat tawa Putra pecah seketika.
Belum saja Citra membuka suara untuk menjelaskan sekaligus mengomel karena dipasangkan topeng saat dia sedang tidur, Putra lebih dulu memasangkan topeng berwarna putih itu ke wajahnya sendiri. Jane menatap pemuda itu dengan mata membulat ketika Putra dengan tiba-tiba berdehem berkali-kali, lalu berucap dengan suara
Mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel artinya diam, berusaha, dan bergerak. Semacam kata-kata khas yang biasa diucapkan oleh Semar sebelum memulai melontarkan kalimat inti-nya. Panakawan: kesatria
Lingga mengadahkan tangannya, menatap kosong sebuah duri runcing yang berwarna ungu yang kini melayang di atas telapaknya, duri itu juga sedikit memiliki kilat cahaya karena bulan purnama yang ada di atas mereka. Dia sudah tahu mengapa kekuatan ini kembali padanya, mungkin saja— “Kudengar Regar mati?” buka Grilya seakan menyuarakan pikiran Lingga. “Hati-hati dengan ucapanmu, kata-kata itu adalah doa,” guraunya membuat Grilya merotasi bola matanya dengan malas. “Aku juga berdoa dia mati,” lanjut Grilya pelan. “Dasar iblis.” “Terima kasih.” Gadis itu mengayunkan kakinya dengan santai, dia masih terduduk di salah satu bangku taman, berhadapan langsung dengan Lingga yang kini masih menatapi kekuatan barunya itu sambil bersandar di bawah pohon, bersebrangan langsung dengan posisi bangku taman yang sedang Grilya duduki. “Duri ini, akan menghujani siapapun yang mencoba melepaskan topeng dari tubuhnya.” Lingga menatap duri itu y
“Daerah kampus memiliki banyak pepohonan,” lanjut Citra mengabaikan respon Arta yang sama sekali tak paham dengan apa yang dia katakan. “Dan kupikir, kita seharusnya menghindari cahaya bulan purnama.”Apa yang Citra katakan memang tak berlebihan, mengingat bagaimana sebelumnya orang berlalu-lalang dengan santai di bawah sinar bulan menggunakan topeng, juga ketika Jane dan Putra keluar dari mobil tanpa topeng dan langsung mendapatkan serangan. Arta sama sekali tak menyangkal tentang kecurigaan Citra perihal cahaya bulan.Walaupun sejujurnya mereka tak begitu tahu apa yang benar-benar berbahaya disini.Kelima orang itu akhirnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, masuk ke dalam bangunan-bangunan kampus untuk menghindari cahaya bulan, dan mencoba menemukan manusia waras di sana untuk mendapatkan informasi lebih.“Oh, kau masih membawa tongkat pisau dari Arta? Kupikir kau pandai tangan kosong?” ejek Putra
Dibandingkan muncul tiba-tiba, portal sebelumnya lebih seperti sedang datang dan langsung menelan Cuna hidup-hidup, dia bahkan sangat cepat sampai-sampai mereka sama sekali tak sempat untuk membuat reaksi, rasanya hal itu seakan terjadi kurang dari satu detik.Mereka saling berpegangan tangan, Jane bersampingan dengan Arta, Citra yang ada di belakang Jane, sedangkan Putra merangkul Citra yang ada di sampingnya, —pemuda itu berada tepat di belakang Arta. Mereka memutuskan untuk saling terikat dengan untuk berjaga-jaga jika saja ada yang terseret dengan portal dimensi seperti tadi, mereka takkan sendirian.Lagi pula, Cuna itu suka membahayakan dirinya sendiri. Dia pasti bisa menjaga dirinya. Begitu yang Arta pikirkan, dan dia sampaikan pada Jane. Setidaknya kata-kata seperti itu dapat membuat Jane merasa lebih tenang.Walaupun tak lama setelahnya, Putra itu menyahut seperti, “Ya, jika kau yang diseret portal, sudah pasti kau akan mati kare
Cuna menatap dengan sorot mata kosong hamparan pasir yang kini ada di hadapannya, dia bahkan sama sekali tak tahu kini dia ada di mana. Matanya kembali terarah ke langit, menatap bulan purnama yang rasanya makin lama semakin memancarkan cahaya yang kian menyilauan. Bisa dibilang, malam itu sangatlah cerah, dia bahkan tak menemukan sedikitpun awan berani menutupi purnama itu. Cuna memutar tubuhnya, mulai menatap sekeliling dan menyadari bahwa beberapa kilometer dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah Pura.Tempat itu terlihat cukup ramai, lengkap dengan suara-suara gemelan dan nyanyian merdu dari sinden yang mulai sampai ke dalam telinganya. Gadis itu terdiam, dibandingkan merasa penasaran, dia malah merasa muak sendiri karena seakan tempat itu mengundangnya untuk datang ke sana.Terakhir kali dia mengikuti kata hatinya, dia membuat Wonu harus berjuang berdua saja dengan Jane, dan berakhir dengan kematian. Kejadian itu sudah sangat cukup untuk membuatnya marah pada diri
Citra menatap sekelilingnya. Banyak tenda berjejeran yang berhadapan langsung dengan sebuah danau, daratan ini dikelilingi oleh bukit-bukit kecil, udara yang terasa menipis, angin malam yang begitu tenang, hingga embun tipis yang menutupi mata kakinya membuat Citra memilih untuk mengambil jaket di tas dan mengenakannya untuk menghangatkan tubuh.Setelah kembali mengenakan tasnya dan merapatkan jaketnya, gadis itu berkeliling sejenak. Memerhatikan isi tiap tenda yang ada disana untuk memastikan bahwa dia tak benar-benar sendirian.Namun sayangnya, gadis itu tak menemukan siapapun.Dia tak begitu suka tempat ini.Malam hari terasa sangat cerah dengan bulan berwarna merah kebiruan dan puluhan bintang disekitarnya. Citra akhirnya mengambil salah satu lampu gantung di salah satu tenda dan membawanya menuju tepi danau tersebut, menatap ke ujung danau berharap bahwa dia bisa menemukan sedikit keributan yang bisa dia anggap sebagai ulah Jane dan Putra, ataupun Ar
“GAK BAKAL BERHENTI JARUM SAMA SETAN-SETAN INI NGEJAR KALO KITA GAK PAKAI TOPENG!” teriak Jane tanpa sadar.“YAUDAH AYO PAKAI TOPENG!” balas Putra tanpa memelankan langkah kakinya yang kian lama kian melaju.“TOPENGNYA KAN TADI DIBUANG ANJING!” amuk gadis itu dengan emosi.“KAU YANG NGIDE BANGSAT!!”“AKH!” jerit gadis itu histeris ketika merasakan sebuah jari nyaris menyentuh punggungnya, dia lantas dengan cepat kembali melajukan langkahnya, membuat Putra sedikit tertinggal di belakang. “LAKUKAN SESUATU! KAU KAN WRENA!”“Lah, bener. Aku kan wrena?” gumam Putra seakan baru benar-benar tersadar bahwa dia tak lagi sama dengan manusia.Pemuda itu lantas mengubah satu lengannya menjadi tumpukkan tulang yang meruncing, membiarkan Jane terus lari mencari jalan keluar dari hutan itu sambil menghindari duri-duri yang berterbangan, sedangkan Putra mulai mengayunkan tan
Malam itu, Mala mungkin tidak akan kembali, akan tetapi Citra tahu pasti bahwa kakak kesayangannya itu tidak akan benar-benar mati. Dia benci mengakui bahwa Mala tak menepati janjinya, namun pada akhirnya dia juga paham bahwa apapun yang terjadi pada Mala setelah kepergiannya, mungkin bukanlah hal yang indah. Ia bisa memastikan bahwa kakaknya itu takkan pernah tunduk pada budaya-budaya fiktif yang sengaja di kembangkan para tetua hanya demi memenuhi harsat membunuh mereka saja. Dia tahu Mala takkan pernah tunduk pada tradisi tak manusiawi seperti itu. Kamis, 08 Februari 2008, usia Citra baru saja menginjak ke angka 13 saat Mala pertamakali berkata padanya bahwa itu adalah umur yang tepat, umur yang pas baginya untuk segera pergi dari desa mereka. Mala bilang, dia akan menyusul Citra nantinya. Mereka akan tinggal bersama, di Bali, di rumah kenalan Mala. Menjauh dari desa, memutuskan hubungan dengan keluarga dan kerabat mereka, membuat berbagai skenario
Putra memerhatikan beberapa gelembung yang berjejer di sana. Dari sekian banyak gelembung yang ada di belakang Lingga, ada gelembung yang berisikan sosok Citra, sedangkan di samping gadis itu ada gelembung yang berisikan anak kecil, dan satunya lagi adalah seorang pemuda dengan pedang yang sedikit berkarat di genggamannya.Dia terdiam, menyadari bahwa mungkin sebagian dari prajurit Bérawa yang melakukan patroli di Nusantara selama hari itu juga berhadapan dengan para Wrena, seperti dirinya dengan Citra dan Arta di Jogja, ataupun mereka yang kini ada di dalam gelembung itu; Okta dan Joyla.Padahal anak itu masih berusia 15 tahun namun dia sudah langsung dihadapkan dengan masalah seperti ini dipenugasan pertamanya.Hal yang dia ingat, Okta dan Joyla bertugas di Jakarta karena kakaknya Joyla berada di sana untuk urusan lomba. Entah perlombaan seperti apa juga dia tak tahu karena saat itu mereka sudah terburu-buru untuk pergi ke Jogja.‘Kenap