Pov. Pras
***Awalnya aku cukup terganggu dengan kehadiran Aini.Kalau dilihat-lihat teman Dewi itu seperti wanita nelangsa yang membawa beban hati.Kedatangannya yang minta dibantu mencarikan pekerjaan, membuatku sedikit prihatin sekaligus jengkel.Prihatin sebab dia seorang janda yang hidup sendiri, tapi juga membuatku jengkel sebab di hari sabtu dan minggu ia kerap datang mengganggu waktu kebersamaanku dengan Dewi.Tinggal hanya berdua saja, membuatku bebas melakukan kemesraan bersama istriku dimana saja."Eh kok malah kebablasan sih, Mas?"Terngiang saat Dewi protes atas kemesraan yang kupinta di depan tv malah membuat kami berakhir dengan mandi wajib setelahnya.Dimana saja Dewi akan pasrah pada setiap inginku.Dan sabtu minggu adalah waktu khusus untuk kami bermesraan.Sebab dua hari itu adalah hari libur kami. Walau kadang-kadang di akhir bulan Dewi kadang lembur untuk menyiapkan laporan di kantornya.Aku dan Dewi saling mencintai begitu dalam dan sedikit menggebu.Dua tahun pernikahan kami dan belum dikaruniai anak membuat kemesraan kami semakin bertambah.Pelukan dan kecupan kapan saja kulayangkan padanya. Begitu juga dengan Dewi.Namun, sejak seringnya Aini datang bertamu membuat Dewi tak bisa seleluasa dulu.Kalau aku? Nekat saja. Bahkan pernah kusengaja memeluk Dewi saat Aini datang bertamu. Entah perempuan itu melihat kemesraan kami atau tidak.Kalau pun dia melihat, baguslah. Agar dia cepat pulang.Aku benar-benar risih dengan kehadiran Aini yang terlalu sering datang bertamu."Mas, udah malem ini hujan juga. Tolong anterin Aini pulang. Kasihan dia."Dewi masuk ke kamar dan membangunkanku yang sudah hampir terlelap."Siapa suruh bertamu di rumah orang sampai selarut ini. Nggak tahu diri banget."Aku menggerutu, sebab siang tadi perempuan itu sudah datang. Alasan sepi di kamar kostnya membuatnya datang dan ikut makan siang sekaligus makan malam bersama kami.Bahkan sepanjang makan siang tadi ia aktif menanyakan makanan kesukaan aku dan Dewi."Kasihan, Mas."Dewi memelukku. Membujuk agar aku bangkit dari pembaringan dan bersedia mengantar kawannya pulang.Memang akhirnya aku bangun dan bersedia mengantarkan Aini pulang.Namun Dewi kukerjai dulu cukup lama barulah aku keluar kamar."Kamu nakal banget sih, Mas. Kasihan Aini menunggu!" sungut Dewi setelah kuobrak abrik pakaiannya tadi."Biarin! siapa suruh datang mengganggu."Aku tak mau kalah. Bahkan ini sangat terpaksa kulakukan. Mengantar wanita lain di malam-malam begini."Taksinya belum datang, ya?""Belum, Mas. Mungkin karna hujan deras."Aini seperti memang sengaja berharap untuk di antar.Bahkan wajahnya begitu memelas.Kupalingkan wajah agar tak menatap lama netra yang seolah sengaja menatap ke arahku."Ayo, biar mas Pras yang anter. Jangan sampai kemalaman. Mas Pras besok kerja pagi. Kamu juga, kan?""Ya. Kalau gitu aku pamit ya. Maaf merepotkan mas Pras, Wi.""Ya mau di apalagi taksinya nggak datang. Nggak mungkin juga kamu nginap kan?"Suara Dewi jelas sekali kalau kesalnya sama denganku.Lalu kulajukan mobil, membelah malam di tengah gemuruh hujan yang curah begitu deras."Enak ya jadi Dewi, Mas.""Maksudnya?"Aini membuka percakapan di tengah suasanan dingin dan hening di antara kami."Ya, punya suami yang sayang dan setia seperti mas Pras.""Kami saling mencintai!""Sangat beruntung. Tak seperti aku. Pernah punya suami tapi hanya siksa lahir batin yang kudapat.""Mudah-mudahan nanti ada jodoh yang baik. Gimana kamu kerasan nggak, kerja di koperasi itu?""Alhamdulillah kerasan, Mas. Gajian bulan kemarin aku kirimin buat ibu di kampung. Beliau sudah sakit-sakitan dan tinggal sendiri.""Kenapa nggak tinggal di kampung saja biar bareng ibu kamu?""Disana susah cari kerjanya, Mas. Lagian mantan suamiku juga tinggal tak jauh dari daerahku, dia sering datang mengganggu."Lalu mengalirlah semua cerita kehidupan yang sedikit memilukan dari wanita berjilbab ini.Ah tentang jilbab ini. Aku sungguh berharap Dewi akan memakainya suatu hari nanti."Kenapa Dewi nggak disuruh pakai jilbab, Mas. Itu tanggung jawab mas lho!""Dia belum siap katanya.""Wajib bagi wanita berhijab, Mas. Jangan-jangan kalian belum punya anak karna nunggu Dewi berhijab dulu."Benar juga kata Aini. Sudah beberapa kali kupinta pada Dewi untuk menutup kepala jika keluar rumah. Namun alasan belum siap dan shalat yang masih bolong-bolong membuat Dewi belum mengenakan jilbab."Mas,"Aku memalingkan wajah. Menatap Aini yang memanggil namaku sambil menyentuh pergelenganku.Berani sekali dia."Ada apa?""Aku suka sama, Mas Pras. Aku bisa memberimu anak, Mas!"Pov. Pras***Keberanian Aini dibalik wajah polosnya membuat darah lelakiku ikut tertantang.Aku tak menyangka, di balik penampilannya yang jauh lebih tertutup dari Dewi ternyata Aini menyimpan sesuatu sungguh berbahaya bagi seorang lelaki.Ah, aku rasa Aini sengaja memancing seekor kucing dengan ikan segar.Dan aku, ...Terpancing."Laki-laki bisa beristri dua, Mas."Aini semakin berani saja. Bahkan ia tak segan menyentuh jemari atau sekadar memukul lengan atau pundakku.Bahkan aku yang terbuai sensasi keberaniannya seolah mulai lupa dengan kekesalanku padanya di awal-awal ia datang dulu."Kenapa sudah jarang ke rumah?""Nggak kuat cemburunya, Mas.""Cemburu?""Ya. Aku cemburu kalau lihat Dewi nyender di dada kamu. Aku kan juga pengen.""Haha. Ada-ada aja kamu."Namun tak ayal wajahku memerah.Baru kali ini ada perempuan yang membuatku salah tingkah.Bahkan aku pun mulai berani, mengkhianati sedikit-sedikit kesetiaan dan kemesraan antar aku dan Dewi."Kok aku haid lagi, Mas?"Dewi
POV. DEWI.***Aku menangis.Pernah menangis. Bahkan berhari-hari kuluapkan kecewa dan sakit hatiku pada Tuhan. Bantal dan sajadah biru pemberian almarhum ibunya mas Pras menjadi saksi bagaimana aku meluapkan sakit hatiku atas apa yang telah dilakukan putranya padaku.“Ijinkan aku menikahi Aini, Sayang.”Sudah kuduga. Ini sudah menjadi firasatku beberapa bulan ini. Saat kawan lamaku tak lagi datang bertamu. Suamiku juga semakin sibuk dan kerap lembur. Bahkan mas Pras pernah tak pulang semalaman. Alasannya lembur hingga pagi.Kawan yang datang bertamu. Ternyata bukan hanya sekadar ingin bertanya kabar, tapi ternyata ingin juga mencuri apa yang menjadi milikku.Mungkin aku bisa meraung marah, andai hanya perempuan itu yang memaksa. Namun, ini mas Pras sendiri yang meminta ijin.Lama aku berusaha meredam gemuruh badai yang dalam hati.Di antara kepingan hatiku yang berserak atas permintaan mas Pras. Ada satu hal yang aku sadari, bila mas Pras sudah tak nyaman denganku. Bahkan janji untuk
Pov. Dewi***Kumatikan ponsel yang tak henti berdering. Ku_reject berulang kali panggilan mas Pras. Ada apa lagi menelpon sore-sore begini.Bukankah dia sedang menikmati masa indahnya bersama sahabat lawasku. Bahkan aku berharap, apa yang mas Pras inginkan bisa tercapai dengan menikahi Aini.Mungkin akulah yang memang tak bisa memberinya keturunan. Dan mas Pras bosan dengan kata setia.“Mungkin kita bisa punya anak bersama.”Begitu katanya. Namun kalimat itu sungguh menyakitiku. Aku bukan perempuan ikhlas saat suamiku mendua demi mendapatkan keturunan. Kurasapun mereka bermain di belakangku bukan karna inginkan keturunan.Laki-laki dan perempuan dewasa rela berkhianat diam-diam, apalagi yang mendorong keduanya kalau bukan nafsu.Lukaku belum sembuh. Bahkan perihnya kadang-kadang masih membuatku terbangun tiba-tiba dan meneteskan air mata. Tiga minggu lamanya, hampir empat minggu. Aku dan mas Pras tak pernah bertemu. Beberapa helai pakaian kerjanya yang tertinggal di dalam lemari d
Pov. Dewi*** Kuamati wajah Aini yang tiba-tiba kehilangan senyum. Bahkan keceriaan yang tadi ia tampilkan di wajah berpoles make up yang cukup tebal kini hilang berganti dengan raut terkejut.Mungkin ia tak menyangka bila aku benar-benar sudah tahu tentang pernikahannya dengan mas Pras.Perempuan yang jilbabnya semakin pendek ini kulihat diam tak berkutik. Bahkan begitu canggung senyum yang berusaha ia lemparkan.Sementara Hera menatap ke arah Aini dengan sinisnya, membuat istri muda mas Pras ini semakin pucat.Lalu bisik-bisik pengunjung di dekat kami jelas terdengar mereka mencibir Aini. Bahkan beberapa di antara mereka kudengar membandingkan wajah Aini dan wajahku. Ada pula yang mencibir pakaiannya yang tertutup tapi tak ada akhlak dengan menjadi pelakor.Walaupun aku tak menyebut Aini demikian sebab kutahu mas Pras juga menginginkan menjalin hubungan dengan kawanku ini, tapi anggapan di masyarakat tetaplah wanita kedua yang salah.“Kok diam? Jawab dong!” Hera tak tahan untuk ta
Akhirnya _me time_ku bersama Hera gagal. Curahan hati yang sedari tadi telah kusiapkan akhirnya menjadi curahan omelan dan kemarahan kawanku ini.Bahkan setelah kepergian Aini, Hera masih meluapkan amarahnya dan meladeni pertanyaan beberapa pengunjung yang kepo dengan kejadian tadi.Sementara Aini yang kutohok dengan kata-kata indah tadi, semakin malu dengan air mata yang melaju deras. Perempuan perebut itu akhirnya memilih meninggalkan cefe ini dengan wajah memerah dan diiringi terikan mencemoh dari pengunjung.Bisa-bisanya ia juga datang disini dan mempermalukan dirinya sendiri.Dan apa tadi katanya mas Pras tak bersamanya.Kemana lelaki itu. Harusnya mereka menikmati masa-masa indahnya pengantin baru mereka.Bukankah mas Pras mengatakan ingin punya anak dari perempuan itu."Dasar perempuan nggak tahu diri. Nggak punya kaca apa ya?""Cepet habisin, Her. Bentar lagi suamimu datang.""Kamu kok nggak jambak dia tadi sih? Gemes tahu!"Aku tertawa kecil mendengar kemarahan Hera.Siapa bi
"Dewi, tolong dengarkan aku!"Mas Pras mencengkal pergelenganku saat kuminta ia untuk pulang ke rumah istri mudanya.Tentu saja aku terkejut melihat lelakiku ini ada disini. Meski rasa rindu tak bisa kuenyahkan. Namun rasa sakit atas pengkhianatannya mampu menahanku agar tak memeluk tubuh tegapnya.Bahkan saat ia ingin membantu membawa sebagian belanjaanku, kutolaknya."Kenapa kesini, Mas? Nggak enak sama Aini. Kamu sama dia waktunya satu bulan dan aku, tahu dia nggak mau kamu datang menemuiku."Kutepis mas Pras, lalu kukeluarkan kunci dari dalam tas selempang yang tadi kugunakan.Biasanya aku dan mas Pras akan menyimpan kunci di bawah keset kaki bila kami sama-sama berangkat kerja.Agar bila salah satu di antara kami pulang duluan tetap bisa masuk ke rumah tanpa saling menunggu.Sebenarnya dulu kunci pintu ini ada dua. Namun salah satunya hilang entah kemana. Mungkin saja aku yang lupa menyimpannya dimana."Tadi mas mau masuk tapi di bawah keset nggak ada kunci."Mas Pras tak menangg
Pov. Dewi***"TEGA KAMU YA!" Mbak Widia meraung marah dan melampiaskan rasa kecewanya pada mas Pras. Mbak Widia adalah kakak tertua mas Pras. Dia satu-satunya ipar yang kupunya. Walau hubungan kami sangat baik, tapi aku sangat jarang menyampaikan kesusahan ataupun masalah rumah tanggaku pada mbak Widya. Beliau pun juga jarang tinggal di kota ini, sebab ia lebih banyak menghabiskan waktu di Surabaya bersama suaminya yang sibuk dengan usaha toko kain mereka. "Maaf, Mbak! Saya benar-benar khilaf. "Khilaf katamu! Khilaf sampai menikahi perempun tak tahu diri itu. Dimana kalian menikah? Siapa yang jadi saksinya. Jangan-jangan kalian hanya kumpul kebo!" Mas Pras bersimpuh di hadapan mbak Widia yang sedang di bakar amarah. Memohon maaf atas khilafnya pada pernikahan kami. Khilaf katanya? Khilaf apa yang menyakitkan begini mas. Sedu sedan di antara rinai air mataku membuat mbak Widia tak kuasa menahan air mata di antara kemarahannya. Kami berdua me
Pov. Dewi *** Masa berlalu meninggalkan kenangannya pada tiap-tiap musim. Ada luka dan perih yang menjejas jelas, tapi aku tak memungkiri cinta juga pernah hadir begitu jelas. Bukan pernah, tapi mungkin masih. Hanya saja aku tak sanggup membawa hatiku yang terluka dalam kehidupan sosialku. Aku butuh tenaga dan hati yang damai untuk tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Sakit memang sakit. Namun aku butuh kewarasan. Sebab itu aku memilih melepaskan rasa sakitku dengan caraku sendiri. "Hukumlah aku sayang. Asal jangan minta perceraian. Aku nggak sanggup kehilangan kamu." Mas Pras memeluk erat. Bahkan ia nyaris tak melepaskanku saat mbak Widya sudah pulang meninggalkan kami berdua saja. Kakak iparku itu tadi bahkan minta maaf sambil menangis memelukku. Beliau minta maaf atas apa yang adiknya lakukan padaku. Mungkin aku sedikit beruntung mendapatkan ipar sebaik mbak Widya. "Jangan gini, Mas. Pulanglah Aini menunggumu." Kal