"Keadaan Wanita ini sungguh mengenaskan–"Aksa memberi kode kepada dokter itu untuk berhenti berbicara.
"Dia Nona muda Dwiken, bisakah anda sopan kepadanya?"Tanya Aksa merasa tersinggung dengan perkataan dokter pribadinya, sedangkan Zeller hanya mampu mengangguk dan tersenyum tipis saja.
"Saya akan menjelaskan keadaan Nona muda secara detail dimana terdapat banyak luka memar yang membalut kulit putih pucat milik Nona Muda,"Aksa yang semula biasa saja kini ia menatap tajam Zeller.
"Darimana anda tahu? Anda melihat tubuh istri, Saya?"tanya Aksa dengan nada yang sedikit meninggi.
'Pria ini begitu cemburu saat ku katakan tentang kondisi tubuh istrinya, padahal bukan aku yang melihatnya. Tapi, para perawat yang melihatnya.'Batin Zeller.
"Tidak, Tuan Aksa. Bukan Saya yang memeriksa tubuh Nona muda, melainkan para perawat saja yang memeriksa dan mereka memberitahukannya kepada Saya."Jelas Zeller meyakinkan Aksa.
Aksa menyipitkan bola matanya,
"Jangan pernah berpikir bahwa selama Saya menjalani pengobatan, Saya sama sekali tidak mengetahui kondisi putri Saya.""Lalu Ayah menginginkan apa dariku?"Tanya Aksa.Harsa tertawa tipis, memperlihatkan deretan gigi putih yang terlihat begitu rapi tersusun dalam mulutnya."Anak muda jaman sekarang menginginkan sesuatu dengan cara yang instan,"Ucapnya seraya menepuk bahu Aksa."Tidak perlu terburu-buru, Tuan muda Aksa.""Putri kecilku ini telah membuat hidupmu sengsara, bukan? Baiklah, Saya akan membawanya pulang."setelah mendengar penuturan dari Harsa, Aruna terkejut bukan kepalang. Membiarkan Shikha pergi sama saja ia telah membiarkan putrinya pergi. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan."Tidak, Tuan Harsa. Shikha tidak akan kemana-mana, dia akan tetap bersama Aksa."ucap Aruna tidak setuju, ia melirik Aksa yang berada di sampingnya dengan tatapan sayu.Alis tebal milik Harsa menukik tajam. "Mengapa anda ingin putri Saya
Aksa membanting kasar pintu kamarnya hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Nafasnya memburu dengan aliran darah yang terus berpacu, Aksa menenggelamkan wajahnya di antara sela-sela bantal guna meredam emosinya. Jika tidak terikat janji dengan Mami nya tentang larangan meminum alkohol, Aksa sudah menenggak 5 botol wine sekarang, jadi hanya dengan cara inilah ia dapat meluapkan emosinya.Aksa mengerang, ia menjambak rambutnya frustasi. Sungguh! Ayah mertuanya telah membuatnya marah dengan mengancam akan membawa Shikha pulang. Kalau ditanya ikhlas, kah Aksa jika Shikha pergi sekarang? Tentu saja tidak! Sangat-sangat tidak ikhlas, pasalnya Aksa sendiri belum puas untuk memberi Shikha pelajaran atas tindakan kurang ajar Shikha terhadapnya selama ini. Dan jangan lupakan soal perjanjian 365 hari yang telah dibuat sendiri oleh Shikha, bahkan ini masih 3 bulan usia pernikahan mereka itu berarti Shikha telah melangggar janji jika ia menyetujui perintah ayahnya.Aksa mengelu
"Tidak, Sayang. Biar Ayah saja yang mengemasi barang-barangmu."Tolak Harsa saat Shikha ingin membantunya memasukkan beberapa barang ke dalam koper. Dokter menyatakan bahwa kondisi Shikha telah lebih baik setelah mendapatkan perawatan selama 4 hari akhirnya Shikha telah diperbolehkan pulang. Ini merupakan kabar yang baik untuknya, akhirnya ia dapat menghirup udara bebas setelah lama terkulai seharian dengan tabung oksigen yang membantunya bernafas. "Sudah." Shikha menoleh ke arah Harsa yang telah menyeret koper berukuran sedang di tangannya. "Ayo!" Harsa mengulurkan tangannya ke arah Shikha dan dibalas oleh uluran tangan mungil itu. Mereka berjalan beriringan menuju Mobil CR-V hitam milik Harsa yang terpakir di halaman rumah sakit. "Ayah, kita akan pulang ke rumah Aksa, kan?"Tanya Shikha seraya menoleh ke arah Harsa yang telah duduk di kursi kemudi. Harsa terdiam, sejujurnya ia sangat tidak setuju jika putrinya harus kembali ke rumah pe
"Mi, dimana Aksa?"Tanya Shikha, pandangannya menyapu keseluruh ruangan itu, mencari sosok pria berwajah beku. Seketika raut wajah sumringah Aruna perlahan memudar berganti dengan raut wajah pias. Aruna membetulkan posisi duduknya, yang semula bersandar pada kepala sofa, kini duduk tegak dengan tatapan serius. Dengan satu tarikan nafas, Aruna mulai menceritakan kejadian 4 hari yang lalu ketika Harsa dan Aksa berdebat di rumah sakit dan waktu itu kondisi Shikha masih tak sadarkan diri. Shikha terlihat begitu serius mencerna seluruh penuturan Aruna, sesekali ia mengangguk kepala untuk membenarkan opini Maminya itu, namun terkadang ia juga tidak menyetujui penuturan dari Aruna. "Dan begitulah,"ujar Aruna mengakhiri cerita. Shikha bergegas berdiri dan melangkah ke kamar meninggalkan Aruna yang masih duduk dengan tatapan sayu. "Pria dingin itu sungguh telah membuatku kehilangan akal, bisa-bisanya ia mengatakan hal bodoh itu kepada Mami
"Aaa... Shikha, aku ingin kau menyuapiku." Pinta Aksa terus merengek pada Shikha yang tengah sibuk menyiapkan kebutuhan pagi untuknya Sungguh merepotkan, dari bangun tidur hingga sekarang Aksa terus saja merengek tak jelas padanya. Terlebih ketika sarapan pagi yang telah diantarkan oleh asistennya datang beberapa saat yang lalu, itu semakin membuat Aksa kehilangan kendali dan terus merengek minta di suapi olehnya. Shikha memilih mengacuhkan rengekan Aksa dengan terus melakukan kegiatan agar terlihat sibuk di depan Aksa. Namun, bukannya mengerti tentang dirinya yang sibuk. Justru Aksa semakin menjadi-jadi padanya, tingkahnya sudah di luar nalar. "Argh ... Bisakah kau makan sendiri?! Aku tengah sibuk sekarang." Erang Shikha merasa jengkel. Aksa seketika diam, mengerjap begitu polos layaknya seorang balita yang tengah di marahin oleh Ibunya. Perlahan raut wajah Aksa semakin menunjukkan tanda-tanda ingin menangis, matanya telah berbi
"Shikha, Kemarilah! Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." Teriak Aksa dari lantai bawah, Shikha yang baru saja melangkah keluar kamar dibuat terkejut oleh teriakan Aksa yang sungguh memecahkan keheningan pada pagi hari ini."Shikha! Apa telingamu sudah tidak berfungsi lagi, huh?! Aku memanggilmu, cepatlah turun ke bawah sekarang." Pekik pria itu sekali lagi, Shikha yang tak ingin mendengar teriakan Aksa pun memilih bergegas untuk menemui Aksa di bawah.Ntah apa yang ingin ditunjukkan pria itu, yang jelas ia tak ingin telinganya terus berdengung karena mendengar pekikkan Aksa."Shik–" saat ingin kembali meneriaki istrinya, mulutnya lebih dulu di tutup oleh tangan mungil istrinya."Berisik sekali! Ini rumah, bukan hutan rimba." Ketus Shikha seraya mengerlingkan mata. Aksa menyingkirkan tangan Shikha yang berada di mulutnya."Itu karena kau tidak menjawab panggilanku," Dengus Aksa."Ya, baiklah. Apa yang ingin kau tunjukkan kepadaku?"
"Shikha, dimana dasiku berada?" Tanya Aksa sembari melipat lengan kemejanya.Shikha datang dengan membawa dasi yang diminta oleh Aksa, kemudian melilitkan ke kerah kemeja Aksa."Mengapa harus dilipat seperti ini?" Tanya Shikha ketika melihat lengan kemeja panjang milik Aksa yang telah terlipat hingga batas sikunya."Panas.""Kalau panas pakai saja kaos saat ke kantor daripada kau harus melipat-lipat lengan kemeja itu, sama saja kau tak menghargai usahaku untuk menyetrika pakaianmu," gerutu Shikha. Aksa terkekeh tipis, ia mengamit pinggang ramping istrinya."Cerewet sekali, huh? Aku juga tak menyuruhmu untuk melipat pakaianku, biarkan saja itu menjadi tugas Bibi. Kau cukup duduk dan perhatikan pekerjaan mereka, mudahkan?" Ucap Aksa seraya mengedikkan bahu, Shikha menekuk wajahnya kesal. Aksa ini memang tidak peka, jika dirinya masih mengandalkan Bibi untuk melipat kain saja, lantas mengapa tidak sekalian Aksa menikahi Bibi daripada menikah dengannya
Sudah hampir 2 jam berlalu sejak pria dingin itu masuk, namun CEO muda itu tak kunjung keluar dari ruangan itu. Ada apa gerangan? Batin para anak buah Aksa yang tengah dirundung gelisah. "Ini sudah lewat dari batas waktunya, aku sungguh gelisah mengingat Tuan muda tak kunjung memunculkan diri." Ujar Felix yang sedari tadi berjalan mondar-mandir untuk menghilangkan rasa risau yang begitu menyiksa dirinya. Yang lain juga sama gelisah, namun tidak sekacau Felix. Anak buah Aksa yang paling penurut, memiliki selera humor yang tinggi, jadi jika Aksa murka. Felix lah yang menyelamatkan mereka semua dari amukan Aksa. Ponsel salah seorang dari mereka bergetar, suaranya berasal dari saku celana Brema. Wajah pria muda itu seketika memucat, melihat nama yang tertera disana. Werston yang mengetahui perubahan dari wajah Brema pun mendekat, melihat apa yang menjadi penyebab perubahan pada raut wajah pria dingin ini. Ia sama terkejutnya dengan Brema, be