“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
1 Kepolosan CintaKarena mencium hal yang tidak beres, aku dan Mas Rama harus memeriksa sendiri kantor cabang salah satu perusahaan kami. Kantor itu dipimpin oleh manajer baru sejak setahun lalu, namun manajer itu bukan pilihan Mas Rama sendiri. Zapa sebagai salah satu pemilik saham lah yang memaksa menerimanya untuk mengelola perusahaan. Awalnya, Mas Rama ragu dan tidak memercayainya. Namun kegigihan Zapa yang juga memiliki saham membuatnya mengalah. Aku memasuki bagian loby kantor. Melihat sekeliling bangunan dengan nuansa minimalis itu.“Maaf, Bu,” tegur bagian resepsionis padaku dengan suara ramah dan lembut sambil memasang senyum terbaiknya seperti yang selalu ia lakukan pada setiap tamu, “ada keperluan apa datang kemari?”Aku menghentikan langkahku dekat meja resepsionis itu dan tersenyum tipis. “Mau memeriksa perusahaan dan operasional di kantor ini.”“Maaf, apa Ibu sudah ada janji dengan kepala manejer?” selidik wanita muda dengan jilbab
Ketegasan Rama"Pak Ra-ma?" Tangan Brian bergetar mendengar ucapan Mas Rama yang langsung bilang memecatnya begitu saja."Apa salah kami, Pak Rama?" tanya Mei."Hh, apa kalian bodoh atau pura-pura bodoh?""Tidak bisa Bapak memecat kami begitu saja." Brian menyahut."Siapa bilang tidak bisa, memangnya kalian siapa, disini aku pemilik Rama Corps." Mas Rama mengangkat wajahnya."A-apa hanya karena karyawan baru ini Bapak sampai memberhentikan kami semua?" lanjut Mei tak terima, menunjuk ke arahku."Kalian keterlaluan!" Mas Rama menggenggam tangannya erat. Barangkali ia hendak meninju orang yang mengiraku karyawan itu. "Wanita yang kalian bully ini, yang kalian cekoki mulutnya dengan minuman ini, adalah ... istriku.""Apa?" Brian terbelalak."Hah?" jerit beberapa orang dalam ruangan itu serentak. Sementara Mei langsung ternganga dan menutup mulutnya dengan telapak tangan."Istri
"Keluar!" pekik lelaki itu meminta Mas Rama keluar. Mas Rama pun membuka pintu mobil dan turun."Serahkan hartamu, dompet, HP, apa aja!"Aku memutar bola mata. Belum tahu dia siapa Mas Rama. Mas Rama pernah juara bela diri Capuera tingkat kota. Ia juga pernah menghajar tujuh orang hanya dalam lima menit. Debak debug! Dua menit Mas Rama menyelesaikan mereka berdua."Ayo jalan!" pintanya kemudian sambil ngos-ngosan, menyandarkan tangan ke mobil. Aku pun turun dari mobil dan akan ikut Mas Rama jalan kaki."Terus mobil sama barang-barang kita gimana?""Nanti ada yang urus, insyaAllah."Mas Rama meraih dompet dan mengeluarkan uang lima ratus ribu."Pak, ini uang untuk Bapak berdua." Suamiku yang berkulit coklat itu mengulurkan tangannya dengan lima helai uang kertas.Lembut sekali hati Mas Rama. Bahkan pada orang yang menodongnya pun ia masih berbelas kasih."Apa maksudnya
"Lepas dulu sepatunya." Mas Rama memegangi kakiku. Oh my God, romantisnya ini lelaki. Hatiku berbunga-bunga, seolah ribuan mawar merekah tiba-tiba di hatiku. Wajahku kini memerah, lalu senyum terulas sendiri di pipiku dan menampakkan lesung pipit kecil. Ya Tuhan, bersyukurnya aku mendapat lelaki itu.Aku membiarkan Mas Rama membuka sepatuku dan menggantinya dengan sendal jepit. Tentu saja senyumku terkembang dan wajahku memerah. Seumur-umur, mana pernah ada lelaki yang memperlakukanku laiknya ratu seperti Mas Rama."Nah, sudah." Mas Rama berdiri. "Kenapa malah senyum-senyum sendiri?""Siapa yang senyum," jawabku melengos meninggalkan Mas Rama. Ia langsung mengejar dan mengimbangi langkahku."Pak, namanya siapa?" tanya Mas Rama ke lelaki itu sebelum melanjutkan jalannya."Nama saya Gogi.""Baik, titip mobil saya ya, Pak Gogi.""Siap, Pak Panorama." Pak Gogi jelas sudah tahu nama Mas Rama karena d
"Cinta?" wanita itu menatapku lekat-lekat, dari ujung kepala ke kaki."Iya, Bu?" jawabku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Namun tangannya tetap di dada."Itu lekaki kampungan, siapa?"Aku menoleh ke belakang. Mas Rama dibilang lelaki kampungan?Setelah lima tahun berpisah dengan Bapak karena satu kejadia, kami memang tidak bertemu. Ibu sengaja tidak mau menemuiku, mungkin karena aku adalah satu-satunya anak yang memilih ikut Bapak. Namun apa harus sampai segitunya?"Aku datang untuk menemui Ibu." "Cih!" desis wanita bernama Sarah itu sambil membuang pandang dan mengangkat bibir sebelah."Bu?""Sudah Ibu bilang, kamu pasti hidup sulit kalau ikut bapakmu yang miskin itu. Sampai sekarang kamu pasti tetap kesulitan, 'kan? Ibu dengar kamu kuliah dengan beasiswa.""Memangnya kenapa kalau Cinta hidup susah, Bu?""Kamu nggak ngerti juga. Hidup itu butuh kebahagiaa
Entah mengapa mendengar perkataan Ibu itu hatiku terasa sakit. Meski pun Bapak hanya orang miskin, tidak punya banyak harta, bahkan menjadi tukang kebun dan pembantu di rumah Mas Rama, Bapak tidak pernah meninggalkan Ibu. Bapak adalah refleksi dari lelaki yang setia pada cintanya, bukan seperti Ibu yang silau dengan lelaki lain karena melihat hartanya."Memang kalian itu keluarga babu, Cin, jangan-jangan suamimu ini juga babu, ya?" ejek Ibu dengan suara keras.Aku beranjak hendak menghampiri Ibu. Namun tangan Mas Rama mencengkeram lenganku dan ia menggeleng dengan tatapan serius."Jangan," pintanya. Aku menatap lekat-lekat wajah suamiku itu. Guratnya bukan main-main. Kalau ia sudah memasang ekspresi demikian, aku tak berani menentangnya. "Tenangkan dirimu, Lov.""Tapi, Mas ....""Akan ada waktunya, jangan sekarang. Sekarang kita hanya perlu meminta restu izin atas pernikahan kita pada ibumu, Lov. Masalah status