Raline yang mencurigai Hamid malam itu akhirnya mengikutinya. Saat bersamaan, Dion pun datang untuk membawakan hadiah dari Galih untuk putra kesayangannya.
"Raline, kamu mau ke mana?" tanya Dion. saat melihat Raline jalan terburu-buru."Mas, aku mau ngikutin Hamid. Dari tadi gelagatnya aneh. Kamu masuk aja ya, ada Sisil di dalam," sahut Raline yang langsung bergegas pergi.Karena takut terjadi sesuatu, Dion pun mengikuti Raline. Saat sudah bisa menyusul wanita itu, Dion pun meminta Raline naik ke atas motornya. Raline pun ikut bersama Dion."Tunggu!"teriak Raline.Semua mata pun tertuju pada Raline yang berjalan cepat menghampiri Hamid yang terkapar di lantai. Raline pun menatap Lexy dengan sorot mata tajam. Lexy pun menunduk. Bukan pertemuan seperti ini yang diinginkan Lexy saat bertemu kembali dengan Raline."Raline ....""Lexy, apa yang kamu lakukan pada Hamid? Apa salah dia?" pekikBahagianya Hamid begitu terpancar jelas saat ia sudah resmi menjadi suami Raline. Wanita yang dicintainya sejak di bangku sekolah dulu."Aku bahagia banget, akhirnya kita bisa mewujudkan impian kita dulu. Kamu bahagia nggak, Sayang?" tanya Hamid sambil menggendong Austin di atas pelaminan."Bahagia, Mas. Nggak nyangka banget ya, akhirnya kita bisa menikah dan alhamdulilah akhirnya kedua orang tua kamu mau merestui hubungan kita," ucap Raline berusaha tersenyum."Tapi ....""Kenapa, Sayang? Kok wajah kamu jadi sedih. Ada apa? Cerita sama aku," tanya Hamid."Sisil ke mana? Kenapa dia nggak datang, Mas?" tanya Raline dengan wajah sedih."Eh iya ya. Ke mana ya? Apa dia ada sesuatu?" sahut Hamid. Hamid pun langsung mengambil ponsel di sakunya dan memanggil nomor Sisil. Tetapi, tidak ada jawaban apapun dari sahabat baiknya dan Raline itu. "Gimana, Mas?" tanya Raline. Hamid han
Sisil memulai hidupnya yang baru di Amerika. Berkumpul dengan keluarganya membuat ia sedikit melupakan rasa sakitnya. Luka hatinya yang ia pendam sendiri. Namun, ternyata itu tak semudah yang ia pikirkan.Bayangan tentang Hamid. Tentang persahabatannya dengan Raline, membuat ia merindukan semua itu. Terlebih, ia belum punya kesibukan yang berarti.Seorang kawan lama Sisil saat kuliah di LA pun datang ke rumahnya saat tahu jika Sisil sudah kembali ke New York. Demi bertemu sahabat lamanya, ia rela menempuh perjalanan jauh hingga akhirnya sampai di depan rumah Sisil.Sisil yang tidak mengetahui kedatangan Zayn malam itu dibuat terkejut saat ia membuka pintu dan melihat pria tampan yang dulu sempat menaruh hati padanya itu kini sudah berdiri tegak di hadapannya."Zayn?""Zayn, is it really you?""Yes, it's me.Your most handsome friend."Keduanya pun tertawa. Raline pun mengajak sahabat bu
Andre datang tepat pada waktunya. Pria yang selalu menjadi garda terdepan untuk Raline itu mempunyai firasat tidak baik saat bertemu Raline di sebuah pusat perbelanjaan dan mengatakan jika Austin dititipkan di rumah Galih."Ternyata dugaan aku betul kan? Kalian ya, masih aja belum taubat. Belum puas ya menyakiti Raline? Menyakiti keluargaku? Sekarang, kalian mau menyakiti Austin dengan memisahkan dia dengan Ibu kandungnya?" hardik Andre."Andre, ini nggak seperti dugaan kamu. A-aku ....""Kamu bilang tidak seperti dugaanku?Waw! Terus untuk apa kalian bawa tas besar juga koper? Dan sudah ada taksi di depan. Aku juga sudah tanya kok. Kalian menuju bandara kan?" pekik Andre.Galih dan Nyonya Amira hanya diam tertunduk."Andre su—""Maaf, apa jadi pergi ke bandaranya?" tanya supir taksi yang menunggu terlalu lama."Maaf, Pak. Berangkatnya batal ya. Ini ambil aja tip karena Bapak sudah lama
Netra Hamid terbelalak saat membuka pintu kamar Galih dan melihatnya sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Tidak ada luka atau apapun yang mencurigakan hingga membuatnya pingsan."Ya Allah, Galih. Galih, kamu kenapa, Nak?" ucap Nyonya Amira beristighfar melihat anaknya pingsan sesaat setelah Hamid berteriak memanggilnya dan Raline."Mas, kita bawa ke rumah sakit aja gimana?" tanya Raline dengan wajah panik."Kenapa Raline panik itu ya? Apa dia ...." gumam Hamid dalam hatinya."Mas!" teriak Raline menyadarkan Hamid dari lamunannya."Iya, kita bawa aja. Kalian langsung ke mobil ya. Biar aku langsung bawa Galih."Hamid pun langsung menggotong tubuh Galih dan memasukkannya ke dalam mobil. Ia pun langsung tancap Gas menuju rumah sakit terdekat.Di dalam perjalanan, Raline pun terus menenangkan Nyonya Amira agar lebih banyak berdoa. Isak tangisnya membuat Austin pun ketakutan hingga
Sisil dalam kegamangan. Ia memang mulai merasakan kenyamanan saat bersama Zayn. Ia juga tidak bisa berjauhan dengan pria teman bisnisnya di Amerika itu. Tetapi, untuk merasakan sebuah cinta seperti saat ia bersama Hamid, itu belum dirasakannya."Ingat, Sil. Menikah tanpa cinta, akan membuat hidup kamu menderita. Pikirkan baik-baik. Jangan sampai kamu salah melangkah," ucap sang Mami mengingatkannya.Sisil akhirnya melakukan istikarah. Berhari-hari ia dekatkan dirinya pada Rabb-Nya dan menjaga jarak dengan Zayn. Hingga akhirnya, sebuah keputusan diambilnya. Sisil pun mantap mengambil keputusan ini. Sore itu, Sisil pun menghubungi Zayn dan memintanya bertemu malam ini di sebuah cafe. Zayn pun akhirnya menyetujuinya. Inilah hal yang sudah ditunggunya beberapa hari. Rasa cemas, takut mulai membayanginya.Sekitar pukul 19.45, Zayn pun sampai lebih dulu di cafe tempat ia dan Sisil janji bertemu. 30 menit berlalu, Sisil belum juga na
Suara tangis Nyonya Amira tidak tertahan lagi. Tangisnya pecah di ruang UGD itu. Putra semata wayangnya. Anak kebanggaannya itu pergi selamanya. Tanpa diketahui, apa penyebab sakitnya."Galih, kenapa kamu tinggalin Mama secepat ini. Bangun, Nak, bangun ...." jerit Nyonya Amira menggoyangkan tubuh Galih dan berharap putranya itu bangun kembali.."Galih, jangan tinggalin Mama.Bangun, Galih. Galih, kita pergi ya. Kita susul Austin," rintih Nyonya Amira."Bangun Galih."Andre dan Nyonya Amanda berusaha menenangkan Nyonya Amira yang baru saja kehilangan Galih. Ia sangat terpukul, apalagi kematian Galih berbarengan dengan perginya Raline dan Austin."Raline. Ini semua gara-gara Raline. Kalau aja dia nggak memutuskan menikah dengan Hamid dan pindah ke Jepang, mungkin nggak akan kejadian seperti ini," ucap Nyonya Amira berteriak histeris."Galiiiihhh ....""Raline, kamu harus membayar semu
Raline dan Hamid yang baru saja menikmati sedikit kebahagiaannya harus merasakan kesedihan kembali, saat mendengar berita kematian Galih. Seketika tubuh Raline menjadi lemah. Airmatanya pun luruh saat membayangkan Austin."Austin ...."Hamid pun berusaha menghibur Raline. Ia bisa merasakan menjadi seorang Raline itu tidaklah mudah. Terlebih, jika nanti Austin akan menanyakan keberadaan Galih. Sosok Galih yang tidak bisa ditemuinya lagi."Mas, gimana kalau Austin menanyakan soal Papanya? Gimana ka—"Belum juga usai Raline berbicara, layar ponselnya menyala. Terlihat notifikasi dari aplikasi chat berwarna hijau. Sebuah nama --Nenek Austin. Hamid pun langsung memberikan benda pipih itu pada Raline.Raline pun membuka pesan itu.[Galih sudah tidak ada. Ini semua gara-gara kamu. Kalau aja kamu bisa menunda keberangkatan kamu bersama Austin dan suami barumu, mungkin anak saya masih hidup.][
Dion memutuskan menemani Nyonya Amira yang kini harus hidup sebatang kara sejak kematian Galih. Anak semata wayangnya itu pergi dengan membawa sejuta misteri.Dion pun kembali ke rumah Galih. Di sana ia mencoba membujuk Nyonya Amira agar mau tinggal bersamanya. Di rumah barunya yang baru saja dibelinya. Bahkan belum sempat ia tinggali.Dion pun memasuki halaman rumah dan mengetuk pintu rumah Galih berulang kali, tapi tidak juga ada jawaban. Dion tak patah semangat. Ia berusaha memanggil Nyonya Amira hingga berjalan ke arah samping rumah dan memanggil ibu tirinya kembali."Bu, Bu Amira," panggil Dion dengan suara lantang."Bu Amira, Ibu ada di dalam kan?" teriak Dion lagi. Namun, tidak juga ada jawaban.Dion pun kembali ke depan. Pikirnya menunggu saja di teras rumah, mungkin sedang keluar. Namun, baru beberapa menit duduk, seorang wanita paruh baya datang menghampirinya."Mas, nyari Bu Amira ya?" teg