Jane kembali menyodorkan botol air minumnya kepada Aland. Namun, kali ini laki-laki yang tengah duduk di atas brankar kesehatan itu menerimanya dengan pandangan kosong dan meneguknya. Setelah selesai, ia mengembalikannya lagi kepada Jane.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Aland dan Jane kompak mendongak pada Romeo yang berdiri dengan bersidekap dada. Meski wajah laki-laki itu tampak datar, tetapi Romeo pasti menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya.
Aland menurunkan pandangan, kedua tangannya kini menumpu pada lutut, ia mengingat kembali kejadian-kejadian yang ia alami pagi ini hingga seseorang mencoba membunuhnya.
“Kau mengirimkan pesan di grup bahwa ada mahasiswa yang mencoba bunuh diri, tetapi ketika kami sampai di atap, justru kami melihatmu yang hampir terbunuh. Bagaimana bisa?” Romeo mengatakan apa yang mengganjal di pikirannya. Ia bukan tipikal orang yang berbasa-basi.
Jane menepuk bahu Aland, menenangkannya. “Tidak apa-apa, pelan-pelan saja, ceritakan saja pada kami supaya semuanya jelas. Sekarang, kami juga temanmu, ‘kan?”
Aland mengembuskan napas berat. Ia menginga kilas balik kejadian yang terjadi padanya pagi ini. Cerita dimulai saat Aland melihat seorang mahasiswa dipukuli oleh orang-orang bertopeng ketika ia melewati gedung belakang kampus pagi ini. Mahasiswa yang tak lain adalah Tor, orang yang mencoba membunuhnya dengan mencekiknya di atap gedung fakultas film.
Aland menolong Tor dan membawanya ke ruang kesehatan setelah berhasil mengelabuhi sekelompok orang bertopeng dengan sirine Senior Penjaga yang mirip dengan sirine ambulans yang telah diunduh di ponselnya.
“Kenapa mereka membuatmu seperti ini? Siapa mereka?” tanya Aland karena masih begitu penasaran mengapa mereka memakai topeng dan menyerang Tor.
“Aku tidak tahu,” jawab Tor tanpa melihat mata Aland. Dari pandangannya yang tak tentu arah, Aland curiga ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tor.
“Kau sendiri, mengapa bisa sampai di gedung belakang?”
Mendadak Aland berdehem karena terkejut akan mendapat pertanyaan itu dari orang lain, sudah pasti keberadaannya di gedung belakang akan dipertanyakan karena selama ini tidak ada mahasiswa yang berkeliaran di sana.
“Aku sudah biasa melewati jalan itu, gerbang utama kampus cukup padat sehingga aku terlalu malas lewat sana. Ya, seperti itu.” Aland menggaruk pelipisnya yang tak gatal, sepertinya Tor tak begitu peduli dengan jawabannya karena pemuda itu kini mengecek ponselnya yang berbunyi.
Raut wajah Tor yang berubah tegang membuat Aland mengernyitkan dahi. “Ada apa? Kenapa tidak diangkat?”
Tor menoleh pada Aland dengan raut wajah yang menegang. Ponsel di tangannya masih berbunyi. “Dia menelepon lagi.”
“Dia? Dia siapa?”
“Seseorang yang menyuruhku ke belakang sekolah sampai aku dipukuli oleh orang-orang itu.”
“Apa?” Sesungguhnya Aland masih tidak mengerti masalah apa yang sebenarnya terjadi pada Tor, dia tidak jujur dan memilih menyembunyikan masalahnya, tetapi tatapannya seolah-olah mengatakan bahwa ia membutuhkan pertolongan.
“Baiklah, kalau begitu berikan ponselmu padaku, aku yang akan mengangkatnya.” Aland menawarkan diri. Awalnya, Tor sempat ragu karena serangan di belakang kampus masih membekas di benaknya, menimbulkan ketakutan tersendiri baginya. Namun, saat mengingat bahwa Aland telah menolongnya, Tor akhirnya memberikan ponselnya pada Aland.
Aland menerimanya. Tulisan nomor tak dikenal tertera di layar, ia lalu menggeser tombol hijau pada layar, lalu menekan speaker. Seseorang berbicara di seberang sana.
“Kenapa lama sekali? Apa kau takut?” Aland mengernyit karena mendengar suaranya. Suara orang yang berbicara di telepon ini sudah diubah menjadi seperti tipe suara monster. Sehingga ia tak bisa memastikan apakah orang ini laki-laki atau perempuan.
“Aku sudah memberimu waktu untuk mencuri formula itu, tetapi kau tidak menggunakannya dengan baik. Apa yang harus aku lakukan padamu sekarang?”
“Formula?” tanya Aland dengan setengah berbisik. Matanya kini tertuju pada Tor yang menunjukkan kegelisahannya sejak ia menyebutkan kata ‘formula’.
“Sekarang, cepat pergi ke laboratorium fakultas biologi, dan cepat curi formula itu! Bawa padaku dalam waktu dua puluh menit atau kalau tidak, video itu akan tersebar!”
“Tidak!!!” Tor berteriak histeris hingga merebut ponselnya dari Aland dan membantingnya ke lantai. Laki-laki itu menjenggut rambutnya sampai berantakan. Aland yang sempat terkejut mencoba menenangkan Tor yang tiba-tiba terduduk di lantai seperti orang frustasi, tetapi tidak berhasil. Laki-laki itu tampak sangat setres dan tak bisa tenang dalam kegelisahannya.
“Jangan khawatir, aku akan membantumu—”
“Apa yang bisa kau lakukan?!” teriak Tor saat Aland menyentuh bahunya. “Apa kau bisa membantuku mencuri formula dari fakultas biologi, hah? Apa kau anak biolgi?”
Aland menurunkan tangannya. “Aku ... bukan dari fakultas biologi.”
Tiba-tiba Tor berdiri dan menunjuk wajah Aland. “Kau berbohong! Kau tidak bisa membantuku, kan?! Kau sama seperti mereka. Atau ... jangan-jangan kau adalah bagian dari mereka?!” Tor begitu frustasi hingga kedua matanya memerah. Merasa terancam dan mengalami kejadian-kejadian tak mengenakkan membuatnya kini tak bisa mempercayai siapa pun.
“Tor! Tunggu!”
Aland bangkit dan mengejar Tor yang tiba-tiba berlari keluar ruang kesehatan. Hari masih cukup pagi sehingga belum banyak mahasiswa yang terlihat di sudut-sudut kampus. Aland melihat Tor berlari menuju tangga rooftop yang tak jauh dari gedung fakultas film. Saat Aland tiba di rooftop, betapa terkejutnya ia melihat Tor yang menaiki pembatas dan akan melompat dari atas gedung. Beruntungnya, Aland berlari sangat cepat dan menarik lengan Tor sehingga laki-laki itu tak jadi melompat.
“Apa yang kau lakukan?!” Tor berteriak pada Aland karena menolongnya.
“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan?! Apa kau sudah tidak waras melakukan hal ini?! Semua masalah bisa kita cari jalan keluarnya, jangan berpikiran sempit seperti ini!”
“Kau bisa berbicara seperti itu karena kau bukan aku! Sekarang lebih baik kau pergi dari sini dan jangan ikut campur urusanku!” Tor hendak kembali menaiki pembatas, hal itu refleks membuat Aland menariknya dan memberinya satu pukulan di wajahnya. Tor yang tak siap menerima serangan, jatuh tersungkur di tanah.
Entah apa yang ada di pikiran Aland, ia hanya ingin membuat Tor sadar dan kembali pada akal sehatnya. Meskipun ia baru mengenal Tor, Aland tak tega melihat seseorang dalam keadaan terancam seperti ini. Tor benar-benar terlihat seperti orang yang depresi saat ini. Diam-diam Aland mengirim pesan di grup yang berisi ia bersama teman-temannya, ia meminta bantuan kepada mereka karena ada mahasiswa yang mencoba bunuh diri.
“Tor, aku tidak bermaksud memukulmu. Maafkan aku, aku hanya ingin kau sadar bahwa kematian yang paling buruk adalah ketika kau menjemput kematianmu sendiri,” ucap Aland penuh penyesalan.
Tor mengusap sudut bibirnya. Tidak ada darah di sana. Laki-laki itu menyingkap rambutnya yang kini menutupi sebagian wajahnya. Tatapannya kini mengarah pada Aland yang masih berdiri dan mengoceh di hadapannya.
“Tor, aku benar-benar ingin membantumu. Kau bisa ceritakan semuanya padaku. Aku akan meminta bantuan teman-temanku juga, kami akan mencari jalan keluar agar masalahmu bisa berakhir. Kau harus hidup normal seperti biasanya. Jangan pernah berfikir untuk mengakhiri hidupmu sendiri.”
Tor hanya diam dengan tatapan yang sulit diartikan. Aland mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri, tetapi untuk beberapa saat Tor hanya menatapnya saja tanpa bergerak.
“Ayo,” ajak Aland. Namun, Tor menghempaskan tangannya. Laki-laki itu tiba-tiba berdiri dengan tatapan yang sudah berubah. Terlihat lebih suram dari sebelumnya.
“Omong kosong!” tanpa bisa diduga, Aland merasakan sakit di bagian lehernya. Tor tiba-tiba mencekiknya tanpa Aland tahu apa sebabnya.
****
“Apakah ini ponsel yang kau maksud?” Romeo menunjukkan sebuah ponsel dari saku celananya. Aland ingat betul itu adalah ponsel yang dilempar oleh Tor di ruang kesehatan sebelum dia berlari.
“Benar. Bagaimana bisa ada bersamamu?” Aland tak habis pikir ponsel milik Tor bisa di tangan Romeo sejak ia belum menceritakan apa pun mengenai Tor padanya.
“Saat hendak menutup pintu ruangan ini, ponsel ini kutemukan di belakang pintu. Ponselnya dalam keadaan mati, tapi untungnya masih bisa menyala.” Romeo berterus terang. Aland hanya mengangguk sebagai reaksi. Tak mau pikir panjang, Aland membaringkan tubuhnya di atas brankar karena mulai merasakan sakit yang mendera bagian belakang kepalanya. Hal ini biasa ia rasakan ketika merasa shock atau kelelahan.
Sementara Jane mengecek ponselnya yang menampilkan bunyi notifikasi pesan—hal yang membuat keningnya berkerut kemudian. Romeo justru mulai mengutak-atik ponsel milik Tor. Sayangnya, ponsel Tor dipasangi password, tetapi Romeo adalah mahasiswa beasiswa dari jurusan IT yang mana masalah kecil seperti ini bisa diselesaikannya dengan baik. Hanya butuh waktu beberapa saat, Romeo akhirnya menemukan apa yang ia cari.
“Jane, sebaiknya kita keluar sekarang,” ucap Romeo pada Jane yang masih berkutat pada ponselnya.
“Mau ke mana?” tanya Aland pada Romeo.
Romeo beralih menatap Aland. “Kami adalah mahasiswa beasiswa yang harus menghadiri kelas tepat waktu, Aland. Jika sekali saja kami terlambat atau tidak menghadiri kelas tanpa keterangan, maka itu bisa berakibat fatal pada beasiswa kami.”
“Oh, begitu, ya?” tanya Aland yang merasa tak enak pada mereka berdua.
“Iya. Ayo, Jane!” ajak Romeo dengan nada dinaikkan. Jane langsung menyimpan ponselnya saat mendengar suara Romeo, yang secara tak langsung terdengar seperti menyuruhnya untuk cepat-cepat.
Jane melirik jam di pergelangan tangannya. Ia beralih pada Aland yang berbaring di atas brankar pasien. “Biasanya, sebentar lagi akan ada dokter yang bertugas, nanti kau bisa mengecek kesehatanmu. Setelah kelas selesai, aku janji akan menjengukmu. Kau istirahat di sini saja, ya, Aland. Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi kami, ya?” Jane memang ramah kepada semua orang, dia mampu membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Romeo sampai dibuat tak berkedip melihat sikap gadis itu.
Aland berusaha mengangguk di tempat tidurnya. “Jangan khawatirkan aku, kalian pergilah cepat.”
****
Hari sudah berganti gelap. Lampu-lampu di dalam kelas dipadamkan, berganti lampu-lampu koridor yang dinyalakan. Ditutupnya loker tempat ia menyimpan barang-barangnya. Aland mengecek ponselnya kembali, ada beberapa pesan yang tak terbaca. Mengetahui belum ada balasan apa pun baik dari pihak Romeo maupun Joo, ia menghela napas kemudian. Ke mana perginya semua teman-temannya? Mengapa mereka semua tiba-tiba menghilang tanpa kabar?Berbalik badan, Aland menyandarkan punggungnya pada loker. Menatap langit-langit dengan pikiran yang kacau, lalu beralih menekan layar ponselnya sebanyak dua kali. Terlihatlah gambar dua anak-anak dengan perbedaan tinggi yang cukup signifikan. Seorang anak laki-laki tersenyum lebar yang menunjukkan gigi ompongnya, dan anak perempuan yang lebih tinggi darinya menunjukkan wajah datarnya pada kamera. Tanpa sadar, Aland tersenyum, ia ingat foto ini diambil bertahun-tahun yang lalu.Sebuah suara menyadarkan Aland dari dunianya. Samar-samar ia mendenga
Dua minggu yang lalu ... (Foto perempuan dengan almamater kampus) Keterangan: Telah hilang ... Mikhaela Luisa Sophrosyne, Mahasiswi dari jurusan ekonomi. Hingga kini masih belum diketahui keberadaannya. Aland berdiri mematung di depan papan pengumuman lobi utama kampus. Kedua matanya menyapu kata demi kata yang tertera di bawah foto perempuan yang amat dirindukannya. Foto yang diambil untuk kartu tanda mahasiswa itu masih memperlihatkan senyum ceria perempuan itu. Hari ini adalah hari pertama Aland di kampus yang baru. Kepindahannya ke sini tak lain memiliki sebuah tujuan. Yakni untuk membongkar semua fakta yang mencoba ditutupi oleh pihak kampus. Mengingat itu, tanpa sadar membuat tangannya mengepal di sisi jarit celana. Tanpa basa-basi, laki-laki yang merupakan mahasiswa baru itu mem
Aland memberikan tatapan waspada ketika Joo duduk di sofa yang sama dengannya, sementara Kate hanya berdiri di dekatnya dengan bersedekap dada. Sejujurnya, ini agak mengerikan karena tiba-tiba Aland terbangun di tempat yang tidak diketahuinya, usai penyerangan tiba-tiba yang dilakukan oleh mereka padanya.Kate dan Joo hanya memberikan tatapan yang sulit diartikan oleh Aland. Tidak ada yang memulai pembicaraan sampai Ken yang entah datang dari mana terkejut karena tak ada seorang pun di meja makan, mengetahui Aland yang telah bangun dan Kate serta Joo berada di sana—laki-laki itu langsung menegur Aland.“Rupanya kau sudah bangun?” Pertanyaan Ken hanya dianggurkan oleh Aland. Pandangan Aland turun pada tas hitam di tangan Ken. Ekspresi Aland berubah seketika ketika mengetahui itu adalah tasnya.“Apa yang kau lakukan pada tasku?” Aland merebut tas miliknya dari tangan Ken, tetapi yang membuat Aland merasa aneh adalah ketika Ken memberi
Tumpukan-tumpukan kayu itu sekilas hanya terlihat semacam tumpukan kayu dalam jumlah banyak, ditambah papan tripleks yang dibiarkan bersandar di tengah-tengahnya, tetapi siapa sangka, jika papan tripleks yang digunakan sebagai pintu itu digeser, kau akan menemukan ruangan kecil yang sengaja disulap menjadi ruang kerja. Terdapat satu set komputer dan beberapa jenis perangkat keras yang tertata rapi di atas meja. Satu buah kursi tunggal, serta sofa panjang berwarna biru yang ditambal dengan kain di beberapa bagiannya. Ruangan kecil yang cukup nyaman dan bersih dibanding keadaan di luarnya. Aland, Joo, Kate, Ken, dengan Jane sempat panik saat mengetahui ada orang lain selain mereka di sini.“Benar, aku memang adik dari Kak Mikhaela yang dikabarkan hilang itu,” jawab Aland ketika laki-laki yang keluar dari tumpukan-tumpukan bangku itu bertanya kepadanya. Aland sudah berpikir macam-macam bahwa rahasianya dalam membentuk kelompok rahasia untuk mencari kakaknya aka
Senja telah membumi. Lampu-lampu telah dinyalakan di koridor juga beberapa sudut penting kampus. pada hari di mana kejadian Aland dicekik oleh korban teror Geng Topeng Hitam di atap gedung fakultas film, Romeo mengajak Jane diam-diam menyelinap ke dalam ke ruang club biologi usai kelas berakhir. Ponsel Tor yang Romeo temukan di belakang pintu ruang kesehatan tempat Aland berbaring kini berada di tangannya. Bermodalkan kemampuan dan peralatan seadanya, Romeo berhasil melacak password dan membuka pintu ruangan. Ruangan ini lebih kecil dari laboratorium biologi, tentu saja. Terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang yang di kelilingi banyak kursi tunggal di ruangan ini, karena ruangan ini hanya dikhususkan untuk para mahasiswa dari jurusan mana pun yang memiliki ketertarikan belajar biologi.Romeo dan Jane berhenti di depan sebuah lemari kaca yang terdapat gelas-gelas berisikan cairan kimia berwarna ungu di dalamnya. Jane masih tak mengerti maksud Romeo mengajaknya ke
“Romeo di-skors.” Satu hal yang terlintas di kepala Aland ketika Jane mengatakan hal itu kepada ia dan yang lain, saat mereka berkumpul tanpa Romeo—Aland langsung menuju asrama laki-laki, meminta petugas penjaga untuk mengantarnya ke kamar Romeo, tetapi lelaki berkacamata itu tidak ditemukan di kamarnya. Aland justru menemukan Romeo di balkon atap asrama—duduk di sebuah bangku reot dan diam termenung. Merasa mengenali punggungnya, Aland melompati dinding pembatas setinggi paha orang dewasa, menghampiri laki-laki yang tengah menyendiri itu. “Mengapa tidak bilang padaku, kalau kau mendapat skorsing?” Pandangan Romeo yang semula tertuju pada pemandangan pemukiman di bawah sana, kini mengikuti arah langkah kaki Aland yang berhenti pada dinding pembatas. Wajah yang ditimpa sinar mentari itu ikut menikmati keindahan pemandangan di depannya. “Tidak ada hubungannya denganmu,” balas Romeo singkat. Suasana hatinya sedang tidak baik kala mengingat bagaim
“F—Fluke?”Dahi Fluke mengernyit kala mendengar suara seseorang yang sepertinya dia kenal. Lampu ponsel yang menyorot wajahnya mati seketika tanpa diduga. Gadis itu kemudian mengecek ponselnya yang tak kunjung menyala. Sialnya, kini baterai ponselnya habis.Sebelah alis Fluke terangkat ketika dengan jelas ia dapat melihat wajah seorang gadis dengan rambut yang tergerai lurus di hadapannya, meski dalam kegelapan. Salah satu sudut bibir Flukr terangkat kemudian, rupanya dia adalah gadis yang bersama dengan saingannya di ruang biologi beberapa hari lalu.“Mengapa aku selalu menemukanmu dalam kegelapan?”Pertanyaan Fluke mengundang Jane yang semula mengecek ponselnya, kini mendongak menatapnya. Hal pertama yang Jane temukan adalah wajah Fluke yang tengah tersenyum miring dengan tatapan yang tersorot padanya.Jane berusaha bersikap tidak gentar meski status Fluke adalah keponakan rektor. Terkadang, ia merasa gerah saat oran
“Ini adalah ruang club biologi.” Romeo melingkari sebuah objek gedung dengan pena merahnya. “Beberapa di antara kita nanti akan bergabung dengan club ini. Tujuan kita di sini adalah mencuri sampel cairan kimia yang pernah melibatkan peneroran Tor. Aku tidak akan ikut bergabung dengan club ini, karena pasti Fluke akan dengan mudah curiga padaku jika kedua kalinya aku masuk ke club biologi. Aku akan memandu kalian dari jauh. Karena rencana ini cukup berisiko untuk dijalani. Jadi, aku ingin para pria saja yang bergabung dengan club ini nanti, kecuali aku.” Mendengar penjelasan rencana Romeo, Kate meledek Joo karena tahu laki-laki itu tak suka berkecimpung dengan club yang terlalu serius seperti club biologi. Joo memasang muka masam karena ledekan Kate. Begitu mengarahkan pandangannya pada Kate dan Ken, Romeo mengernyitkan dahinya karena menyadari sesuatu. “Tidak-tidak. Sepertinya, Kate