“Apa-apaan ini, Irani? Kau ingin membunuhku? Hah!” teriak Raymond dengan nada tinggi. Raymond sudah berdiri dengan wajah yang memerah.“Apa maksudmu, Mas?” tanya Irani tidak mengerti.“Kau tidak bisa memasak?” tanya balik Raymond.Irani terdiam, dia bingung harus mengatakan apa. Lalu, Dona pun ikut memakan makanan tersebut ke dalam mulutnya, dan dia pun sama, menyemburkan makanan tersebut. Dona pun ikut bangkit berdiri.“Istrimu ini tidak bisa memasak. Masa memasak saja rasa garam semua seperti ini,” ucap Dona menimpali.“Dasar istri tidak berguna! Wanita kampung bodoh! Memang begitulah jika wanita miskin dan bodoh!” teriak Raymond.Mata Irani sudah berkaca-kaca ketika sang suami kembali menghinanya, apalagi ini di hadapan sekretarisnya tersebut, dan justru sekretarisnya ikut memarahinya, Raymond tidak membelanya, justru bersama-sama marah padanya. Reynand yang sedari tadi memperhatikan itu bergegas berlari menghampiri mereka. “Kak Ray, jangan memarahi kakak ipar! Aku yang memasak se
Hari-hari pun berlalu, kini setiap hari Raymond selalu pulang untuk makan siang di rumah, dan Irani akan selalu memasak untuk Raymond dan Dona. Sedangkan Dona, dia selalu sengaja bermanja-manja pada Raymond di hadapan Irani, sementara Raymond hanya mendiamkannya saja dan tanpa penolakan. Kini, perasaan Irani semakin hancur menerima kenyataan tersebut.Sedangkan Reynand, dia masih belum sembuh dari amnesianya, dan dia belum kembali beraktivitas di kantor, dia hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Dan, hubungannya dengan Irani masih seperti dulu, dia akan selalu membantu Irani setiap Irani dalam kesusahan, dan tak ayal, perdebatan pun akan sering terjadi di antara Reynand dengan sang mama, karena dia selalu membela sang kakak ipar.Seperti halnya pada hari itu, Raymond dan Dona kembali makan siang di rumah. Setiap mereka makan siang, Irani tidak pernah ikut makan bersama mereka. Saat mereka sedang makan, maka Irani akan berpamitan untuk ke belakang, dia tak ubahnya seperti seorang pem
Sesampainya di kamar pembantu yang ditempati oleh Irani, Irani langsung melepaskan mukenanya, dia menunda shalat zuhurnya karena demi menolong Reynand yang sedang kesakitan.Irani segera mendekati Reynand yang sedang duduk di atas ranjang. “Rey, kau tunggu sebentar, aku akan keluar dulu,” pamit Irani. Reynand hanya mengangguk, dan Irani pun bergegas keluar. Irani bergegas menuju ke lantai atas, tujuannya adalah ke kamar Reynand untuk mengambil obatnya. Sesampainya di sana, dia tidak menemukan obat untuk Reynand.‘Apakah mungkin stok obat Rey habis? Atau ada di kamar Mama? Tapi, aku tidak berani memasuki kamar Mama, bagaimana ini?’ Irani membatin. Dia sembari menggigit-gigit jarinya. ‘Ah, aku rasa lebih baik aku meminta pertolongan pada Bi Iyam saja, agar Bi Iyam saja yang masuk ke kamar Mama.’Irani pun kembali bergegas turun dan menemui Bi Iyam, yang saat itu sedang mencuci piring di dapur. “Bi, maaf, apakah aku boleh meminta tolong?” ujar Irani. Wajahnya terlihat penuh harap.Bi Iy
“Katakan! Apakah di antara kita ada hubungan spesial?” tanya Reynand sembari menatap tajam Irani.Irani merasa salah tingkah karena ditatap tajam oleh Reynand. Dia bingung harus mengatakan apa dan menjawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan oleh sang mantan kekasih, sekaligus adik iparnya tersebut.“Kakak ipar, mengapa kau hanya diam saja? Jawab pertanyaanku,” ucap Reynand dengan tegas.“Tidak! Tidak ada yang perlu dijawab, Rey. Ya sudah, jika kau ingin melanjutkan tidurmu, tidurlah, aku akan keluar untuk melakukan tugasku di rumah ini.” Irani pun membalikkan badannya dan bergegas untuk keluar dari kamar tersebut.Akan tetapi, tangannya dicekal oleh Reynand, sehingga dia terjatuh menimpa tubuh Reynand. Wajah kedua insan itu saling berdekatan, sangat dekat sekali. Hidung Reynand yang mancung, beradu dengan hidung Irani yang bangir. Mata mereka saling beradu tatap.Detak jantung keduanya berdetak sangat cepat. Reynand mengernyitkan keningnya, entah mengapa, lagi dan lagi perasaan tida
Reynand menatap tidak menentu pada Mama Risa dan pada Papa Rabbani. Lalu, dia beralih menatap Nayra, gadis yang akan dijodohkan dengannya. Sedangkan Nayra, sudah sedari tadi tersenyum-senyum sendiri menatap wajah tampan Reynand.“Ma, aku tidak mau dijodohkan! Aku bukan anak kecil lagi, Ma, dan ini juga bukan zaman Siti Nurbaya lagi, ini sudah zaman modern!” ucap Reynand dengan tegas.Tanpa sengaja, mata Reynand bersirobok dengan mata Irani yang tengah menatapnya. Kala itu, Irani sedang berdiri di ruang tengah sembari menatap Reynand dengan mata yang berkaca-kaca. Hati Reynand merasa aneh melihatnya, dan dia kembali merasakan perasaan yang sangat sakit dadanya yang tiba-tiba bergejolak, dan perasaannya tak asing itu pun kembali muncul.Reynand kembali berusaha mengingat masa lalunya, hingga akhirnya dia berteriak menahan sakit di kepalanya. “Aakkkhhhh ….”Mama Risa dan Papa Rabbani terlihat khawatir melihat keadaan sang putra. Sedangkan Nayra, dia merasa kebingungan dengan kejadian ter
"Reynand! Irani!"Suara Mama Risa terdengar. Irani dan Reynand langsung tersadar. Mereka pun langsung saling melepaskan diri. Wajah Irani sudah memerah. Ini untuk yang kesekian kalinya ia dipergoki oleh sang ibu mertua ketika tengah berdekatan dengan Reynand. Mama Risa mempercepat langkah kakinya. Dia menghampiri Irani.Plak!Sebuah tamparan melayang di wajah Irani hingga wajahnya sedikit berpaling. Reynand membelalakkan matanya. Dia bergegas menghampiri sang mama, sedangkan Irani sudah bercucuran air mata karena menahan malu dan sakit.“Ma, mengapa Mama menampar kakak ipar?” tanya Reynand. Dia menatap cemas melihat keadaan Irani.“Reynand, hentikan! Mengapa kau selalu membela wanita jalang ini? Lihatlah! Kepada dirimu saja yang sebagai adik iparnya, dia berani menyentuhmu, memelukmu.” Napas Mama Risa terlihat naik turun. “Sudah berapa kali mama menemukan dia selalu mendekatimu. Apakah kau tidak mengingatnya, saat kau baru tersadar dari koma, dia menuduhmu bahwa kaulah ayah biologis d
Reynand bergegas menuju ke kamar Irani dan langsung membuka pintu. Dia pun langsung membawa nampan yang berisi makanan dan minum. Lalu, Reynand mengunci pintunya dari dalam.Kamar Irani sangat gelap sekali karena Irani sengaja mematikan lampu. Reynand menyalakan lampu. Dia melihat ke arah ranjang, hatinya teriris ketika melihat Irani sedang meringkuk tanpa menggunakan selimut dan masih mengenakan pakaian tadi siang.Reynand menghela napasnya yang terasa sangat sesak. Lalu, dia meletakkan nampan makanan itu di atas nakas. Dia mendekati ranjang dan duduk di pinggir ranjang. Dia memegang bahu sang kakak ipar.“Kakak ipar, tolong bangunlah, kau belum makan malam. Makan dulu, aku membawakan makanan untukmu,” ujar Reynand dengan penuh perhatian.Akan tetapi, Irani tidak menjawab. Reynand tahu bahwa Irani sebenarnya tidak tidur. Tangan Reynand terulur, dia membelai-belai kepala Irani, sedangkan Irani sekuat tenaga menahan gejolak rasa yang tidak menentu dihatinya. Dan dia pun menahan agar ta
“Kakak ipar, bolehkah aku memegang perutmu dan melihatnya secara langsung?” Reynand berkata sembari menatap Irani.Betapa terkejutnya Irani mendengar permintaan Reynand tersebut. Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia merasa sangat terharu dan bahagia, karena bagaimanapun juga Reynand merupakan ayah biologis dari bayi yang dia kandung, dan sudah sepatutnya jika dia memegang dan melihat perutnya secara langsung.Irani mengangguk menyetujui permintaan Reynand. Reynand tersenyum bahagia, wajahnya terlihat berseri-seri. Lalu, dia menyingkap baju Irani dan dia melihat perut Irani yang mulai membuncit dan berwarna putih mulus itu. Reynand mengernyitkan kening melihatnya. Perasaan tidak asing itu kembali menderanya.Lalu, perlahan tangan Reynand memegang perut Irani, dan dia tersenyum lebar ketika tangannya merasakan tendangan dari dalam perut sang kakak ipar. ‘Kakak ipar, dia benar-benar menendang.” Reynand berucap dengan begitu antusiasnya.Tanpa terasa air mata Irani pun meng