Share

Si Tukang Pamer dibalas Kontan

Entah mengapa mendengar perkataan Ibu itu hatiku terasa sakit. Meski pun Bapak hanya orang miskin, tidak punya banyak harta, bahkan menjadi tukang kebun dan pembantu di rumah Mas Rama, Bapak tidak pernah meninggalkan Ibu. Bapak adalah refleksi dari lelaki yang setia pada cintanya, bukan seperti Ibu yang silau dengan lelaki lain karena melihat hartanya.

"Memang kalian itu keluarga babu, Cin, jangan-jangan suamimu ini juga babu, ya?" ejek Ibu dengan suara keras.

Aku beranjak hendak menghampiri Ibu. Namun tangan Mas Rama mencengkeram lenganku dan ia menggeleng dengan tatapan serius.

"Jangan," pintanya. Aku menatap lekat-lekat wajah suamiku itu. Guratnya bukan main-main. Kalau ia sudah memasang ekspresi demikian, aku tak berani menentangnya.

"Tenangkan dirimu, Lov."

"Tapi, Mas ...."

"Akan ada waktunya, jangan sekarang. Sekarang kita hanya perlu meminta restu izin atas pernikahan kita pada ibumu, Lov. Masalah statusku nanti Ibu akan tahu di waktu yang tepat. Namun Mas mohon jangan sekarang. Biarkan, biarkan Ibu berbicara semaunya jangan dibantah, tahan saja."

"Baik, Mas." Aku mengalah pada Mas Rama.

Tak lama kemudian adzan asar berkumandang. Mas Rama minta izin untuk ke mesjid melaksanakan shalat berjamaah. Aku shalat di kamar Rindu. Kemudian kami meneruskan obrolan sembari menunggu dua saudaraku yang lain pulang kerja.

Tak sampai lima menit setelah kami shalat, suara mobil berhenti di depan rumah.

"Itu pasti Papa Robert," tukas Rindu, "ayo Mbak, Rindu kenalin sama Papa." Rindu menarik tanganku untuk bertemu Papa tirinya itu. Aku mengikuti.

"Pa, ini Mbak Cinta, kembarannya Mbak Kasih itu lho," tukas Rindu pada lelaki beruban dengan wajah tegas itu.

"Oh, si Cinta itu?" Robert menatapku. "Cantik seperti ibumu."

"Terimakasih, Pak Robert."

"Ah, kamu juga harus memanggilku Papa, Cinta."

Aku tersenyum. "Maaf, Pak Robert. Izinkan saya untuk tidak memanggil Papa, karena bagi saya Bapak saya hanya Tegar Pribadi. Sekali lagi maaf."

Robert hanya tersenyum tipis. Ada gurat kecewa yang tersirat dari senyumnya itu.

"Baiklah, kalau begitu saya bersih-bersih dulu. Oiya, kamu buka puasa disini ya, Cinta. Santai aja, anggap rumah sendiri. Kalau perlu apa-apa, minta sama Rindu."

"InsyaAllah, Pak Robert."

Robert kemudian beranjak dan memasuki kamarnya.

"Pak Robert kerja dimana?" tanyaku pada Rindu, basa-basi.

"Oh, di kantor gubernur. PNS. Ada bisnis kecil-kecilan juga, itu yang membuat Papa banyak duit. Beberapa hari lalu Papa lagi seneng katanya dapat proyek gelap."

"Proyek gelap?"

"Iya. Emang proyek gelap itu apa sih, Mbak? Nggak tahu sih detailnya gimana, katanya dapat dari temannya yang manajer perusahaan gitu."

"Aurora Corps?"

"Nah itu juga. Tapi ada perusahaan lain."

"Perusahaan apa yang lain itu, Rin?"

"Kalau gak salah, Rama Corporation deh."

"Hah?" Tanganku langsung mendekap mulut karena ternganga. Mataku melebar sempurna.

"Rin, kita omongkan di luar aja!" Aku menarik tangan Rindu dan menyeretnya ke teras rumah.

"Kenapa, Mbak?"

Gadis enam belas tahun itu masih terlalu lugu, belum paham rupanya soal "proyek gelap". Bahwa itu adalah sebuah persekongkolan untuk menyelewengkan sesuatu. Dan tentu saja itu bukan hal yang benar.

"Proyek gelap, apa aja yang kamu tahu soal itu?" Aku meletakkan jari telunjuk ke bibir agar Rindu tak bicara keras-keras. "Papa kamu itu ada proyek gelap di Rama Corporation 'kan, terus siapa rekan Papa itu di perusahaan? Pasti ada orang dalam yang membantunya langsung 'kan."

Rindu menggeleng tanda tak paham apa yang kukatakan.

"Maksudnya apaan sih, Mbak?"

"Hmh, sudahlah." Aku pun tak mau memaksanya, percuma. Ia takkan mengerti begitu saja. Urusan seperti ini harusnya ditangani langsung oleh Mas Rama.

Aku tak menyangka Robert mendapat proyek terselubung dari Rama Corps. Ingatanku langsung terlempar pada Brian dan Mei serta beberapa petinggi lain. Pesta mereka tadi pagi, bukannya itu merayakan keberhasilan proyek? Lalu proyek yang mana?

Apa proyek yang diselesaikan Brian dan Mei itu barangkali adalah proyek gelap yang disinggung Rindu. Proyek yang berhubungan dengan Robert pula. Dengan kata lain, Robert ada hubungannya dengan Brian.

Deduksiku tak dapat langsung lompat pada kesimpulan. Tentu saja sebelum mengambil dugaan aku harus mengumpulkan bukti fakta yang mengarah pada kebenaran. Dan untuk mendapatkan bukti itu, aku harus mencari tahu, menyelidiki, tanpa diketahui kalau aku sedang mencari.

Kunci pertama tentu saja pada Robert dan Brian. Kalau mau mendapatkan keterangan lebih lanjut, aku harus dekati Robert. Pun Brian sebaiknya tidak boleh dipecat dulu, ia harus dilucuti diam-diam hingga terkuak semua fakta ketidakberesan yang sudah terendus dari awal itu.

"Mbak, kok bengong?" Rindu mengibaskan tangannya di depan mataku, membuatku sadar dan mengerjap beberapa kali.

"Eh, maaf Rindu, Mbak tadi kepikiran sesuatu. Oiya, apa selama ini Pak Robert sering dapat proyek gelap?" Aku meletakkan tangan ke bahu Rindu dan menatapnya serius.

"Se-ring barangkali, Mbak," jawab Rindu tergagap tanda tak yakin. "Emangnya kenapa sih, Mbak?"

Aku melepaskan tanganku dari bahu Rindu. "Nggak apa-apa. Oiya, makasih sudah nggak bilang ke Ibu waktu Mbak menikah sebulan lalu ya. Kamu emang adik yang bisa diandalkan." Aku menepuk pelan lengan atas Rindu.

"Iya, Mbak. Kalau itu aman pastinya. Tapi jangan lupa lho Mbak bilang mau beliin aku sepeda."

"Gampang kalau itu, sekalian Mbak beliin motor aja ya?" Aku mengelus kepala Rindu yang dibalut jil##Bab ungu muda.

"Waaah, beneran Mbak?" mata Aimissa Rindu berbinar.

"Iya, tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya?"

"Tinggu kamu ulang tahun ke tujuh belas."

"Yah, masih setahun dong." Rindu memanyunkan bibir dua senti ke depan.

"Nggak lama, tinggal berapa bulan lagi aja, kok."

"Iya deh. Ayo Mbak, bantu Rindu nyiapin makanan untuk buka puasa."

Aku mengangkat tangan memberi tanda 'okay'. Lalu kami lekas pergi ke dapur untuk membuat kudapan.

"Ibu nggak ikut nyiapin buka puasa, Rin?" tanyaku basa-basi sambil memotong buah blewah.

"Paling nanti nongol dari kamar pas deket azan maghrib, Mbak. Mbak Kasih juga, pulang kerja langsung mandi terus kalau udah azan baru ke meja makan. Mas Bagus kadang bantuin kalo pulang cepet."

"Ooh."

Tak lama waktu berselang, terdengar suara salam dari Mas Rama. Aku lekas mencuci tangan dan menemuinya, dan mencium tangannya. Kebiasaan seperti itu selalu kami lakukan kala Mas Rama pulang dari masjid. Namun kali ini berbeda, tiba-tiba Mas Rama meraih kepalaku dan mengecup kening.

"Mas, puasa!" Mataku melotot.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status