Suatu di pertengahan musim dingin. Saat itu cuaca amat tidak bersahabat. Badai angin terus menyerang negeri bermaskot singa selama beberapa hari, membuat segala aktivitas di luar ruangan terhenti total.
“Ini adalah kutukan!” seru seorang pedagang yang terpaksa menutup tokonya selama seminggu penuh, hanya makan beberapa biskuit dalam sehari.
“Dewa tengah mengutuk negeri kita. Lihatlah badai itu! Lebih mirip seperti amukan Dewa yang tak akan berhenti sebelum kita memohon ampun.” Seseorang dari rumah lain turut berucap, memandangi angin kencang yang turut membawa gerobak-gerobaknya dari celah rumah kayu.
“Ini semua karena Putri Mahkota. Dia adalah jelmaan iblis! Jika kita tidak membawanya sebagai tumbal kemarahan dewa, sudah pasti semua ini tidak akan terjadi.”
Bisik-bisik antar mulut itu telah memenuhi seluruh penjuru negeri tak terkecuali Istana Negeri Singa. Entah siapa yang pertama kali mengatakannya, namun
Pangeran Rex menutup buku dongengnya yang telah ia baca dengan lantang sambil tersenyum puas, menampilkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi.“Ceritanya sudah tamat, Putri,” ucapnya dengan penuh semangat, menatap Kaline dengan penuh binar bahagia tanda kepuasan.Kaline yang duduk di samping Pangeran Rex itu mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mengusir rasa takut yang merasuki pikirannya. Sebuah dongeng tentang Putri Mahkota yang berakhir tragis dengan dibakar hidup-hidup.Cerita itu tidak terdengar seperti dongeng pengantar tidur baginya.“Apa benar cerita itu adalah dongeng pengantar tidur, Pangeran?” tanya Kaline dengan wajah kebingungan. Membayangkan ia harus mendengarkan cerita tragis itu sebelum tidur, Kaline bisa saja b
Semuanya sudah siap. Koper-koper tempatnya meletakkan gaun-gaun serta perhiasan lainnya telah diletakan di kereta terpisah yang dua kali lebih besar daripada kereta yang membawanya.Sebenarnya, satu kereta khusus yang ditugaskan untuk membawa barang-barangnya tidaklah cukup. Buktinya, satu lagi koper besar berisi berbagai macam cinderamata yang diberikan para bangsawan terbaring di antara kaki Kaline dan Narin yang tidak nyaman.Kepulangan Kaline 2 hari lebih cepat daripada yang sudah direncanakan sebelumnya. Demi kembali ke Eargard lebih cepat, gadis itu harus membatalkan kunjungan ke peternakan sapi perah dan akan menjadwalkan kembali dalam waktu dekat.Itulah kenapa, mereka terlihat amat kesulitan sekarang. Semuanya dipersiapkan secara mendadak dan terburu-buru. Puluhan kereta pengangkut barang telah
Kaline termenung selama beberapa saat. Menatap lurus seorang pria yang berdiri tegak di depannya tanpa ekspresi. Jika dilihat dari gerak-geriknya yang terlihat biasa saja, pria itu sama sekali tidak berniat menjelaskan sesuatu.Mau tak mau, Kaline haus memulainya terlebih dahulu. “Apa yang kau lakukan disini, Pangeran? Kau tidak mengikutiku, bukan?” tanya Kaline jelas terlihat tak senang.“Kita tidak berada di pertemuan formal, Putri. Jadi tolong panggil aku Cal. Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu jika kau tidak memanggilku Cal.”Perkataan yang keluar dari mulut Pangeran Cliftone sontak membuat Narin dan beberapa prajurit yang berdiri di dekat mereka kebingungan.Tidak disangka Pangeran Cliftone dan Putri Kaline sudah seakrab ini. Begitulah kira-kira yang ada di kepala mereka sekarang.Gadis itu terlalu malas untuk berdebat tentang hal-hal yang tidak penting apalagi jika lawannya adalah vampir menyebalkan ini. Dengan
Letak toko penyihir yang hendak dikunjungi Kaline ternyata lebih jauh dari yang ia duga, terlebih mereka harus berjalan kaki melewati jalanan yang semakin jauh semakin tak berbentuk.Kini, tidak ada lagi jalan setapak yang ditimbun bebatuan, hanya lumpur kekuningan yang amat licin dengan beberapa lubang yang cukup dalam.“Apa mereka mengambil jalan yang benar?” tanya Kaline menatap ragu belasan prajurit yang sudah berjalan beberapa meter di depan mereka, melewati lumpur licin tanpa kesulitan berarti meski ada beberapa yang hampir terpeleset.Mendengar itu, Pangeran Cliftone tersenyum samar ditambah dengan Kaline yang terus mengeratkan tubuhnya pada juah pemberian pria itu yang terlihat kebesaran, membuat tubuh mungil gadis itu tenggelam.Terlihat menggema
Entah sejak kapan, gadis itu merasakan bulu kuduknya meremang. Menatap manik merah menyala itu dalam kegelapan menimbulkan gelenyar aneh di dalam tubuhnya, seakan-akan ia tengah berada d kandang singa dan siap dimakan hidup-hidup.“Putri, apa ada masalah?” pria tua itu kembali berbicara, kali ini, intonasi suaranya terlihat khawatir yang berhasil mengusir sedikit rasa takut yang Kaline alami.Kaline menggeleng. “Aku kesini hanya untuk bertanya beberapa hal.”Pria itu kembali tersenyum. senyuman yang tak mencapai mata namun bisa membuat kerutan di sekitar pipinya terlihat semakin jelas. “Tentu, Putri. Aku akan menjawab semua pertanyaanmu sebisaku.”pandangan Kaline menyusuri bagian dalam toko sekali lagi. Berusaha melihat barang apa saj
Keduanya duduk saling berhadapan yang hanya dipisahkan oleh meja kayu model lawas yang sudah lapuk, saling memandangi dalam diam tanpa seorangpun yang ingin bicara terlebih dahulu.Sudah lima menit berlalu semenjak Pangeran Cliftone muncul begitu saja dari balik ruangan yang hanya tertutup kain panjang, mengakui dirinya sebagai pemilik seluruh toko penyihir yang tersebar di Eargard.Dan disinilah mereka berakhir sekarang. Di Ruangan kecil yang hanya diisi oleh sepasang kursi kau dan meja lapuk yang menjadi penengahnya, saling memandang dalam diam karena emosi gadis itu sedang ada di ujung kepalanya sekarang.Ia merasa dipermainkan.Kecurigaan mendalamnya terhadap Pangeran Antheo bermula saat vampir di hadapannya ini mengatakan jika Pangeran Antheo beberapa kali mengunjungi toko penyihir secara diam-diam. Jika semua ini hanyalah rencananya untuk menjatuhkan reputasi Pangeran Antheo, gadis itu tak akan segan mendepaknya dari sayembaranya ini.“
Kaline kembali menaiki kereta kudanya. Tubuhnya yang langsung bersandar pada bantalan empuk kursi kereta yang membuat tubuh lelahnya nyaman seketika.Kereta berjalan dengan kecepatan sedang, menampilkan pemandangan langit malam yang terasa tenang dengan minimnya cahaya yang menyinari jalan.Ia berpisah dengan Pangeran Cliftone tepat saat mereka keluar dari palang kayu. Sebagai tanda terima kasihnya karena sudah membantu Kaline melewati jalanan berlumpur, gadis itu dengan ramah menawari pria itu tumpangan karena tujuan mereka sama, pergi kembali ke Istana Eargard, namun ditolaknya tanpa berpikir panjang.“Apa kau suka dingin, Putri?” ucapnya saat itu saat Kaline menawarinya kembali bersama. Memilih untuk balik beratnya dengan pertanyaan yang diluar topik pembicaraan mereka daripada menjawab tawaran Kaline.Kaline menggeleng. Jelas ia tidak suka dingin.“Kalau begitu aku akan kembali sendirian. Selamat menikmati perjalan
“Tidak, bukan seperti itu!”Teriakan penuh rasa frustasi itu muncul saat pagi buta itu terdengar menggelegar, penuh semangat mengalahkan sinar matahari pagi itu. Tentu saja, suara itu berasal dari satu-satunya orang yang ada di lapangan luas itu, menatap ban karet yang terbakar di depannya dengan putus asa.Sudah semalaman penuh ia di sini. Seharusnya, ia harus segera kembali ke istana Eargard tiga puluh menit yang lalu, namun niatnya diurungkan kala mendapati prei-peri itu tidak menjalankan perintah yang diberinya.“Apa aku sepayah itu dalam hal memimpin?” ucap Pangeran Antheo putus asa, membuang napasnya dengan kasar berkali-kali.Memimpin puluhan peri bersayap merah itu saja ia masih tidak mampu. Bagaimana bisa ia memimpin negerinya sendiri nanti? Ayahnya sudah berusaha keras, mengabdikan seluruh hidupnya pada Lyvora sehingga menciptakan negeri yang makmur seperti sekarang. Jika ia tahu penerus tahtanya adalah seorang yang