Devan duduk di samping Petra yang sedang berbaring. Wajahnya risau menatap ke arah ayahnya yang sudah terlelap tidur dengan tangan di infus. Ada kecewa di hati Devan pada sikap Petra yang menyembunyikan rahasia besar tentang kelakuan Dhaka. Ingin marah, tapi dia tahan karena kondisi Petra yang sedang sakit.
Petra terbangun karena tak tenang tidurnya. Saat dia membuka mata, dia melihat wajah anaknya sedang muram, menahan kesal. Petra tak tahu ada hal apa yang membuat anaknya berprilaku seperti itu.
"Kamu kenapa Devan?"
Devan terperanjat. Dia mendengkus berusaha menahan segalanya tapi gagal. Dia terlalu tertekan dengan kondisi istrinya. "Devan udah tahu tentang kelakuan Dhaka ayah. Devan kecewa kenapa ayah melindungi Dhaka. Berapa puluh kali ayah memaklumi kesal
Kirana mengirim pesan pada Devan. Sebuah video, rekaman suara beserta chat yang lumayan panjang. Dia menulis dengan cepat, supaya Dhaka tidak melihatnya. Dhaka menginap di rumah Kirana malam ini. Kirana sudah menyuruh Dhaka pulang, tapi pria itu tidak mau pulang.Lalu, setelah 15 menit berlalu Devan membalas pesan itu. "Makasih banyak, Kirana."Setelah mendapat balasan, Kirana berniat kembali ke kamarnya. Bukan hal baik jika dia terus berada di sini. Tapi, sepertinya sudah terlambat. Dhaka sudah berada di belakang Kirana, melihat semua aktifitas Kirana."Penghianat, berani lo kirim chat sama Abang." Dhaka merebut gawai Kirana. Dia menjambak rambut Kirana, lalu mendorongnya hingga tersungkur. Melemparkan gawai ke wajah Kirana lalu memukul wanita itu.Tidak puas meluapkan emosi, dia menjatuhkan benda apa pun yang dia lihat. Menghampiri Kirana kembali dan menamparnya.
Raina lega, ternyata Devan tidak selingkuh dengan Kirana. Tapi dia masih bingung kenapa Dhaka dan Kirana sampai bisa berpacaran. Dia pikir wanita yang ambisius seperti Kirana tidak bisa berpaling pada Devan."Abang serius Kirana dan Dhaka ada hubungan? Aku kaget dengernya, loh.""Aku juga awalnya gak percaya, tapi mereka memang sering nginep bareng.""Aku lega. Itu artinya Bang Dev gak selingkuh sama Kirana. Aku kira semalam kalian habis ngapain."Devan baru sadar Raina tahu lebih banyak dari yang dia pikirkan, dia nampak kesal. "Rain, kamu buka-buka hape, Abang?""Iya. Salah sendiri kenapa semalam bikin orang curiga.""Aku sayang sama kamu, apapun yang aku lakukan itu semua demi kamu. Kalau aku belum cerita apa pun itu karena aku nunggu waktu yang tepat. Bagaimana pun aku gak mau kamu stres berlebihan, aku tahu kamu pasti traum
Raina memasuki rumah itu lagi, di mana dia menghabiskan waktu kecil dengan suka cita dan bermakna. Walaupun, pada akhirnya dia didepak juga oleh orang baru yang berstatus istri muda dari Arman. Arman dulu sudah merawat Raina dengan baik, mengenalkan Raina pada musik, menyekolahkan di Sekolah ternama, membuat gadis itu berprestasi di usia muda dengan attitude yang bagus. Dalam hatinya, dia ingin Raina kembali. Atau paling tidak, ingin Raina mengunjunginya sambil membawa Zian dan Devan. Tapi Rachel melarangnya."Nona Raina!" sapa seorang asisten rumah tangga yang dulunya dekat dengan Raina. Matanya berbinar saat melihat anak majikannya sudah datang."Mbak Surti apa kabar?""Alhamdulillah, baik, Nona." Surti melihat ke arah Zian, secara alami matanya menggoda balita yang berada di pangkuan Raina. "Lucu sekali anaknya, Non. Sudah b
Devan dan Raina meluncur berdua ke dalam infinity pool di hotel dengan view menghadap ke laut. Mereka baru akan menikmati pantai sore hari.Raina bahagia bisa berenang bersama suaminya. Raina harus akui, dia terpesona melihat tubuh kekar suaminya saat meluncur dan berenang dengan berbagai gaya. Hingga dia merasa minder dan berdiam diri di pojokan, padahal sebenarnya Raina juga bisa mengimbangi Devan."Rain! Sini, Sayang!"Raina berenang ke tengah, mendekat ke arah Devan, lalu lanjut berenang tak jauh dari posisi Devan berada. Saat tubuhnya di dalam air semua beban pikiran sejenak menghilang diganti dengan kepuasan batin. Sesekali, Devan akan menggoda Raina dengan menangkapnya di dalam air."Bahagia banget ya keliatannya mereka. Gua kapan sama pasangan kaya gitu?" Arka terpaksa bermonolog, ingin mengobrol sama temannya Raina tapi dari tadi Naya jaga jarak.
Raina berbaring di rumah sakit. Kini dirinya sedang dipasang selang tempat mengalirnya air kencing. Karena nantinya, selama satu sampai dua hari dirinya akan kesulitan untuk menggerakkan badan, hanya bisa berbaring, termasuk tidak akan sanggup jika pergi ke kamar mandi. Masih merasa mimpi, akhirnya dia mengulangi lagi kejadian tujuh tahun lalu, dia harus menjalani oprasi Caesar yang ke dua. Perasaanya kembali resah, tidak jauh beda saat melahirkan Zian dulu. Bedanya adalah, kini dia bebas menggenggam tangan Devan tanpa rasa canggung. Bahkan dia tanpa rasa malu mencubit lengan Devan jika sedang ketakutan. "Aawww ...." teriak Devan. Suster mendongak menatap Devan sambil tersenyum. Tadinya dia heran kenapa Raina yang sedang dipasang selang tapi malah Devan yang teriak, rupanya pasien nya tersebut, sedang meluapkan rasa takut dengan mencubit dan meremas lengan suaminya. "Rileks saja, Bu Raina
Devan menggenggam tangan Raina yang kini berbaring di rumah bersalin. Dia melihat raut ketakutan pada mantan kekasih adiknya itu. Sebenarnya, genggaman ini bukan karena rasa kasih sayang, akan tetapi sebuah keterpaksaan yang perlahan mulai mengikis hatinya yang sunyi. "Jangan takut! Jangan berhenti berdoa biar hati kamu juga makin tenang. Percaya aja, bahwa kamu bisa melewatinya," ucap Devan dengan wajah datar. Seolah ucapan itu hanya sebatas kalimat penenang yang dia ambil dari g****e. Raina mengangguk seraya memaksakan diri untuk tersenyum. Dia dapat merasakan, seberapa canggungnya Devan. Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangan pada langit-langit. Terlihat gerakan bibirnya membacakan do’a, namun raut wajahnya tetap resah. Sebentar lagi dirinya harus menjalani operasi Caesar. Devan mulai melirik Raina kembali. Dia mengacak rambutnya karena kebingungan, kalimat apa lagi yang harus diucapkan pada wanita yang dengan terpaksa dia nikahi bebera
Devan menaruh bungkusan warna putih. Tulisan mandarin dan logo brand di plastik tersebut membuat Raina tidak perlu bertanya untuk tahu isinya."Ini obat cina yang aku ceritain kemarin. Ada 6 kapsul, diminum setiap mau tidur, kata temanku proses penyembuhan luka caesar bakal cepet." Devan tidak tahu hal seperti ini, jika bukan dari temannya yang dengan inisiatif memberitahu duluan."Iya, makasih.""Aku juga beli ekstrak gabus buat kamu, kamu kan gak suka makan ikan gabus langsung. Jadi gantinya ini.""Iya, nanti bakalan aku minum," jawab Raina.Beberapa saat mereka terdiam, pandangan mata Devan masih tertuju pada plastik yang sudah dia taruh di nakas. Seolah, ingin mengatakan sesuatu namun tertahan.Raina tahu ada hal lain yang ingin Devan sampaikan, tapi dia pun tidak berani untuk bertanya.Hingga akhirny
"Jika Raina pergi, pasti dia akan membawa Zian pergi juga, ibu gak ingin itu terjadi. Sementara Dhaka, anak itu keberadaanya saja gak tahu di mana." April berkata sambil melanjutkan pekerjaan dapur yang sempat tertunda.Devan terdiam."Ibu mohon sama kamu, supaya lebih memahami kondisi ini. Kamu tahu sendiri, hubungan Raina dan keluarga angkatnya kaya gimana, hanya Almarhumah Bu Fatma yang baik sama Raina. Jika Zian tinggal di sana, ibu gak bisa lihat perkembangan mental Zian seperti apa, terlebih Raina masih sangat labil jika dilihat dari usia dan kondisi keluarga angkatnya itu."Devan ingin sekali berkata bodo amat untuk masalah Raina, tapi takut kualat sama ibunya. Akhirnya, dia memilih mengangguk-angguk saja. Formalitas, supaya April tak membahas itu lagi."Lagipula Raina wanita yang baik.""Semua orang yang hidup menumpang, bisa mendadak jadi baik, Bu.