Share

2. Panggilan Misterius

Jane kembali menyodorkan botol air minumnya kepada Aland. Namun, kali ini laki-laki yang tengah duduk di atas brankar kesehatan itu menerimanya dengan pandangan kosong dan meneguknya. Setelah selesai, ia mengembalikannya lagi kepada Jane.

“Sebenarnya apa yang terjadi?” Aland dan Jane kompak mendongak pada Romeo yang berdiri dengan bersidekap dada. Meski wajah laki-laki itu tampak datar, tetapi Romeo pasti menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya.

Aland menurunkan pandangan, kedua tangannya kini menumpu pada lutut, ia mengingat kembali kejadian-kejadian yang ia alami pagi ini hingga seseorang mencoba membunuhnya.

“Kau mengirimkan pesan di grup bahwa ada mahasiswa yang mencoba bunuh diri, tetapi ketika kami sampai di atap, justru kami melihatmu yang hampir terbunuh. Bagaimana bisa?” Romeo mengatakan apa yang mengganjal di pikirannya. Ia bukan tipikal orang yang berbasa-basi.

Jane menepuk bahu Aland, menenangkannya. “Tidak apa-apa, pelan-pelan saja, ceritakan saja pada kami supaya semuanya jelas. Sekarang, kami juga temanmu, ‘kan?”

Aland mengembuskan napas berat. Ia menginga kilas balik kejadian yang terjadi padanya pagi ini. Cerita dimulai saat Aland melihat seorang mahasiswa dipukuli oleh orang-orang bertopeng ketika ia melewati gedung belakang kampus pagi ini. Mahasiswa yang tak lain adalah Tor, orang yang mencoba membunuhnya dengan mencekiknya di atap gedung fakultas film.

Aland menolong Tor dan membawanya ke ruang kesehatan setelah berhasil mengelabuhi sekelompok orang bertopeng dengan sirine Senior Penjaga yang mirip dengan sirine ambulans yang telah diunduh di ponselnya.

“Kenapa mereka membuatmu seperti ini? Siapa mereka?”  tanya Aland karena masih begitu penasaran mengapa mereka memakai topeng dan menyerang Tor.

“Aku tidak tahu,”  jawab Tor tanpa melihat mata Aland. Dari pandangannya yang tak tentu arah, Aland curiga ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tor.

“Kau sendiri, mengapa bisa sampai di gedung belakang?”

Mendadak Aland berdehem karena terkejut akan mendapat pertanyaan itu dari orang lain, sudah pasti keberadaannya di gedung belakang akan dipertanyakan karena selama ini tidak ada mahasiswa yang berkeliaran di sana.

“Aku sudah biasa melewati jalan itu, gerbang utama kampus cukup padat sehingga aku terlalu malas lewat sana. Ya, seperti itu.”  Aland menggaruk pelipisnya yang tak gatal, sepertinya Tor tak begitu peduli dengan jawabannya karena pemuda itu kini mengecek ponselnya yang berbunyi.

Raut wajah Tor yang berubah tegang membuat Aland mengernyitkan dahi. “Ada apa? Kenapa tidak diangkat?”

Tor menoleh pada Aland dengan raut wajah yang menegang. Ponsel di tangannya masih berbunyi. “Dia menelepon lagi.”

“Dia? Dia siapa?”

“Seseorang yang menyuruhku ke belakang sekolah sampai aku dipukuli oleh orang-orang itu.”

“Apa?”  Sesungguhnya Aland masih tidak mengerti masalah apa yang sebenarnya terjadi pada Tor, dia tidak jujur dan memilih menyembunyikan masalahnya, tetapi tatapannya seolah-olah mengatakan bahwa ia membutuhkan pertolongan.

“Baiklah, kalau begitu berikan ponselmu padaku, aku yang akan mengangkatnya.”  Aland menawarkan diri. Awalnya, Tor sempat ragu karena serangan di belakang kampus masih membekas di benaknya, menimbulkan ketakutan tersendiri baginya. Namun, saat mengingat bahwa Aland telah menolongnya, Tor akhirnya memberikan ponselnya pada Aland.

Aland menerimanya. Tulisan nomor tak dikenal tertera di layar, ia lalu menggeser tombol hijau pada layar, lalu menekan speaker. Seseorang berbicara di seberang sana.

“Kenapa lama sekali? Apa kau takut?” Aland mengernyit karena mendengar suaranya. Suara orang yang berbicara di telepon ini sudah diubah menjadi seperti tipe suara monster. Sehingga ia tak bisa memastikan apakah orang ini laki-laki atau perempuan.

“Aku sudah memberimu waktu untuk mencuri formula itu, tetapi kau tidak menggunakannya dengan baik. Apa yang harus aku lakukan padamu sekarang?”

“Formula?”  tanya Aland dengan setengah berbisik. Matanya kini tertuju pada Tor yang menunjukkan kegelisahannya sejak ia menyebutkan kata ‘formula’.

“Sekarang, cepat pergi ke laboratorium fakultas biologi, dan cepat curi formula itu! Bawa padaku dalam waktu dua puluh menit atau kalau tidak, video itu  akan tersebar!”

“Tidak!!!”  Tor berteriak histeris hingga merebut ponselnya dari Aland dan membantingnya ke lantai. Laki-laki itu menjenggut rambutnya sampai berantakan. Aland yang sempat terkejut mencoba menenangkan Tor yang tiba-tiba terduduk di lantai seperti orang frustasi, tetapi tidak berhasil. Laki-laki itu tampak sangat setres dan tak bisa tenang dalam kegelisahannya.

“Jangan khawatir, aku akan membantumu—”

“Apa yang bisa kau lakukan?!” teriak Tor saat Aland menyentuh bahunya. “Apa kau bisa membantuku mencuri formula dari fakultas biologi, hah? Apa kau anak biolgi?”

Aland menurunkan tangannya. “Aku ... bukan dari fakultas biologi.”

Tiba-tiba Tor berdiri dan menunjuk wajah Aland. “Kau berbohong! Kau tidak bisa membantuku, kan?! Kau sama seperti mereka. Atau ... jangan-jangan kau adalah bagian dari mereka?!” Tor begitu frustasi hingga kedua matanya memerah. Merasa terancam dan mengalami kejadian-kejadian tak mengenakkan membuatnya kini tak bisa mempercayai siapa pun.

“Tor! Tunggu!”

Aland bangkit dan mengejar Tor yang tiba-tiba berlari keluar ruang kesehatan. Hari masih cukup pagi sehingga belum banyak mahasiswa yang terlihat di sudut-sudut kampus. Aland melihat Tor berlari menuju tangga rooftop yang tak jauh dari gedung fakultas film. Saat Aland tiba di rooftop, betapa terkejutnya ia melihat Tor yang menaiki pembatas dan akan melompat dari atas gedung. Beruntungnya, Aland berlari sangat cepat dan menarik lengan Tor sehingga laki-laki itu tak jadi melompat.

“Apa yang kau lakukan?!” Tor berteriak pada Aland karena menolongnya.

“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan?! Apa kau sudah tidak waras  melakukan hal ini?! Semua masalah bisa kita cari jalan keluarnya, jangan berpikiran sempit seperti ini!”

“Kau bisa berbicara seperti itu karena kau bukan aku! Sekarang lebih baik kau pergi dari sini dan jangan ikut campur urusanku!” Tor hendak kembali menaiki pembatas, hal itu refleks membuat Aland menariknya dan memberinya satu pukulan di wajahnya. Tor yang tak siap menerima serangan, jatuh tersungkur di tanah.

Entah apa yang ada di pikiran Aland, ia hanya ingin membuat Tor sadar dan kembali pada akal sehatnya. Meskipun ia baru mengenal Tor, Aland tak tega melihat seseorang dalam keadaan terancam seperti ini. Tor benar-benar terlihat seperti orang yang depresi saat ini. Diam-diam Aland mengirim pesan di grup yang berisi ia bersama teman-temannya, ia meminta bantuan kepada mereka karena ada mahasiswa yang mencoba bunuh diri.   

“Tor, aku tidak bermaksud memukulmu. Maafkan aku, aku hanya ingin kau sadar bahwa kematian yang paling buruk adalah ketika kau menjemput kematianmu sendiri,” ucap Aland penuh penyesalan.

Tor mengusap sudut bibirnya. Tidak ada darah di sana. Laki-laki itu menyingkap rambutnya yang kini menutupi sebagian wajahnya. Tatapannya kini mengarah pada Aland yang masih berdiri dan mengoceh di hadapannya.

“Tor, aku benar-benar ingin membantumu. Kau bisa ceritakan semuanya padaku. Aku akan meminta bantuan teman-temanku juga, kami akan mencari jalan keluar agar masalahmu bisa berakhir. Kau harus hidup normal seperti biasanya. Jangan pernah berfikir untuk mengakhiri hidupmu sendiri.”

Tor hanya diam dengan tatapan yang sulit diartikan. Aland mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri, tetapi untuk beberapa saat Tor hanya menatapnya saja tanpa bergerak.

“Ayo,” ajak Aland. Namun, Tor menghempaskan tangannya. Laki-laki itu tiba-tiba berdiri dengan tatapan yang sudah berubah. Terlihat lebih suram dari sebelumnya.

“Omong kosong!” tanpa bisa diduga, Aland merasakan sakit di bagian lehernya. Tor tiba-tiba mencekiknya tanpa Aland tahu apa sebabnya.

 ****

“Apakah ini ponsel yang kau maksud?” Romeo menunjukkan sebuah ponsel dari saku celananya. Aland ingat betul itu adalah ponsel yang dilempar oleh Tor di ruang kesehatan sebelum dia berlari.

“Benar. Bagaimana bisa ada bersamamu?” Aland tak habis pikir ponsel milik Tor bisa di tangan Romeo sejak ia belum menceritakan apa pun mengenai Tor padanya.

“Saat hendak menutup pintu ruangan ini, ponsel ini kutemukan di belakang pintu. Ponselnya dalam keadaan mati, tapi untungnya masih bisa menyala.” Romeo berterus terang. Aland hanya mengangguk sebagai reaksi. Tak mau pikir panjang, Aland membaringkan tubuhnya di atas brankar karena mulai merasakan sakit yang mendera bagian belakang kepalanya. Hal ini biasa ia rasakan ketika merasa shock atau kelelahan.

Sementara Jane mengecek ponselnya yang menampilkan bunyi notifikasi pesan—hal yang membuat keningnya berkerut kemudian. Romeo justru mulai mengutak-atik ponsel milik Tor. Sayangnya, ponsel Tor dipasangi password, tetapi Romeo adalah mahasiswa beasiswa dari jurusan IT yang mana masalah kecil seperti ini bisa diselesaikannya dengan baik. Hanya butuh waktu beberapa saat, Romeo akhirnya menemukan apa yang ia cari.

“Jane, sebaiknya kita keluar sekarang,” ucap Romeo pada Jane yang masih berkutat pada ponselnya.

“Mau ke mana?” tanya Aland pada Romeo.

Romeo beralih menatap Aland. “Kami adalah mahasiswa beasiswa yang harus menghadiri kelas tepat waktu, Aland. Jika sekali saja kami terlambat atau tidak menghadiri kelas tanpa keterangan, maka itu bisa berakibat fatal pada beasiswa kami.”

“Oh, begitu, ya?” tanya Aland yang merasa tak enak pada mereka berdua.

“Iya. Ayo,  Jane!” ajak Romeo dengan nada dinaikkan. Jane langsung menyimpan ponselnya saat mendengar suara Romeo, yang secara tak langsung terdengar seperti menyuruhnya untuk cepat-cepat.

Jane melirik jam di pergelangan tangannya. Ia beralih pada Aland yang berbaring di atas brankar pasien. “Biasanya, sebentar lagi akan ada dokter yang bertugas, nanti kau bisa mengecek kesehatanmu. Setelah kelas selesai, aku janji akan menjengukmu. Kau istirahat di sini saja, ya, Aland. Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi kami, ya?” Jane memang ramah kepada semua orang, dia mampu membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Romeo sampai dibuat tak berkedip melihat sikap gadis itu.

Aland berusaha mengangguk di tempat tidurnya. “Jangan khawatirkan aku, kalian pergilah cepat.”

****

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ailana Misha
Kakak ceritanya bagus, buat penasaran ...
goodnovel comment avatar
Ailana Misha
Ceritanya baguss kakkk...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status