"Emangnya kamu kelas berapa?" tanyaku pada Epan.
"Udah lulus SMA dua bulan lalu," jawabnya lalu berdeham.
Agar perjalanan kami tak terasa sepi, aku mengajak bicara kedua orang ini termasuk menanyakan perihal keakraban mereka sebagai saudara. Ternyata, Epan memang sudah sangat dekat dengan Angel juga kembarannya sejak dia masih balita.
"Tapi paling deket sama Teh Njel, sih. Iya, kan?" Perempuan itu mengangguk kecil.
Percakapan berakhir ketika telah sampai di kebun cengkeh yang lebat ini. Udara di sini lebih dingin sebab cahaya matahari agak terhalang rimbunnya pohon. Sebenarnya tidak hanya ada pohon bernama ilmiah syzigium aromaticum saja, tapi tanaman lain seperti mangga yang berbuah lebat, cabe rawit, tomat juga semak-semak.
Kami istirahat sejenak, jalur setapak yang berkelok dan menanjak tadi lumayan menguras keringat. Beruntung, aku membekal sebotol air dingin begitu juga dengan Epan, cuma miliknya air teh. Gadis ber
Maaf banget kemarin gak update, jujur aku lagi nggak mood liat draft 😭😭makasih udah mau nunggu dan baca kelanjutan cerita ini. Sebagai gantinya, aku bakal update dari Kamis-Minggu hehe. Terima cash 😗😗
Sebelum kami benar-benar pergi meninggalkan kediaman Bi Midah, dia mewanti-wanti agar aku menjaga Angel dan tidak melakukan perbuatan negatif. Bila dipikir kembali mengenai hal ini, sepertinya Papa kurang tepat merekomendasikan perempuan ini sebagai teman perjalanan.Pertama karena dia lawan jenis dan ya, aku memikirkan persepsi masyarakat di sini; takut terjadi sesuatu yang merugikan diri juga banyak orang tentang hubungan tidak resmi. Kedua, wanita itu ribet. Jujur, selama kegiatan bersama dia kadang aku merasa kurang nyaman karena tingkahnya. Walaupun memang akhirnya seru. Terakhir, perempuan itu harus dilindungi, jadi selama perjalanan sampai dia benar-benar pulang ke rumahnya, menjadi tanggung jawabku juga. Kalau saja aku tak punya empati, pasti dia sudah pulang sendirian."Angel, anak kampung namanya, kok, kayak anak kota?" kelakarku memecah keheningan antara kami.Dia menoleh. "Ya, aku emang lahirnya di kota.""Wah, ko
Angel menjeda ucapannya. "Dia bangunin aku, kirain ada apa ternyata, ya .... Aku berontak, lah, dan coba kirim pesan ke kamu waktu dia liat Bi Midah ke kamar mandi. Habis itu, mulutku dibungkam dan nggak mainin HP lagi. Sampai Bi Midah liat dia lagi berdiri di sana, dia gelagapan. Ngebohong kalau lagi kasih krim anti nyamuk buatku." Aku memanggut-manggut, tampak raut frustrasi usai menjelaskan semuanya. Selain suka dimarahi, ternyata pemuda itu juga pandai berkilah. "Jadi, kamu diem aja kemarin itu gara-gara itu?" "Iya." "Terus tadi di kebun itu kamu pengen ikut gara-gara takut?" Dia mengiakan. Kutanya lagi ketika datang ke kebun cengkeh bersama Bi Midah dia habis menangis atau tidak dan apakah anak itu berulah? "Iya. Aku udah ...." Angel kembali sesenggukan, mengacak rambut yang semula memang tidak rapi. Lantas, aku beranjak dari tempat duduk, hendak menenangkan. Membantu merapikan rambutnya yang terger
"Habis ngapain? Kamu kebelet tadi?" tanyaku. Angel menggeleng dengan pandangan fokus ke arah sabuk pengaman. Lantas, dia menyuruh untuk segera sampai ke penginapan. Daripada terus bosan dalam keheningan, kusuruh dia memutar lagu yang kemudian dituruti. "For your info, makna lagu ini tuh tentang seseorang yang disakiti keadaan. Sedih banget." Dirinya berucap sembari melengkungkan bibir. "Iya, lagunya juga enak didenger," jawabku. "Jadi keinget si br*ngs*k itu. Aku sumpahin dia sial seumur hidup," katanya disusul tawa paksa. Selama di dalam mobil, kami berbincang-bincang mengenai lagu tersebut hingga tak terasa kami sampai di temptelatakkami "Habis ini, kamu langsung istirahat. Jangan pikirin apa-apa, jangan melamun, jangan kelamaan main ponsel, mendingan tidur." Aku berujar panjang lebar memperingatinya. "Iya, Abang Kota."****"Angel!" teriakku dari kejauhan. Kutarik pinggangnya hingga kami
"Jeno, keluar!" Angel berteriak dari dalam kamar mandi usai melihatku barusan. Aku gelagapan, alhasil mengiakan permintaan tersebut, tapi yang kulakukan adalah mendekat ke arah kamar mandi. Bukan apa, cuma berniat memastikan gadis kampung itu baik-baik saja. Dirapatkannya telinga dan kedua telapak tangan ke pintu kamar mandi, menebak-nebak apa yang terjadi di dalam sana. "Aaa, Jeno!" pekiknya panik. Gila! Aku nyaris mencium lantai ketika Angel tetiba membuka pintu. Beruntung, pelipisku terbentur ujung pintu. Sialnya lagi, Angel menyiram wajah ini dengan shower. Dengan susah payah tangan mengisyaratkan untuk berhenti, akhirnya berhenti juga. "Ma-maaf, saya takut kamu kenapa-napa. Beneran nggak ada niat apa-apa, saya pergi dulu." Aku berucap sebelum lari terbirit-birit meninggalkan kamarnya. Singlet putih ini pun ikut kebasahan. Kuembuskan napas kasar, mengapa pagi ini harus kumulai dengan kekacauan?! ****Tepa
Angin sepoi membuat suasana lebih tenang, tidak panas dan tidak pula hujan. Sesekali, aku mengecek ponsel untuk memastikan tak ketinggalan siaran langsung dari idola favorit. Namun, yang tampil justru ribuan komentar penggemar lain, membosankan. Alhasil, kumatikan benda pipih tersebut dan beralih memandang jembatan dengan air sungai deras. Tiba-tiba, suara dering gawai kembali mengalihkan perhatian, entah siapa yang menelepon? Tidak ada apa pun, ternyata itu Angel. Bisa-bisanya dia menyamakan nada dering panggilannya denganku. Mimik wajah Angel usai serius mengobrol di sambungan tampak cemas seperti kemarin saat Epan mengirimi pesan. Apakah bocah itu mengancamnya lagi? "Kenapa? Epan bilang apa lagi sama kamu?" tanyaku ketika dia menyimpan ponselnya ke tas. "Hah? Enggak. Bukan Epan yang telepon, kemarin kan udah diblokir nomornya." "Oh, terus siapa dan kamu kenapa?" "Enggak kenapa-napa, ish! Itu ... keluargaku yang tel
Ceritanya, aku sedang pura-pura marah dengan perempuan ini, tapi dia malah lebih marah dariku. Karena sepanjang jalan, mulutnya tak berhenti mengucap kata maaf dan aku bosan mendengarkan maka dari itu hanya dibalas dengan dehaman.Beberapa daerah telah terlewati, kali ini tinggal menempuh satu jalur lagi untuk sampai di kediaman Angel. Jalan menuju tempat tersebut tertera di Google Map sehingga mudah ditempuh meskipun aku sendiri belum tau letak rumah dia di mana? Itu akan jadi urusan terakhir saat kami sampai di desanya.Bosan pun terus-terusan bersandiwara seperti ini, aku memulai pembicaraan dengan menceritakan mimpi buruk semalam yang menyebabkan peristiwa konyol itu. Sejujurnya, malas mengingat hal ini, tapi demi kedamaian bersama apa harus buat?"Ya, emang habis kejadian itu aku sempet ada niatan buat ... kayak gitu," ujarnya membuatku menyemburkan air hingga membasahi setir.Bagaimana tidak? Kalau saja niatnya benar-benar direalis
"Njel, ke pantai dulu, yuk! Besok baru ke jalan-jalan ke desa itunya." "Ayok, nanti main pasir! Emangnya mau ke desa mana, sih? Jangan ke kampungku, lah! Aku belum mau ketemu ibu sama bapak ...." Rupanya Angel masih khawatir akan hal itu, padahal apa salahnya mengungkapkan masalah ini secara terang kepada keluarganya? Memang tak semudah itu, banyak resiko yang akan didapat setelahnya. Seperti mungkin menjadi perbincangan tetangga, citra diri menjadi buruk di kalangan masyarakat, bahkan mungkin akan ada fitnah tentang dirinya. Ini tak sepenuhnya salah si pemuda ingusan, tapi aku juga terlibat dan menjadi akar masalah. Andai kata di dunia terdapat mesin waktu, aku ingin mengulang semuanya. Akan menolak mentah-mentah Angel untuk menjadi teman perjalanan kali ini, tapi seperti kata PAnge kalau setiap peristiwa pasti ada hikmahnya meski aku belum tau apa itu? Wahai kartun boneka kucing, pinjamkan mesin waktumu untuk melihat bagaimana nasi
Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan