Aku berdiri di dermaga sambil menatap jauh ke laut. Sudah lama tempat pariwisata ini tutup sejak pergantian kepala daerah. Sangat sayang menurutku meski begitu masih banyak pengunjung yang datang meski tempat ini sudah tidak terawat. Dermaga ini menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal kecil yang akan mengantarkan ke pulau seberang. Masih dipakai oleh penduduk seberang yang ingin ke kota.
Aku lalu menatap langit yang berwarna biru bersih dari awan, menutup mataku demi merasakan angin laut yang menjamah tubuhku. Aku tersenyum bahagia.
“Woi,” teriakkan Julian menghancurkan semuanya. Aku membuka mataku dan menatap tajam ke arah Julian yang sedang cengegesan dan tertawa di dekatku.
“Assalamu alaikum,” bisik Julian.
“Walaikum salam,” jawabku.
“Jangan membatalkan pernikahan hanya karena aku masih muda,” kata Julian seakan membaca pikiranku. “Aku tahu itu alasanmu untuk mengajakku bertemu sebelum orang tua kita menentukan tanggal pernikahan,” lanjut Julian. Aku menatap Julian lekat-lekat, berusaha menelusuri kehidupannya lewat tingkah lakunya.
“Aku bisa lebih dewasa dari yang kau bayangkan,” kata Julian. Aku hanya menarik nafas berat kemudian menggelengkan kepalaku. Tidak bisa. Aku tidak bisa menerima dia menjadi calon suamiku. Meski aku berfikir seribu kali tetap saja aku tidak bisa menerimanya.
“Kita bisa menjalaninya dulu,” kata Julian.
“Kemudian pisah jika tidak mampu?” tanyaku. Julian tertunduk, tidak ada senyum nakal di wajahnya.
“Tidak begitu,” katanya memberikan jede pada kalimatnya. “Kita hanya ingin membahagiakan orang tua kita. Dan mencoba bahagia diatas kebahagiaan mereka,” lanjutnya.
“Bukankah kau memiliki seorang kakak? Mengapa bukan kakakmu saja yang menikah dengan perempuan lain,” kataku.
“Atau menikah denganmu?” tanyanya dengan tatapan jahil. Aku mengalihkan pandanganku. Aku pasti akan sangat marah setiap kali melihatnya tersenyum kemenangan.
“Bukan begitu maksudku,” kataku setelah lama terdiam.
“Kakakku memilih keluar negeri setelah gagal membina rumah tangganya. Lalu apa salahnya jika aku membuat bahagia orang tuaku dengan mengesampingkan egoku,” kata Julia. Aku menatapnya sekilas, seakan membuka hati dan membenarkan sikapnya.
“Tap..” kalimatku terpotong
“Percayalah aku kali ini saja,” kata Julian. Tanpa aku sadari, aku mengangguk.
“Kau tidak punya pacar?” tanyaku. Julian merogoh saku celananya, mengelurkan handhponenya. Lalu tersenyum kemudian menunjukkan wallpapernya. Foto seorang gadis yang sangat cantik. Aku minder melihatnya.
“Kenapa tidak kau perjuangkan?” tanyaku menyembunyikan debaran aneh dalam hatiku. Aku sebenarnya marah saat tahu dia punya pacar. Dia seakan mempermainkanku namun aku berusaha untuk tidak menunjukkannya. Aku ingin tahu bagaimana seorang Julian menghadapi masalah ini.
“Untuk apa memperjuangkannya? Toh perjuangkan kebahagian orang tuaku jauh lebih penting. Kebahagiaan dunia dan akhiratku ada pada orang tuaku,” katanya bijak. Aku lagi-lagi mengendus kesal. Aku merasa kalau Julian bertopeng. Sok dewasa dan aku merasa jijik dengan sikapnya itu.
“Bagaimana kalau tidak ada cinta dalam pernikahan kita? Tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum.
“Apakah akan berakhir dengan perpisahan?” gumamku namun sanggup di dengar oleh Julian.
“Tidak ada usaha yang akan mengkhianati hasil. Kita akan berusaha saling mencintai. Berusaha saling menerima dan kekurangan dan akan menciptakan kebahagian dalam rumah tangga kita,” kata Julian.
“Kau yakin?” tanyaku. Julian mengangguk mantap. Aku menarik nafas berat lalu menghembuskannya dengan mulut.
“Julian,” teriak seseorang, sontak aku dan Julia berbalik menatap seorang gadis dengan langkah gontai dan tatapan amarah ke arah kami. aku menatapnya lekat-lekat, berusaha mengingat siapa gadis itu. Ach.. benar, dialah gadis dalam wallpaper itu. Dialah gadis yang Julian tidak ingin perjuangkan.
Gadis itu berhenti tepat di hadapanku. Menatapku dengan penuh amarah. Aku sendiri membalas tatapan itu. Dan saat tangannya melayang siap menamparku, aku mengenggamnya erat menjatuhkan tangan itu tepat di pahanya. Mata gadis itu berkaca-kaca, hati dan raganya lemah. Aku tersenyum meremehkan. Sedangkan Julian seakan menikmati keadaan. Merasa diperebutkan oleh dua putri. Aku menggeleng menatap kedua makhluk bau kencur di depanku ini. Satu menganggap dunia ini sangat kecil seakan menghimpitnya dan satunya lagi menikmati dunia ini dengan santainya.
“Jangan marah padaku. Marah pada lelaki yang mengkhianatimu,” bentakku.
“Kalau kau tidak menerima lamaran itu, Julian tidak akan pernah mengkhianatiku. Aku tahu itu. Sudah 18 tahun kami saling menjaga dan mencintai,” kata Gadis itu yang belakangan aku tahu bernama Claro. Claro menangis meraung. Aku mengalihkan tatapanku dari Claro.
“Kalau dia tidak melamarku, aku tidak mungkin menerimanya,” kataku dengan putus asa.
“Kau bisa menolaknya,” teriak Claro.
“Suruh pacarmu membatalkannya, gampangkan?” kataku dengan penuh penekanan. Claro menatap memohon Julian. Julian hanya mengedikkan bahunya membuatku jengkel. Dengan langkah gontai aku meninggalkan pasangan bau kencur itu. Tidak lama Julian berlari kecil menjejeri langkahku.
“Aku sudah putus dengannya. Dia saja yang terlalu manja dan tidak bersedia putus denganku,” jelas Julia.
“Terserah. Itu urusan kalian,” kataku lalu menghentikan langkahku. Julian ikut berhenti. Ku balikkan tubuhku sehingga berhadapan dengan Julian yang tertunduk merasa bersalah.
“Kita herus tetap melanjutkan rencana pernikahan kita,” kata Julian tegas. Aku menatap Julian lekat-lekat. Lagi-lagian Julian tahu apa yang aku pikirkan sebelum aku menjelaskannya. Mungkin karena itu Claro menyukainya dan tidak bisa melepaskannya. Ada sedikit rasa bersalah untuk Claro saat egoku muncul untuk mempertahankan Julian dalam kehalalan. Jika aku menikah dengan Julian maka Claro tidak akan pernah mengalahkanku._..._
Aku tidak tahu apakah keputusanku sudah benar. Yang aku tahu semakin aku mengenal Julian semakin pintu hatiku terbuka untuknya. Mungkin dia tidak seperti pemuda seusianya. Dia akan berbeda dengan caranya.
Aku tidur terlentang menatap langit-langit kamarku. Tidak lama lagi aku akan menikah, tidur berdua dengan seseorang dan mengusir rasa kesepian yang selama datang silih berganti. Mungkin benar dia lelaki terbaik untukku. Perlahan wajah Julian tercetak jelas di langit-langit kamarku. Adegan demi adegan Julian yang berusaha untuk menyakinkanku di dermaga. Senyum jahilnya, serta semua hal yang terlihat lucu pada dirinya. Aku tersenyum. sudah lama aku tidak pernah merasakan hal ini. Seperti remaja yang baru jatuh cinta. Dan tidak bisa lagi aku pungkiri bahwa aku bahagia. Mereka tidak salah memilihkan calon suami untukku.
"Bismillah,"kataku. "Semoga ke depannya, aku bisa bahagia dengan lelaki pilihan orang tuaku," gumamku pada diri sendiri.
kini aku tidak takut melangkah menuju masa depan yang lebih indah. menyandang status sebagai nyonya Julian. _..._
“Saya terima nikah dan kawinnya Yumna binti Abidin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” lafads ijab qabul Julian begitu mantap dan tegas.“Sah...” teriak semua orang yang hadir di resepsi pernikahan kami. Aku mencium punggung tangan Julian. Dia tersenyum manis. Memebelai lembut ujung jilbabku kemudian mencium keningku. Semua teriak. Julian dan aku tertawa malu malu. Kemudian kami berpindah ke pelaminan.Julian duduk tepat di sampingku, terkadang mencungkil kakiku dengan kakinya, aku menatapnya tajam dan dia mengalihkan tatapannya. Julian merapatkan tubuhnya ke arahku membuatku menarik diri memberikan jarak pada kami. dia terus mendekat hingga aku hampir terjatuh, Julian dengan cekatan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Lagi-lagi gemuruh tawa memenuhi gedung pernikahan kami. aku menggeleng tidak percaya dengan tingkah Julian. Aku mendorong tubuhnya. Perlahan tubuhku terangkat dan kembali duduk.“Aku suamimu, aka
“Dia Masih muda. Masih labil. Aku harus pahami keadaannya. Aku juga pernah ada di posisinya,” kataku pada diri sendiri. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, baju pengantinku kini sudah berganti dengan baju piyama lengan panjang yang berbahan dasar kaos. Dari dalam cermin aku bisa melihat wajah Julian yang sedang membuka pintu kamar. Dia juga sudah berganti pakaian. Dengan senyum aneh dia berjalan ke arahku. Menatap mataku lewat pantulan cermin. Julian semakin mendekat dan aku tidak punya niat untuk berbalik meski hanya sekedar untuk menatapnya.Julian meletakkan dagunya di pundakku. Aku bergerak untuk menggesernya namun dengan sigap dia menahan tubuhku. Aku hanya mendesah kesal.“Kamu sudah mengirim surat pengunduran dirimu?” rungut Julian. Aku menggeleng lalu pura-pura sibuk menghapus make up dengan alkohol di wajahku.“Kenapa?” tanya Julian masih dengan gaya manjanya.“Karena aku tidak perlu mengundurkan diri
Aku membuka pintu rumah dengan kasar. Tanpa membuka sepatu aku langsung masuk ke kamar bersiap untuk mengemasi barang-barangku. Lalu tiba-tiba aku sadar bahwa semalam aku datang bahkan tanpa membawa barang apapun. Julian begitu sempurna menyiapkan segalanya. Aku bahkan bermimpi kehidupan rumah tanggaku akan terus sempurna. Nyatanya di hari pertama pernikahan aku bahkan harus bersiap menyandang status janda.Aku menarik nafas berat kemudian menjatuhkan bokongku di atas tempat tidur. Mengusap kasar rambutku ke belakang. Pandanganku menatap ke lantai hingga aku tersentak menemukan langkah seseorang yang semakin mendekat. Aku mendongak menatap Julian yang marah. Aku memalingkan wajahku.“Perpisahan bukanlah sebuah penyelesaian,” bentak Julian.“Kau pikir lari dari masalah dan mengadu pada Mami adalah sebuah penyelesaian,” kataku dengan tawa sinisku yang membuat raut wajah Julian menahan marah.“Kau yang berbohong padaku,” b
Aku tergopoh-gopoh membawa barang belanjaanku. Meski swalayan hanya berjarak 100 meter tetapi aku takut saat sibuk bekerja sehingga tidak sempat untuk belanja. setidaknya barang dalam jinjinganku ini bisa mencukupi selama sebulan ke depan.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Gelak tawa dari dalam rumah begitu menggema. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling rumah. Di garasi terparkir beberapa motor. Aku yakin Julian sedang mengajak temannya berkunjung ke rumah. Aku menarik nafas berat berusaha memaklumi sikapnya. Sedikit berfikir bijak bahwa dia bersedia melepas masa lajangnya di usia muda. Di usia dimana dia masih bisa menikmati kesendirianya.Aku melangkah masuk ke dalam rumah, melihat sepatu berserakah. Aku jongkok untuk menyusunnya di rak sepatu meski mereka hanya tamu dan mungkin sebentar lagi akan pulang.“Cari siapa tante?” tanya pemuda yang memakai sweeter hoodi berwarna kuning.“Siapa Doni?” ku lihat satu persatu
Mami Angel sedang bersantai di ruang nonton saat aku dan Julian masuk ke dalam rumah. Mami Angel sangat bahagia melihat kami berdua ada di rumahnya. Aku sedikit sedih jika mengingat kedatanganku untuk menghilangkan wajah bahagia di wajah Mami Angel.“Papi kemana Mami?” tanya Julian kemudian duduk di sofa depan TV. Aku sendiri memutuskan ke dapur untuk mengambil buah dan mengupasnya sebagai cemilan.“Lagi keluar negeri,’jawab Mami Angel.“Mami hadir saat aku menikah dulu? Sebelum menikah dengan Julian?” tanyaku hati-hati setelah bergabung dengan Julian dan Mami Angel.“Apa sih. Kok dibahas lagi?” bentak Julian.“Tidak sih. Tetapi Mami denger kok beritanya dari teman-teman Mami,” ujar Mami.“Kenapa tidak memberitahu Julian?” tanyaku berusaha menahan air mata yang hampir mengalir di pipiku.“Karena menurut mami.. itu masa lalu kamu. Julian tidak perlu tahu. Lag
Julian menggeliat. Aku tersenyum melihatnya. Perlahan matanya terbuka dan tersenyum melihatku di sampingnya. Julian menyentuh wajah tirusku.“Aku tidak sedang mimpikan?” tanyanya. Aku mengangguk dengan air mata berlinang. Julian menghapus air mataku, lalu duduk bersandarkan kepala tempat tidur kami. aku duduk semakin mendekat ke arahnya. Julian meraih kepalaku lalu meletakkannya di bahuku.“Sekali-kali, aku ingin istriku manja padaku. Jangan aku terus yang bermanja padamu. Sekali-kali aku ingin kau berbagi beban denganku. Bukan aku terus yang membebanimu,” kata Julian. Aku mengangguk.“Jangan pernah meminta pisah. Apapun masalah kita tidak akan pernah selesai dengan kabur apalagi dengan kata cerai. Tetap bersamaku, hadapi masalah bersama dan mencari solusi. Bukannya kabur setelah mengatakan kata cerai, aku ketakutan,” kata Julian. Aku mengangguk kemudian mendongak untuk menatapnya. Baru saja dia ingin bicara, langsung ku sentu
"Aku mohon jangan pergi," rengek Julian sambil terus menarik lenganku."Inilah salah satu alasan aku menolal menikah. menyatukan dua otak berbeda itu sungguh sulit," kataku. "jadi kau menyesal menikah denganku?" rajuk julian. "jangan mengalihkan pembicaraan," bentakku. Julian mencibir."Ternyata seperti ini rasanya menikah," kata Julian kemudian tertawa bahagia."apa yang kau tertawakan?" bentakku."Rasanya nanonano," kata Julian. aku menarik nafas berat, sulit untuk berbicara dengan Julian. Aku menarik Julian ke sofa. dia cengegesan. "Apa yang kau inginkan?" bentakku pada Julian."bersamamu selamanya," kata Julian cenggesan. "tua sama-sama,""Itu hal yang mustahil," kataku.Julian menatapku tajam."Jika sikapmu masih seperti ini. maka pernikahan hingga akhir hayat itu mustahil," bentakku. Julian tertunduk sedih."Kalau begitu kita buat kesepakatan," kataku."Nikah kontrak maksudmu?" teriak Julian membuatku terkejut."bukan," kataku."Lalu?" tanya Julian."Syarat untuk tinggal ber
Aku menatap jengkel ke arah Julian yang terlelap di sofa. Claro tersenyum penuh kemenangan. Sekarang aku baru sadar bahwa dunia kami begitu berbeda. Aku meniinggalkan ruang tamu. memilih untuk istirahat di kamar. merenungi keputusanku yang mungkin salah karena menikahi bocah yang 10 tahun lebih muda dariku.Aku menarik nafas berat. Aku merasa lapar. aku memutuskan ke dapr. namun saat aku keluar kamat. Aku menyaksikan Claro bergelayut manja dilengan Julian. Aku lelah dengan semua ini. Julian tersenyum ke arahku, seakan tidak terjadi sesuatu. aku mengalihkan pandanganku. lalu berjalan menuju dapur. aku hanya membuat mie instant untuk menganjal perutku. tiba-tiba Julian datang saat aku tengah menikmati mie instant buataku."Buatku mana," kata Juian penuh semangat. aku menatap tajam ke arah Julian yang cengegesan. disaat bersamaan Claro datang."Kita makan diluar saja," kata Claro."Ayo," kata Julian tanpa peduli dengan perasaanku."Bukankah kalian akan berpisah?" tanyaku menghentikan la