Share

8. never give up

𝙳𝚄𝚂𝙺𝙾𝙵𝙴𝚈𝙴 𝙿𝚁𝙴𝚂𝙴𝙽𝚃𝙸𝙽𝙶

【AFTERFALL】

Tepat dua hari sebelum pertemuannya dengan Pangeran Cliftone, Kaline masih belum menemukan cara bagaimana ia bisa tiba di Danau Sane tepat waktu. Meski ia sadar maksud Pangeran dari Voalire itu membalas surat hanya untuk mempermainkan Kaline, tapi itu tetap kesempatan emas. Bagaimanapun, ia harus tetap hadir meski melukai harga dirinya sekalipun.

“Apa kau sungguh yakin cara ini tidak akan berhasil?” tanya Kaline untuk kesekian kalinya.

Narin menghela napasnya. Sudah berjam-jam mereka berdebat soal ini. “Anda adalah seorang penerus tahta Kerajaan Eargard, Putri. Tentu tidak mudah menghilang begitu saja meski hanya dalam satu jam,” jelas Narin dengan sabar.

Sejujurnya, ia merasa kasihan pada Putri Kaline sekarang. Dulu, dia adalah pribadi angkuh yang selalu mengutamakan harga dirinya. Jangankan mengirimkan surat pada pria terlebih dahulu, menyapa saja enggan. Namun entah kenapa sikap itu mendadak menghilang tatkala Putri Kaline bertemu dengan Pangeran Cliftone. Entah rahasia apa yang ia simpan, tapi Narin yakin itu rahasia yang sangat besar.

“Dasar vampir sialan!” gerutu Kaline untuk yang kesekian kalinya.

“Narin, kau pergilah!” usir Kaline secara tiba-tiba.

Lady-in-waiting-nya itu tampak kebingungan. “Maaf, Putri?” tanyanya memastikan.

“Aku membutuhkan waktu untuk berpikir. Kau pergilah! Jangan panggil aku untuk makan atau apapun itu dan jangan biarkan seorang pun masuk ke kamarku termasuk dirimu. Jika ada yang mencariku, bilang saja aku sedang tidak ingin ditemui sekarang.”

Tanpa membiarkan Narin menyangkal, Kaline sudah terlebih dahulu menyeretnya keluar dan mengunci pintu ganda yang kokoh itu.

Ia tidak punya waktu lagi. Memakai kereta kuda akan memakan waktu yang lama. Kaline diam-diam sudah mencari rute tercepat menuju Danau Sane. Paling tidak, dibutuhkan waktu 2 hari dengan kuda cepat tanpa istirahat. Bukan jalur utama, melainkan lereng terjal yang amat licin. Bahkan Kaline yakin tidak banyak yang tahu soal jalur itu. Jadi ia tak perlu takut soal penjaga.

Namun masalah utamanya adalah, kondisi jalur dan menghilang selama 2 hari. Meski Kaline cukup handal dalam berkuda, berkuda di lereng terjal dengan lumpur yang licin bukanlah hal yang mudah. Bahkan jika ia berkuda dengan sangat lambat, Kaline masih tidak yakin akan selamat. Serta ... menghilang selama 2 hari dengan status penerus tahta Kerajaan Eargard adalah suatu hal yang mustahil. Tidak mungkin Narin bisa menyembunyikan hal itu selama 2 hari.

Kaline mematung. Ia sudah berganti pakaian dengan setelan jubah yang menutupi seluruh tubuhnya. Kantung besar yang di balik jubah sudah dipenuhi dengan peta, persediaan air dan pangan, serta pemantik dan sedikit minyak.

Ia tidak punya pilihan lain. Mungkin saja Pangeran Cliftone tahu jalan keluar dari dunia ini atau sesuatu yang lebih besar. Kaline benar-benar tidak bisa melewatkannya begitu saja.

Ia menghembuskan napas dengan kasar. Keputusannya telah bulat; Kaline akan pergi menemui Pangeran Cliftone apapun resikonya.

Langkah kakinya yang dilapisi bot hitam dengan cekatan mengambil tali yang sudah terlebih dahulu ia sembunyikan di bawah kasur lalu mengikatnya pada salah satu tiang. Matahari telah terbenam sepenuhnya dan suasana malam ini amat berkabut. Jika Kaline beruntung, ia tidak akan tertangkap basah kala menuruni tembok bagian luar istana dengan seutas tali.

Untuk yang kesekian kalinya Kaline memperhatikan sekitarnya. Tidak ada petugas yang berjaga di bawah sana—kemungkinan besar mereka sedang berkeliling.

“Aku pasti bisa melakukannya!”

Dengan optimis, Kaline mulai memegangi seutas tali itu dengan erat dan menuruni dinding bebatuan dengan hati-hati. Meski tangannya sudah dilapisi sarung tangan, rasa perih tetap terasa karena ia menggenggam tali terlalu erat.

Dinding bebatuan yang sedikit berlumut itu terasa amat licin, membuat Kaline harus ekstra hati-hati yang tentu saja memperlambat gerakannya.

Sudah sepuluh menit berlalu. Jika perhitungan Kaline benar, para petugas akan kembali sebentar lagi. Jika Kaline terus bergerak dalam kecepatan yang sama, ia akan tertangkap basah.

Kaline memperhatikan daratan berpasir yang berjarak lebih dari 2 meter di bawahnya. Tidak ada pilihan lain selain melompat sekarang. Tapi dengan jarak yang setinggi itu, kemungkinan besar ia akan cedera.

“Ah, merepotkan sekali!” gerutu Kaline lalu tanpa pikir panjang langsung melepaskan genggamannya pada tali, membuat tubuhnya jatuh bebas mengenai daratan berpasir yang keras.

Kaline tidak dapat merasakan apapun selain rasa sakit di seluruh tubuhnya. Kepalanya amat sakit. Ia bisa menebak benjolan besar di bagian belakang kepalanya akan muncul sebentar lagi.

Meski masih merasa sakit, Kaline bergegas berdiri. Ia mengecek kondisi tubuhnya dengan cepat, menggerakkan pergelangan tangan dan kaki, punggung belakang serta tulang leher. Untungnya, tidak ada masalah serius selain memar dan luka di beberapa tempat.

Suara langkah kaki yang berat dan saling bersahut-sahutan tertangkap oleh indera pendengarannya. Petugas pasti sudah kembali. Kaline kembali memasang penutup kepalanya dan mengendap-endap melewati semak belukar menuju kandang kuda yang terletak tak terlalu jauh.

Entah bagaimana, Kaline baru sadar jika ia mengenal betul seluk-beluk istana ini, seolah-olah ia terlahir dan besar di sini. Ia mengetahui jumlah petugas yang berjaga di setiap sudut istana, waktu mereka berkeliling, dan lainnya. Kaline tidak mau mengurusi hal itu sekarang. Bagaimanapun, ingatan itu amat membantu rencananya. Kaline harus memanfaatkannya sebaik mungkin.

Sebuah kuda gagah berwarna cokelat gelap yang sedang memakan jerami menjadi pilihan Kaline. Instingnya merasa jika kuda ini adalah kuda terbaik yang dimiliki Eargard dan akan membawanya keberuntungan.

Telapak tangannya yang dilapisi sarung tangan itu mengelus surai kuda beberapa kali. “Aku tidak tahu siapa namamu. Tapi, aku mohon tolong bekerjalah dengan baik kali ini saja. Ini soal hidup dan matiku, oke?” tepat setelahnya, Kaline dengan cepat menunggangi kuda itu dan memacunya.

Tidak pernah ada penjaga yang ditugaskan untuk menjaga kandang kuda dan area pengolahan kotoran. Hanya ada sebuah pagar kayu setinggi lutut yang bisa dilompati dengan mudah, membuat misi pertama Kaline—keluar dari istana—menjadi lebih mudah dan cepat.

Tepat beberapa saat setelah ia memasuki kawasan hutan pinus di bagian selatan istana, hujan turun dengan lebat diikuti kabut, membuat Kaline kesulitan melihat arah. Jarak pandangnya amat terbatas. Jika ada hewan buas 5 meter di depannya, Kaline yakin ia tidak akan sadar. Akan percuma jika ia menyalakan lentera karena angin bertiup amat kencang yang dapat memadamkannya dalam hitungan detik.

Jika Voalire ada di bagian selatan, Kaline seharusnya berada di jalur yang tepat. Namun setelah berjam-jam ia memacu kudanya melewati kabut serta hujan yang turun dengan amat deras, ia selalu berakhir di tempat yang sama.       

“Lima pohon tua yang menjaga perbatasan. Mereka tidak akan membiarkan siapapun keluar kecuali yang diizinkan. Tidakkah kau seharusnya tahu legenda negerimu sendiri, Putri?”

Suara itu terdengar amat jelas, melebihi riuh air yang mengenai daratan, membuat Kaline dengan sigap berbalik sembari memegang pisaunya dengan erat.

Seseorang dengan jubah hitam menutupi seluruh tubuhnya bersandar dengan santai di salah satu batang pohon. Ia melipat kedua tangannya di depan dada menatap sepatu bot-nya yang dipenuhi lumpur.

Kaline menelan ludah. Orang itu pasti bukan orang biasa. Mustahil rakyat biasa bisa mengenalinya dengan begitu mudah padahal ia juga menggunakan jubah yang menutupi kepalanya. “Apakah kau petugas istana?” tanyanya hati-hati.

“Apa seorang petugas yang menjaga perbatasan akan berguna tanpa menunggangi kudanya, Putri?” kepala seseorang itu terangkat, seiras dengan gerakan tangannya yang membuka penutup kepala.

Rambut hitam kelam dengan wajah pucat dan manik mata berwarna merah yang menyala-nyala. Tidak ada makhluk lain yang begitu mencolok dalam kegelapan selain ....

“Apa yang vampir lakukan di sini? Kalian melanggar peraturan dengan menginjak wilayahku tanpa izin!” seru Kaline tegas dengan mengacungkan pisaunya meski ia tahu sebanyak apapun Kaline menikam vampir itu, ia tidak akan bisa mati.

Vampir itu tertawa dengan keras, suaranya lagi-lagi amat lantang mengalahkan ricuh jatuhnya hujan. Gigi taringnya yang bersembunyi di dalam mulut itu terlihat dengan jelas seakan-akan siap merobek setiap inci kulitnya.

Apakah Kaline akan merasakan kematian untuk yang kedua kalinya?

“Bukankah kau yang mengajakku bertemu sebelumnya, Putri?”

Kaline terhenyak. Ia memberhentikan kudanya yang terus melangkah mundur. “Pa-pangeran Cliftone, bagaimana bisa kau ada disini?” 

»—————————–✄

𝙠𝙪𝙣𝙟𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙄𝙣𝙨𝙩𝙖𝙜𝙧𝙖𝙢 @𝙙𝙪𝙨𝙠𝙤𝙛𝙚𝙮𝙚 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙩𝙖𝙞𝙡 𝙘𝙚𝙧𝙞𝙩𝙖

      

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ini jiwa putri Kaline yg asli kemana?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status