Sorenya, Amy sampai di rumah kontrakannya pukul lima sore. Ruang tengah sedikit berantakan, tanpa bertanya pun ia tahu jika itu adalah hasil karya Velia. Teman satu kontrakannya itu selalu sukses membuatnya gemas."Really?" Amy memutar bola mata mendapati piring dan gelas bekas Velia gu masih teronggok di meja depan televisi.Tak hanya itu, jaket coklat dan juga dua buku dibiarkan di atas sofa. Amy meletakkan tasnya dan bersiap merapikan ruangan bernuansa soft green itu.Tangan Amy memungut dua buku yang salah satunya adalah novel yang nampak masih baru. Wanita itu memandangi covernya sejenak. Buku berjudul Cursed Princess itu sepertinya sedikit menarik perhatian Amy.Srakk.Satu lembar tipis memanjang tiba-tiba jatuh dari dalam buku. Amy meraihnya pembatas buku yang memiliki gambar sama persis dengan cover dan menyadari terdapat tulisan di atasnya."Ini ...."Langkah kaki Amy menuju ke kamar, hanya untuk mencari buku misterius yang ia dapatkan beberapa hari lalu. Ia mencocokkan satu
Langit mulai gelap. Namun sepertinya Amy tidak menyadari akan hal itu. Sejak satu jam lalu ia telah tenggelam dalam novel seri pertama karya Lavender Peach milik Velia. Jika sebelumnya Amy tak terlalu suka membaca novel, saat ini ia justru antusias untuk mencapai halaman terakhir. Wanita cantik itu bahkan membatalkan niatnya untuk mengunjungi pasar sore yang terletak beberapa blok dari tempat tinggalnya. Tok. Tok. "Amy? Aku masuk ya?" Terdengar suara Velia usai mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Iya, masuk aja," sahut si empunya kamar tanpa mengalihkan netra dari lembaran novel yang cukup tebal tersebut. Velia mendekati Amy yang nampak serius membaca di sudut ranjang. Ia sedikit takjub karena posisi temannya itu belum berubah sejak satu jam yang lalu. "Ternyata beneran mau baca? Tumben banget," komentar Velia dan Amy hanya menjawabnya dengan senyum simpul. "Mau makan malam apa nih?" lanjut Velia seraya mengamati kuku-kuku pada jarinya yang lentik. "Satu jam lagi aku yang ma
Suasana sibuk di cafe telah menjadi rutinitas terutama ketika hari menjelang sore. Amy seharusnya sudah bersiap pulang mengingat jarum pada jam dinding telah menunjukkan pada angka empat. Namun nyatanya ia masih tetap di tempat. "Totalnya seratus empat puluh enam ribu, Kak," ujarnya disertai senyum ramah pada salah seorang pelanggan. Beberapa menit berlalu, seorang rekan menyikut lengannya hingga berhasil membuat Amy menoleh. Itu adalah kasir untuk shift sore yang baru bisa datang setelah ijin terlambat. "Sorry, My. Kamu bisa pulang sekarang," bisik wanita dengan lesung pipi. Setelah Amy mengangguk, otomatis posisinya digantikan. Amy beristirahat sejenak di kursi dapur, menonton aktifitas tiga pria yang berjibaku membuat pesanan. Tora sesekali melirik ke arahnya, tetapi Amy pura-pura tidak menyadari. Merasa istirahatnya cukup, Amy hendak bangkit dan pulang. Namun sesuatu menarik perhatian Amy. Wanita itu lagi-lagi mendapati kabut tak biasa muncul. Benda asing itu semula hanya ber
Brakk. Amy melempar tas selempangnya begitu saja setelah melepas sepatu dan masuk ke dalam ruang tamu. Namun tidak butuh waktu lama ia segera mengambil tas kembali, berharap ponselnya yang berharga tidak lecet atau bahkan pecah. "Duh, untung aja gak apa-apa," ucapnya pada diri sendiri. Wanita muda itu terduduk, merenungi apa yang ia rasakan. Dalam hati bertanya-tanya mengapa melihat kedekatan Rain dan Emilia membuat hatinya sakit. "Nyebelin!" sungutnya. Entah pada Rain atau pada dirinya sendiri yang seakan memberi tanda ketertarikan. "Lupain, Amy, lupain ...," tegas wanita itu seraya geleng-geleng kepala. Tentu ia harus melupakan kejadian baru saja, termasuk bayangan aneh ketika di dapur cafe tadi. Amy menatap jam dinding, masih butuh dua jam hingga Velia pulang. Selama itu ia akan sendirian. Saat ini hal yang ingin Amy lakukan adalah mandi. Setengah jam berlalu, terdengar seseorang memasuki pagar dan memencet bel rumah. Amy dengan rambut terurai setengah basah beraroma floral
Pukul sembilan lewat lima belas menit. Pria tua pemilik rumah berdiri di balkon lantai dua, pandangannya mengitari situasi pesta bernuansa rustic cozy yang putrinya adakan. Terdengar langkah kaki mendekat, Pak Tino tidak perlu menoleh untuk mengetahui jika yang datang adalah Emilia. Wanita muda itu berjalan dengan tempo sedang dan berhenti tepat di sampingnya. "Ayah tidak ikut turun?" tanyanya pada Pak Tino. "Tidak, ayah tidak suka keramaian. Semua yang kau undang datang?""Tidak semua, ada beberapa yang berhalangan. Tapi bukan masalah." Emilia tersenyum. Nampak moodnya sangat bagus malam ini. "Bagaimana dengan rencanamu untuk minggu depan?" alih Pak Tino. "Ini yang perlu kubahas dengan ayah. Aku butuh Rain." Netra Emilia tertuju lurus pada pria yang kini duduk bersama Gideon. "Kau sudah memiliki tim yang hebat, untuk apa masih membawa Rain?" Pak Tino menoleh. "Ayah pasti setuju pendapatku jika Rain memiliki intuisi begitu kuat. Lagi pula, proyek pertamaku akan menguntungkan Ay
Perlu waktu hampir satu jam untuk Amy sampai di alamat yang sedang dituju. Setelah menaiki bus, saat ini ia berjalan di kawasan perumahan elit. Rumah-rumah mewah berjejer dengan warna pastel yang cantik. Amy sesekali memeriksa alamat yang telah ia tulis pada ponsel sembari terus berjalan. Ia yakin di area inilah tempat Mansion Athania berada. "Jalan L, no. 66 ...." ulang Amy sudah ke sekian kali, sikapnya sama seperti bocah lima tahun yang khawatir lupa ketika diminta membeli sesuatu. Situasi di sekitarnya sepi, hampir tidak ada orang sama sekali. Hingga kemudian, Amy berdiri di depan rumah besar yang lebih tepat disebut mansion terlindungi pagar kokoh nan megah. Ia bisa melihat jika kotak surat berbentuk klasik mempunyai angka enam puluh enam. Setengah ragu, Amy mendekati pagar. Lengang. Bahkan tidak ada kenampakan penjaga atau semacamnya. Tangan Amy terangkat, hendak memencet bel pada interkom. Tapi urung saat mendadak muncul pria berperawakan tinggi dengan pakaian penjaga. "C
Belum SelesaiDavon menghentikan laju motor sport-nya tepat di depan pagar. Velia yang duduk di belakang segera turun usai menepuk bahu pemuda dengan jaket denim itu. "Thank you, Davon. Tante Lavender the best pokoknya," ujar Velia dengan nada ceria. "Panggil dia Onty," sela Davon mengingatkan. "Sorry, lupa." Velia tergelak teringat kejadian di mansion ketika Lavender Peach protes setelah ia menyebut tante. "Aku langsung balik, ya. Ada kelas satu jam lagi," ujar Davon seraya melihat jam tangannya yang tampak mahal. "Oke, silahkan. Sekali lagi thank you ya." Velia melambaikan tangan. "Yup. Salam untuk Amy," balas Davon lalu menyalakan mesin motor. Sembari melangkah ringan lurus menuju pintu masuk, Velia merogoh clutch guna mencari kunci. Detik berikutnya ia merasa konyol karena menyadari tidak membawa kunci. "Amy?" panggil Velia. Tangannya aktif menyetuk. Hening. Velia mengulang tapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya wanita itu duduk di kursi kayu, mengutak-atik ponsel. "Apa
Langit mulai gelap ketika Emilia bersama tiga orang lain termasuk Rain berkendara menuju pinggiran suatu kota. Ketika mereka memasuki permukiman, mobil berhenti. Emilia yang semula sibuk dengan tablet di tangan menatap jalanan. "Jalanan di depan tidak bisa dilewati mobil," ujar si supir, pria muda yang hari itu khusus Emilia sewa untuk mengantar mereka ke satu tempat. "Seberapa jauh lagi jaraknya?" Emilia bertanya. "Sepuluh menit dengan berjalan kaki. Tapi aku tidak bisa ikut," jelas si pria muda lagi. "Kenapa tidak?" Emilia menghentikan gerakan tangan memasukkan tablet dalam tas. "Area ini terkutuk, aku tidak berani masuk ke sana." Supir itu menggeleng. Emilia menoleh ke belakang, pada Rain yang hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan. Wanita itu lalu mengeluarkan beberapa lembar merah dan diarahkan pada supir. "Kau yakin tidak mau mengantar kami? Aku akan tambah bayaranmu dua kali lipat." Emilia tersenyum kala mengajak bernegosiasi. Pria muda dengan kemeja kusut