Pada akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk meninggalkan catatan kecil di atas meja. Dengan alasan Gladis pergi ke minimarket dengan Jenni. Saat di jalan Jenni menanyakan alasan Steve harus bertemu dengan sahabatnya itu. Gladis tidak bisa menjawab, karena dirinya sendiri juga belum tau.
"G-gimana kalo ternyata Abang lo udah tau soal ...." Jenni ingin mengingatkan kepada Gladis. Namun belum selesai ucapan gadis tomboy itu, mulutnya langsung disumpal oleh Gladis. Dengan mata memelototi Jenni, dia tidak ingin Reska tau.
Jenni mengangkat kedua tangannya, tanda dia menyerah. 'hampir aja!' batinnya.
Benar saja, Reska curiga mereka berdua menyembunyikan sesuatu darinya. Matanya menelusuri setiap gerak gerik kedua sahabatnya itu. Jenni mulai risih dengan pandangan pria berpostur tinggi itu. "Apa sih, gak ada yang aneh-aneh ya? Perasaan lo doang itu."
Tak mau ambil pusing, mereka bertiga akhir
Steve masih ragu untuk menjawab. Entah apa yanng dipikirkan lelaki bertato itu. Namun faktanya dia juga sering ada untuk Jenni walau sebatas teman curhat. Tetapi, sebenarnya Steve sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan gadis lain. Mungkinkah yang selalu ada akan kalah dengan yang sebatas virtual? Sayangnya, jawaban dari Steve sangat jauh berbeda dari bayangan kedua gadis itu. Pria gondrong itu hanya menganggap Jenni sebagai adiknya. Perhatian yang selama ini dia berikan hanya karena Jenni memang dekat dengan Gladis. Jenni mendengar jawaban tersebut langsung berbalik dan ingin pergi, tapi bahunya di tahan oleh Reska. "Lo mau kemana?" "L-lepasin!" Dengan air mata yang telah menggenang di pelupuk yang tertutupi kaca mata hitam, Jenni menahan sesak di dadanya. Sementara kedua kakak beradik itu terus melanjutkan obrolan mereka. Dengan mengerutkan dahi, Steve kembali berb
Akan tetapi, Reska malah menantang kembali gadis cantik itu. Mungkin, jika itu adalah Gladis, dia tidak akan berani melawannya. Langkah kaki sudah tak seimbang lagi, membuat Jenni seakan terlempar ke samping. Jenni menginjak pinggiran kolam renang yang licin dan .... Byurrr! mereka berdua tercebur ke kolam renang yang lumayan dalam. Reska sudah naik terlebih dahulu. Namun Jenni masih berada di dalam air karena dia tidak bisa berenang. Dengan mulut menahan air agar tidak tersedak, dia berusaha untuk naik ke permukaan. Sedangkan Reska sudak sampai ke tepian. Dia melihat sahabatnya sedang kesusahan, Reska langsung berusaha membantunya. "Kamu gak papa?" tanya Reska panik. Namun, Jenni masih bersikap acuh dan dingin. "Lepasin gue!" Dengan mata merah menahan perih dan mulut yang terbuka sedang mengatur nafas, Jenni berusaha menjauhkan dirinya dari Reska. Mereka berdua berusaha naik ke daratan. &
"Siapa ini? seperti pernah melihat nomor ini?" Sejurus kemudian Gladis berbalik, berusaha merebut ponselnya dari tangan Arsen. Tak ingin diganggu, Arsen langsung memencet tombol bewarna merah untuk mematikan sambungan telepon. Karena perebutan ponsel tersebut, kini tangan Gladis berada di belakang. Keduanya digenggam oleh Arsen, terkunci tak bisa bergerak. Arsen menyejajarkan wajahnya dan memandangi wajah ayu yang merona milik kekasihnya. Mata Gladis membulat, terlihat bingung dan polos membuat kesan imut. Ia ingin menarik tangannya namun sulit terlepas dari genggaman tangan Arsen. Perlahan namun pasti, Arsen mulai mencium bibir manis Gladis. "Lain kali jangan gitu ya, cantik! Kalo pergi bilang dulu!" Gladis semakin membulatkan matanya, seolah tak percaya dengan apa yang se
Melinda gelagapan dengan pertanyaan CFO tersebut. Dia tidak menyangka akan diragukan oleh partnernya. Sejauh ini dirinya sendiri juga tidak memikirkannya. Karena perbuatannya tidak ada yang mencurigai sampai pada rapat pemegang saham waktu lalu. "Jika aku terseret masalah, maka aku juga akan membawamu!" CFO itu mengancam Melinda. Dengan mata terbuka lebar dan alis yang hampir menyatu, melinda menjawab dengan ketus ucapannya. Dia meyakinkan jika mereka tidak akan terkena masalah jika CFO tersebut tidak berbuat yang aneh-aneh. Pagi hari, suasana di hotel tempat Reska dan Jenni menginap sangat tenang. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi kamar yang mereka huni. Kedua sahabat itu masih saja menyalahkan satu sama lain tentang kejadian yang mereka lalui, walaupun itu hal sepele. Seperti saat ini, ketika ingin pulang dan berangkat kerja, Reska ingin menumpang dengan Jenni karena dia
Arsen mengerutkan dahinya. Memahami setiap kata yang diucapkan oleh Mateo. Semuanya memang benar, tapi apa yang harus ia katakan dengan jujur? Semua membuatnya bingung. "Maksud tuan?" "Kau butuh uang berapa?" Arsen semakin bingung dengan ucapan pria paruh baya tersebut. Dirinya tidak membutuhkan uang. Selama ini kebutuhannya selalu dicukupi oleh Gladis. Sejenak Arsen memalingkan pandangannya, tidak berani menatap layar ponsel yang berada di hadapannya. "Maksud anda? Ah, maaf tuan, saya tidak mengerti. Tapi ... Saya hanya ingin bersamanya!" "Sudahlah, katakan kepadaku berapa banyak yang kau inginkan jika meninggalkan putriku!" Arsen menoleh kebelakang, melihat pintu kamar yang Gladis tempati. Masih tertutup rapat tandanya gadis yang sedang dibicarakan masih tertidur. Tidak ingin Gladis mendengar pembicaraan dengan ayahnya, Arsen memut
"Jangan terlalu percaya kepadaku! Aku tak sebaik dugaanmu, aku takut suatu saat nanti kamu akan terluka dan membenciku .... Selamat pagi." Setelah berbicara seperti itu, Arsen mendaratkan satu kecupan di jidat Gladis. Sedangkan Gladis sendiri tertegun karena saat sedang mendengarkan ucapan Arsen tiba-tiba ia dicium. Pagi itu, dia bersiap pergi bekerja seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, Jenni datang untuk menjemput Gladis. Mereka bersiap untuk berangkat bersama. Di jalan Jenni bertanya kepada Gladis tentang keberangkatannya besok dan tentu saja, tentang steve yang besok harus berangkat ke luar negeri. "Dia bilangnya besok, tp kemarin pagi dia langsung berangkat. Gak tau deh kenapa?" "What?! Eh, tapi kok loe bisa tau?" "Tadi bokap call pake nomornya dia." Jenni terbelalak tak percaya. Dia benar-benar kecewa karena Steve tidak be
Pada akhirnya pria tua itu menandatangani satu berkas berisi perjanjian pembagian profit keuntungan. Dia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Melinda selalu memasang senyum ramahnya. sampai pada akhirnya, pria tua itu pergi dan Melinda langsung menelpon CFO perusahan. "Mangsa lama kembali memakan kail yang terpasang," ucapnya sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sementara itu, Gladis dan Jenni sedang istirahat di kantor. Mereka membicarakan tentang perkembangan kerja sama antara Anthem dan Adyatama. Saat di tengah-tengah obrolan, Jenni teringat tentang ucapan teman lamanya waktu reuni tempo hari. Kata tunangan yang terlintas dibenaknya. Ingin sekali ia memberitahukan hal tersebut kepada Gladis. Namun melihat kedekatan sahabatnya itu dengan Arsen, membuatnya tak tega untuk mengungkapkan kebenarannya. Gladis melihat cara memandang Jenni tidak seperti biasanya, membuat dirinya penas
Begitu Arsen duduk, dia berkata dengan wajah serius, "Jawab aku dengan jujur!" Gladis mengerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Arsen berbicara seperti itu. Bahkan bukan ucapan selamat malam ataupun sekedar say hay. "Mengapa kamu bisa secantik ini?" Pertanyaan Arsen disambut gelak tawa oleh Gladis. Gadis cantik itu sudah berfikir yang tidak-tidak. "Apaan sih? receh banget." Gladis melirik ke arah pengunjung restoran lain. Mereka saling curi-curi pandang terhadap Arsen, namun sayang yang diperhatikan hanya memandang satu wanita di depannya. "Kamu juga. Bisa gak sih? tampannya disimpan aja!" Gladis membalas ucpan Arsen. Tak berselang lama, makanan yang dipesan sudah siap tersaji. Mereka berdua menikmati makanan itu. Saat sedang makan, Arsen melihat ada pasangan lain yang sedang suap-suapan dengan mesranya. Sejurus