Sementara itu, di Danuaji Corp ....“Dante!”Dante yang sedang berkutat dengan dokumen di hadapannya mendongak. Tidak ada yang terjadi. Ia menatap ke arah gadis yang menjeblak pintu memaksa masuk dan ditahan oleh sekretarisnya itu dengan biasa saja, tanpa ada keterkejutan sedikit pun.“Iya? Ada apa, Nora?” tanya pria itu bertanya pada sang sekretaris.“Dante, ini aku!” Zoya berseru dengan terperangah karena tak menyangka Dante malah bersikap seolah tak mengenalinya!“Siapa orang ini?” Dante tetap bertanya kepada Nora.“Ehm, saya ... tidak tahu, Pak. Dia memaksa masuk ke sini meskipun sudah saya larang,” jawab Nora takut-takut.“Dan dia mengaku-ngaku sebagai Nona Zoya,” kata Nora sambil menatap tak suka pada si pendatang tanpa sopan santun itu.“Panggilkan satpam!” titah Dante lantas kembali menunduk menekuri dokumennya.Wajah Zoya semakin terperangah. Bagaimana mungkin Dante mengira orang lain sebagai dirinya, tapi malah tak mengenali ketika dia yang asli muncul di hadapannya? Benar-b
Gegas ia memanggil cleaning service untuk membereskan kekacauan kecil itu dan menanyai Dante apakah tidak siap untuk ikut meeting siang itu.Ia memang sudah mendapat pesan dari Nyonya Wanda bahwa Dante tak perlu diforsir dulu soal pekerjaan. Kondisi psikisnya masih labil sehingga banyak yang masih akan di bawah kendali Nyonya Wanda.Dante segera menggeleng keras.“Tidak, Nora. Aku siap,” jawab pria itu sambil mengusap wajahnya kasar lalu mematut diri sebentar di washtafel dekat pintu keluar ruangan. Setelah meras awajahnya sudah terlihat fresh kembali, ia pun melangkah bersama Nora ke ruang meeting.Yah, pekerjaan bisa membuatnya jauh lebih bisa melupakan Zoya untuk saat itu. Setidaknya tinggal malam hari yang ia bingung harus melakukan apa selain terpekur memandangi foto-foto mereka berdua di ponselnya. Masa-masa indah yang mereka lalui ketika gadis itu masih kuliah di Sidney dan ia sering terbang ke sana sekedar untuk mengunjungi. Juga saat Zoya gantian datang ke Jakarta di saat lib
Di rumah, Nyonya Wanda mendekati sang putra yang tampak sedang asyik membaca sebuah buku lama.“Apa itu, Dante?” tanya sang mama kepada putranya.Tak biasanya Dante menghabiskan waktu di ruang perpustakaan besar milik papanya itu. Bahkan, setelah Tuan Adam Danuaji meninggal, praktis ruangan itu seringnya tak pernah berpenghuni. Hanya di jadwal-jadwal tertentu akan ada beberapa pelayan yang bertugas membersihkan seluk beluk ruangan tersebut sekalian memeriksa buku-buku dan memastikan tak ada yang berubah di sana.“Dante cuma sedang iseng, Ma. Nemu buku bagus di sini,” katanya seraya menunjukkan sebuah buku tebal lawas tentang bisnis management.“Ini waktu Dante kuliah dulu sering pinjam ke perpustakaan universitas. Ternyata Papa malah punya sendiri di rumah,” lanjut Dante yang memang di masa mudanya tak begitu dekat dengan sang papa. Jangankan mengobrol, mereka bertemu muka saja sangat jarang terjadi karena Tuan Adam yang selalu saja ada jadwal ke luarkota ataupun luar negeri.“Oh, ya?
Esok sorenya, Dante jadi pergi dengan Nyonya Wanda ke rumah sakit tempat praktik Dokter Gading. Di sana, dokter itu memang telah siap sedia menunggu dengan beberapa persiapan. Pasien penting seperti keluarga Danuaji itu memang selalu mendapat perlakuan dan waktu khusus dari sang dokter. Itu mengenai komitmennya dalam hal pelayanan serta penghormatan atas kesetiaan pengguna jasanya.“Selamat sore, Tuan Dante. Bagaimana kabar Anda hari ini?” sapa Dokter Gading kepada Dante saat si pasien baru masuk dan duduk di kursi di hadapan beliau bersama Nyonya Wanda.“Baik, Dok. Saya tidak mengalami keluhan apa pun. Mama bilang Dokter butuh bertemu?” Dante bertanya balik.“Betul, Tuan. Sebenarnya apa yang Mama Anda ceritakan kemarin terhadap saya, itu membuat saya menduga bahwa ingatan Tuan sudah pulih secara total. Tapi, kita perlu memastikannya dnegan serangkaian tes untuk lebih pastinya, bukan?” Sang dokter menjelaskan keperluannya haru
Dan di sanalah Dante kini, tepat di tengah pintu masuk cafe, berdiri menatap lurus ke arah meja di paling ujung di mana terlihat sosok gadis yang diusirnya dari kantor dua hari lalu. Ya, dialah Zoya yang asli tengah duduk menunggunya sambil menyesap minuman.Gegas dilangkahkannya kaki menuju ke meja Zoya. Sampai di sana, gadis itu tak lantas berdiri, tetapi sambil tetap duduk mempersilakan Dante mengikuti.“Mau duduk dulu atau tetap mematung begitu?” tegur Zoya dengan gaya khasnya yang seolah tak butuh.“Aku sedang tidak punya banyak waktu. Sebaiknya kita selesaikan ini secepatnya,” jawab dante seraya memaksa diri untuk duduk di hadapan Zoya.“Dante, kenapa kau malah membenciku sekarang, hm?” tuntut Zoya yang tak mengerti bagaimana bisa Dante membencinya padahal ia sudah melihat bukti dari Zoya bahwa gadis bernama Adriana itu yang telah menipunya!“Lalu apa aku harus tetap menunggu gadis yang sudah tega mencampakkan dan meninggalkanku pergi seenaknya? Bahkan tidak peduli dengan kecela
Zoya mencak-mencak sekarang. Membuat Desri kebingungan tak tahu harus menghibur temannya itu dnegan cara bagaimana.“Ya udah, sih, Zoy. Gak usah dipikirin banget lah—““Apa maksud kamu nggak usah dipikirin banget, Desri? Mana mungkin aku nggak mikirin, coba?”“Ya maksud aku jangan sampai segitunya, timbang masalah cowok aja—““Dante bukan cuma sekedar cowok buat aku, Desri!” sanggah Zoya berkeras.“Ya ampun, segitu cintanya ya kamu sama dia?” tanya Desri tampak prihatin kini.“Bukan! Aku ada urusan panjang dan mendalam dengan dia. Juga mamanya si nenek peyot itu!” Zoya menyebut Nyonya Wanda sebagai nenek peyot saking bencinya. Ya, keduanya adalah musuh bebuyutannya. Orang-orang yang harus bertanggung jawab atas kematian ibunya.“Urusan panjang dan mendalam yang bukan perkara hati maksudnya?” tebak Desri mencoba memahami.Zoya hanya mengangguk. “Panjang ceritanya. Tapi ini mengenai masa lalu kami yang berkaitan satu sama lain.”“Ya udah ceritain aja, panjang juga nggak masalah aku sih,
Bab 52. MenguntitSuatu hari, Dante sudah memantau di dekat rumah kos Adriana dengan mengenakan mobil yang biasanya tak pernah dipakainya. Hanya untuk menyamar kali itu, ia nekat sampai bolos kerja dan memakai baju casual dengan dandanan yang tak seperti Dante biasanya.Ya, ia sengaja akan menguntit Adriana seharian itu untuk menyelidiki apa saja kegiatan gadis itu kini. Apakah dia bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Serta juga apakah dia masih memikirkan Dante atau tidak sama sekali. Entah dari mana dia akan mencari tahu isi hati Adriana, yang penting dicoba dulu saja.Diturunkannya topi yang ia pakai di kepala untuk semakin menundukkan wajah agar tak sampai terlihat ketika sosok yang ditunggunya tengah berjalan keluar dari rumah kosnya. Ya, itu dia Adriana, mengenakan setelan kerja sederhana berupa celana bahan dan kemeja dengan dipadukan blazer sewarna dengan celananya. Tas cangklong tersampir menyilang di bahunya dan sepatu pantofel coklat begitu tampak pas dipakainya.Dant
Adriana berubah menjadi seorang workaholic dalam pekerjaannya yang baru tersebut. Ia dengan semangat dan aktif terus menanyai ke sana ke mari apa saja yang bisa dikerjakannya untuk membantu kinerja tim. Sebagai karyawan baru, ia sungguh adalah pembelajar yang sangat bersemangat dan pantang menyerah.Hal itu ternyata tak luput dari pengamatan snag kepala divisinya. Manager HRD, Neil Hadinata tanpa sengaja pernah melihat kegigihan staf barunya itu dan tanpa sadar melabuhkan rasa kagum terhadap Adriana.Pekerjaan Adriana hanya pekerjaan biasa. Bukan posisi yang krusial atau penting sebenarnya, tetapi gadis itu begitu serius dalam mengerjakan semua tugasnya hingga membuat Neil merasa dia bisa diberi peluang untuk melesat ke posisi yang lebih tinggi.Ya, menurutnya perusahaan pasti butuh sosok-sosok visioner serupa Adriana itu. Namun, saat diperiksanya kembali bahwa ternyata ijazah Adriana hanya tamatan SMA, tentu saja hal itu menjadi rumit. Ia tak bisa sembarangan mengabaikan cv seorang k